Perth (Antara Megapolitan) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise membahas berbagai masalah terkait perdagangan manusia saat bertemu dengan masyarakat Indonesia di Perth, Senin malam.
Menurut Yohana, pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam salah satu langkah menekan perdagangan manusia menerapkan kebijakan moratorium pengiriman perempuan Indonesia sebagai pembantu rumah tangga ke negara Timur Tengah. "Coba memaksimalkan di Indonesia saja untuk bekerja di sektor domestik," katanya.
Ia menegaskan bahwa fokus pemerintah ialah ke jenis pekerjaan formal, bukan informal untuk pengiriman tenaga kerja perempuan ke luar negeri.
"Pada saat ini sedang dicari cara tepat, sehingga perempuan Indonesia bisa terampil dan maju," tambah perempuan pertama menteri dari Papua itu.
Selaku Ketua Harian Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Yohana mengatakan merasa sangat miris karena banyak perempuan Indonesia, yang ke luar negeri secara gelap, berakhir dipekerjakan di kebun. Tak sedikit pula yang disiksa oleh majikan dan terlunta-lunta karena pendidikan rendah serta benturan budaya.
Untuk meredam praktik TPPO, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menggalang tokoh-tokoh agama, LSM, dan keluarga yang memiliki anak perempuan agar tidak membiarkan perempuan--terutama yang di bawah umur--untuk pergi secara ilegal ke negeri orang.
Kasus terbaru di mana sebanyak 29 orang perempuan di bawah umur asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berhasil dibawa kembali dari "jeratan" jaringan perdagangan manusia, kata Yonana, menunjukkan bahwa ada calo mafia yang harus diberantas.
"Kepala desa bermain, sehingga di dokumen-dokumen Kartu Keluarga dan KTP usia yang aslinya masih di bawah 18 tahun diubah menjadi 21 atau 25 tahun. Ini adalah pelanggaran Undang-undang TPPO," kata menteri yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris tersebut.
"Mereka akan jadi PSK, saya sangat miris dan meminta agar mereka jangan dikirim ke luar (negeri-red)," tambahnya.
Sebagai salah satu upaya agar buruh migran perempuan Indonesia semakin banyak mengisi lowongan pekerjaan sektor formal, Menteri PPPA berkunjung ke Perth untuk menjajaki kerja sama dengan beberapa institusi pelatihan dan perekrutan tenaga kerja di sektor layanan kesehatan dan panti jompo.
"Pada saat ini kami memiliki 50 orang yang dipilih dari 5 provinsi kantung-kantung TKW, yakni NTT, NTB, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah untuk kami salurkan dalam program 'pilot project' pelatihan untuk menjadi suster, perawat pasien jompo dan perawat penyandang disabilitas agar bisa bekerja di luar negeri," kata alumnus Universitas Newcastle itu.
Konsul Penerangan, Sosial, dan Budaya KJRI Perth Widya Sinedu mengatakan, setelah tiba pada Minggu tengah malam, Menteri PPPA dan rombongan sepanjang Senin menjajaki kerja sama dengan Mindaroo Foundation, yang memiliki kepedulian terhadap upaya pemberantasan perdagangan manusia, dilanjutkan dengan kunjungan ke operator pelayanan rumah jompo Amana Living, yang berkantor pusat di Subiaco.
Penjajakan juga dilakukan dengan Direktur Northern TAFE, lembaga pelatihan yang menyediakan sertifikasi suster, pelayanan rumah jompo, dan penyandang disabilitas yang bisa dipakai untuk bekerja di Australia.
"Ada dua jenis kerja sama yang bisa dilakukan, dengan pelatihan berstandar Australia atau dengan sertifikasi Australia. Yang kedua nampaknya lebih mahal karena sertifikasi Australia sangat tinggi nilainya buat pencari kerja," katanya.
Pemerintah Indonesia masih menghadapi persoalan yang sangat pelik untuk urusan perdagangan manusia, karena faktanya hingga saat ini data Mahkamah Agung mencatat Indonesia adalah negara dengan TPPO terbanyak nomor tiga di dunia.
Kekerasan
Selain menjelaskan banyak aspek dari praktik-praktik perdagangan manusia, Yohana juga mengulas sedikit soal kekerasan rumah tangga di Indonesia, yang masih sangat sering tidak diselesaikan hingga ke pengadilan.
Meskipun saat ini unit perempuan dan anak di kepolisian sudah sangat baik, bahkan tersedia sampai di tingkat terendah, namun akibat ketergantungan perempuan yang sangat tinggi terhadap pria, juga akibat budaya, dan demi nama baik keluarga, banyak kasus KDRT dicabut setelah beberapa hari saja diadukan.
"Bisa saja laki-lakinya ditangkap, tapi dua-tiga hari kemudian perempuannya mencabut tuntutan sehingga prianya bisa lepas lagi," tambah Yohana, "Makanya penting untuk perempuan untuk mandiri, tidak bergantung kepada suami."
Ia menyebutkan di Indonesia terdapat sebuah organisasi yang menaungi perempuan-perempuan kepala rumah tangga yang jumlahnya berkisar di angka 15 juta orang. Perempuan-perempuan adalah kepala keluarga yang membiayai semua kebutuhan, dan mereka sangat perlu didukung kemandiriannya.
Dalam kegiatan ramah tamah yang dilakukan di gedung Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) untuk Australia Barat itu turut hadir beberapa pimpinan organisasi masyarakat (ormas) Indonesia, pelajar Indonesia, dan perwakilan mahasiswa Papua yang sedang berada di Perth.
"Dari 53 ormas yang ada di Australia Barat, mayoritas ketuanya adalah perempuan. Ormas Indonesia ini menjembatani hubungan bilateral Indonesia-Australia," kata Konsul Jenderal RI di Perth Ade Padmo Sarwono dalam sambutan pembukaannya.
(Ant).
Soal Perdagangan Manusia Dibahas Di Perth
Selasa, 30 Agustus 2016 7:13 WIB
Pada saat ini sedang dicari cara tepat, sehingga perempuan Indonesia bisa terampil dan maju.