Diakui atau tidak diakui, suhu politik Indonesia sedang memanas dan "gundah" terkait rencana aksi unjuk rasa yang akan dilakukan oleh sejumlah Ormas tanggal 2 Desember 2016, bahkan eskalasinya telah membuat "public goosebumps" semakin meluas.
Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) Munarman memastikan bahwa pada Jumat, 2 Desember 2016, pihaknya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) kembali menggelar aksi untuk mendesak keadilan ditegakkan. Kegiatan tersebut tidak lagi berpusat di Masjid Istiqlal, namun di Bunderan HI Jakarta dan FPI mengklaim akan diikuti 3 juta orang. Munarman mengatakan rencana kegiatan tersebut juga dilakukan untuk meminta keadilan terhadap kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ia mengatakan pihaknya terus menggelar unjuk rasa hingga keadilan ditegakkan di Indonesia. Hal senada dikemukakan Sekretaris Jenderal DPD FPI DKI Jakarta, Habib Novel Bamukmin (24/11). Mereka direncanakan menggelar sholat Jumat di jalan.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj mengatakan salat Jumat di jalan adalah tidak sah menurut Mahzab Syafii dan Maliki. Dia mengatakan, kesimpulan salat Jumat di jalan tidak sah adalah keputusan NU yang telah dibahas belum lama ini. Said Aqil mengatakan, keputusan itu bukan larangan dan tidak ada kaitannya dengan Pilkada dan Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang saat ini menjadi tersangka kasus penistaan agama.
Presiden Joko Widodo juga menegaskan, Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, jika ada konflik karena perbedaan-perbedaan, harus diselesaikan melalui jalur hukum. Jokowi tidak setuju jika proses hukum diintervensi oleh kelompok tertentu, karena merupakan pemaksaan kehendak.
Tidak hanya itu saja, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian (21/11) memerintahkan Kapolda Metro Jaya untuk mengeluarkan maklumat melarang unjuk rasa di sepanjang jalan dari Bundaran HI hingga Semanggi pada 25 November dan 2 Desember 2016. Kapolri menilai rencana aksi 25 November dan 2 Desember sudah keluar dari tujuan utama para pendemo. Tito Karnavian bahkan menyebut adanya kelompok yang ingin memanfaatkan aksi itu untuk makar dan ingin menjatuhkan pemerintah.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan telah menyiapkan pasukan untuk menjaga keamanan menghadapi aksi unjuk rasa mendatang. Gatot menuturkan, saat ini Indonesia tengah mengalami gangguan oleh segelintir kelompok masyarakat yang tidak bertanggung jawab. "Saya perintahkan prajurit saya tidak bersenjata. Apabila ada kelompok yang akan jihad bersenjata, akan kita lawan dengan tidak bersenjata dengan tangan kosong," ucap Gatot. Tugas prajurit tanpa senjata nantinya adalah merampas senjata para pengunjuk rasa dan usai unjuk rasa bisa dikembalikan, hal itu dipilih supaya tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) lainnya.
Kalangan aktvis dan politisi juga angkat bicara. Sekretaris Jenderal Humanika Sya'roni mengatakan, Himpunan Masyarakat untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) menilai indikasi adanya penggulingan kekuasaan atau makar sangat lemah dan tidak berdasar. Menurut dia, kelompok GNPF-MUI sudah berkali-kali menyatakan aksi yang akan digelar 2 Desember akan berlangsung super damai. Aksi itu menyoroti penanganan kasus penistaan agama dengan tersangka Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). "Tidak kali ini saja penista agama langsung ditahan, sudah banyak contoh kasus di mana polisi sangat sigap menahan para tersangka penista agama, misalnya Lia Eden, Ahmad Musadeq, Permadi, dan lain-lain," tuturnya.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago menilai isu makar yang dinyatakan Kapolri merupakan bentuk kepanikan luar biasa Pemerintah Jokowi menghadapi tuntutan umat Islam agar Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diadili. Pangi mengatakan upaya makar tidak akan terjadi jika tidak ada indikasi ke arah itu, misalnya adanya kelompok militer yang tidak loyal terhadap pemerintah, rakyat yang menghendaki perubahan, serta unsur legislatif.
Ketua Fraksi PKS di DPR Jazuli Juwaini menegaskan Polri seharusnya dapat membedakan antara penyampaian pendapat di muka umum dan tindakan makar. Menurutnya,‎ mengambil keputusan yang salah bisa berakibat fatal bagi stabilitas politik dan keamanan bahkan perjalanan bangsa ke depan.
Anggota Dewan pembina Partai Gerindra Muhamad Syafi'i menilai pernyataan Kapolri itu justru membuat masyarakat takut untuk menggunakan hak konstitusionalnya dengan cara aksi demonstrasi.
Legislator Gerindra itu menilai wajar jika masyarakat merencanakan aksi demonstrasi, karena menurutnya Kepolisian terkesan diskriminatif dalam proses penegakan hukum. Indikasi diskriminasi itu berdasarkan dari penetapan Ahok menjadi tersangka dan sampai saat ini belum ditahan, sedangkan pelaku penistaan agama yang lain sebelum ditetapkan tersangka sudah ditahan. "Lia Eden, Permadi, Arswendo Atmowiloto, mereka semua belum tersangka saja sudah ditahan, lah ini Ahok sampek gelar perkara segala sudah tersangka kok belum ditahan, ya wajar kalau masyarakat mau aksi," tegas Syafi'i.
