Denpasar (ANTARA) -
Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Permana Yudiarso menyatakan penyebab tiga ekor paus yang mati di wilayah Bali beberapa waktu belakangan diduga karena sakit.
"Tiga kasus yang terjadi di Bali dalam waktu beberapa hari dari 31 Maret sampai 9 April 2023. Ada tiga kasus yang mencuat, dua d iantaranya kiTa sudah nekropsi (bedah mayat). Yang satu kami tidak lakukan karena itu sudah busuk saat kami temukan di Tabanan. Dua yang kami nekropsi itu indikasinya sakit," kata dia saat dihubungi melalui sambungan telepon di Denpasar, Bali, Minggu.
Namun demikian, dirinya belum memastikan secara jelas apa sakit yang menimpa mamalia yang hidup di laut tersebut. Saat ini, kata dia, Kementerian Kelautan tengah bekerja sama dengan dokter hewan dan ahli forensik dari Universitas Airlangga Surabaya untuk menjelaskan secara pasti penyakit yang menyerang tiga paus yang ditemukan di wilayah Bali tersebut.
"Sakitnya apa, ini sementara didalami oleh dokter ahli hewan dan akan dilakukan uji laboratorium," katanya.
Baca juga: Bangkai hiu paus tutul terdampar di Pantai Ciraragan Cianjur
Yudiarso mengatakan dalam kurun waktu seminggu, ada tiga kejadian paus yang terdampar dengan kondisi mati yakni Paus Bryde di Pantai Batu Lumbang, Kabupaten Tabanan pada Sabtu (1/4), Paus Sperma di Pantai Yeh Malet, Kabupaten Karangasem pada Rabu (5/4), dan Paus Sperma di Pantai Yeh Leh, Kabupaten Jembrana pada Sabtu (8/4).
Secara teknis, kata dia, Kementerian Kelautan akan mempublikasikan hasil penelitian penyebab dari dua paus yang sudah dinekropsi tersebut.
Setelah dilakukan uji laboratorium, kata dia, untuk dua kasus paus mati di dua wilayah berbeda yakni di Jembrana dan Karangasem ditemukan paus jenis sperma (Physeter macrocephalus), sementara untuk paus di Pesisir Pantai Batu Lumbang, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali itu jenisnya bryde atau Paus Edeni (Balaenoptera Brydei).
Yudiarso mengatakan dalam penelitian yang dipelajari, ada beberapa penyebab kematian hewan mamalia tersebut, yakni
Baca juga: Warga temukan hiu paus mati terapung di perairan Raja Ampat
kebisingan suara di laut, perubahan cuaca ekstrem, perubahan kontur laut dan arus, serta bencana alam.
Dengan adanya fenomena kematian paus tersebut, kata dia, pihaknya menaruh perhatian lebih terhadap kesehatan laut Indonesia. Yudiarso menyatakan bahwa ada sesuatu yang memengaruhi kesehatan laut walaupun secara teknis paus ini bermigrasi ke mana pun untuk menjadi bahan evaluasi.
Yudiarso menjelaskan dalam pengamatan Kementerian Kelautan fenomena kematian mamalia laut tersebut telah terjadi selama 19 kali di wilayah BPSPL Denpasar yang membawahi empat provinsi.
"Dari akhir Maret sampai awal April ini total ada 19 kejadian. 3 di Bali, satu di Jawa Timur di Sumenep, sisanya beberapa kejadian di NTT," kata dia.
Baca juga: Paus biru yang mati di Kupang hilang dari lokasi terdampar
Dia mengatakan setelah dilakukan beberapa pemeriksaan akan adanya polusi suara seismik di dalam perairan, pihaknya tidak menemukan adanya fenomena seperti itu di selatan wilayah Samudra Hindia yang menjadi wilayah kerja BPSPL Denpasar.
Namun demikian, ada indikasi karena adanya pencemaran lingkungan khususnya wilayah perairan khususnya karena sampah.
"Ada memang indikasi ke arah sana (sampah laut). Tetapi, pastinya kami masih dalami dan mencatat ada hal seperti itu. Plastik ini kan jadi momoknya kita Indonesia penyumbang sampah plastik. Kita memang tidak tahu puasnya makan plastik di perairan kita atau di mana belum tahu, tetapi dengan adanya fakta bahwa pausnya mati di wilayah kita, itu kan jadi pertanyaan," katanya.
Yudiarso menyatakan sebelumnya, pada tahun 2022 lalu ada sembilan kejadian serupa di wilayah Provinsi Bali.