Kawal Proses Hukum
Bagaimanapun juga, dari kasus 411 dan 212 kita sebagai bangsa banyak memetik pelajaran berharga antara lain: pertama, proses penegakkan hukum di Indonesia harus direformasi, karena sinisme yang berkembang di masyarakat bahwa "hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas" masih terjadi, padahal hukum yang ditegakkan dengan benar dan adil akan menjadi salah satu penyangga kehidupan.
Kedua, kita tidak dapat lagi “bermain-main†dengan isu SARA, karena akan merusak heteroginitas bangsa. Politisi, tokoh ataupun siapapun yang masih mengusung isu SARA dan berkomentar seenaknya tentang isu ini, tidak pantas masuk radar dalam kepemimpinan nasional.
Ketiga, ada beberapa kelompok masyarakat yang mudah terprovokasi hoax, sementara di sisi yang lain unsur-unsur pemerintahan yang bertanggung jawab dalam menangani masalah ini tidak segera melakukan "operasi kontra hoax".
Keempat, banyak elemen masyarakat yang kurang waspada bahwa ada kemungkinan pihak-pihak asing "bermain" dalam rencana 212 dengan indikasi seperti peredaran banyak meme dan video-video durasi pendek di Medsos seperti di youtube terkait video menghina Nabi Muhammad SAW yang sudah tayang tiga hari lalu, sehingga menimbulkan pertanyaan mengapa tayang menjelang 212; isu adanya tentara Tiongkok yang masuk ke Indonesia, dll. Kelompok ini tidak mau Indonesia menjadi negara yang kuat.
Kelima, sudah mulai berkembang pemikiran agar pemerintah membubarkan organisasi yang meresahkan umat atau anti Pancasila, dimana hal ini juga sudah diviralkan di beberapa media sosial.
Keenam, diakui atau tidak, pemaksaan kehendak terhadap proses hukum dengan cara-cara kekerasan adalah ciri-ciri mendasar kelompok radikal di Indonesia atau manca negara.
Di samping itu, upaya beberapa kelompok yang ingin memobilisasi massa untuk 212 juga sudah masif dilakukan dengan strategi yang semakin pintar bahkan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) konon sudah digalang oleh salah satu Ormas yang menjadi motor rencana unjuk rasa 212. Massa yang berangkat ke Jakarta dari berbagai daerah juga semakin "canggih" dimana mereka tidak menyewa bus-bus, melainkan bepergian ke Jakarta seperti orang atau penumpang biasa, bahkan ada yang berjalan kaki.
Tidak hanya itu saja, konon beberapa kelompok teror juga akan melakukan kegiatan jika situasi memburuk, walaupun Densus 88 Mabes Polri juga sudah melakukan penangkapan terhadap terduga teroris. Banyak kalangan memprediksi bahwa unjuk rasa 212 jauh akan lebih menyeramkan dibandingkan 411 karena diduga banyak kelompok "die hard" yang terlibat, walaupun semboyannya adalah aksi "super damai".
Sebenarnya, kalau dipahami lebih mendalam, tidak perlu ada lagi aksi unjuk rasa 212 di Jakarta ataupun di wilayah-wilayah karena proses hukum terhadap kasus Ahok sudah berjalan cepat, bahkan konon berkas-berkas perkaranya sudah P-21 atau sudah ada di Kejaksaan. Seharusnya, kita bersama-sama mengawal proses hukum ini.
Sebenarnya, banyak kasus-kasus besar yang magnitudenya lebih besar dari 212 yang juga perlu diadvokasi oleh beberapa Ormas, dari pada berunjuk rasa 212 seperti solidaritas umat Islam Rohingya, kasus-kasus korupsi di beberapa daerah yang luput proses hukumnya dll.
Penulis ingin mengajak masyarakat Indonesia untuk teringat pada pendapat Napoleon Bonarpate yang berbunyi "there are two powers in the world. The sword and the mind. In the long run, the sword is always beaten by the mind/ada dua kekuatan di dunia pedang dan pikiran. Dalam jangka panjang, pedang selalu dikalahkan dengan pemikiran" atau dengan kata lain kekerasan, unjuk rasa dll adalah "sword" yang pada akhirnya kalah dengan "mind" seperti keikhlasan bekerja, merawat kebhinekaan, keberadaban atau civilization dll.
Ormas-ormas yang masih mampu menggerakkan massa, sudah bukan zamannya eksis di negara ini. Masyarakat Indonesia akan semakin salut dengan mereka jika mereka menekankan gerakannya ke sosial kemanusiaan atau kegiatan yang merawat keberagaman kita atau mereka diberdayakan negara untuk menjadi lembaga sertifikasi halal di beberapa negara Muslim atau menjadi pengurus Islamic Center di negara lain, karena konon Tiongkok menawarkan hal itu.
Konon, sebenarnya Habib Rizieq Shihab dan tokoh lainnya masih dapat diajak bicara untuk tidak jadi menggerakkan massa untuk 212, hanya saja selama ini negara kurang bersilaturahmi dengan mereka.
Percayalah bahwa pemerintah akan bertindak tegas dalam kasus Ahok, dan kekhawatiran bahwa Ahok tidak akan terjerat hukum atau menjadi terpidana tidak akan terjadi, karena pasti pemerintah pada akhirnya akan menyelamatkan kebhinekaan kita daripada membela Ahok.
*) Penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia. Tinggal di Ciamis, Jawa Barat.
Perlukah Unjuk Rasa 212?
Selasa, 29 November 2016 18:04 WIB
Percayalah bahwa pemerintah akan bertindak tegas dalam kasus Ahok, dan kekhawatiran bahwa Ahok tidak akan terjerat hukum atau menjadi terpidana tidak akan terjadi.