Bogor, (Antaranews Bogor) - Masyarakat Singkong Indonesia mengatakan permintaan singkong sebagai bioetanol oleh negara asing cukup tinggi, namun para petani belum mampu memenuhi permintaan tersebut.
"Tiongkok sudah minta 50.000 ton per bulan, tetapi kita belum bisa menyanggupi karena untuk menyediakan 10.000 ton per bulan saja kita susah mengumpulkannya," kata Ketua Masyarakat Singkong Indonesia Suharyo Husen di Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Selain Tiongkok, kata Husen, India juga mengajukan permintaan 150.000 per bulan, dan rencananya pembeli dari negara tersebut akan datang ke Indonesia pada Oktober mendatang.
Husen mengatakan produksi singkong Indonesia rata-rata 22 ton per hektar dengan luas lahan yang tersedia 1,1 juta hektar (BPS 2013). Jumlah tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun permintaan dari luar.
Menurut dia, petani singkong di Indonesia masih didominasi petani kecil dan tersebar di sejumlah wilayah dengan ukuran lahan yang tidak terlalu besar.
Selain itu, serangan hama dan alih fungsi kebun singkong menjadi perumahan merupakan faktor penghambat produktifitas singkong dalam negeri.
"Solusi agar permintaan luar negeri untuk bioetanol singkong terpenuhi dengan menerapkan pola klaster, dimana kebun singkong ditanam di lahan seluas ratusan hektar dan melibatkan ratusan petani serta buruh tani," kata Husen.
Seperti yang saat ini sedang disiapkan oleh Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) untuk memenuhi permintaan dari India.
Telah disediakan lahan ribuan hektar di wilayah Timur Indonesia seperti di Luwu Timur Sulawesi Selatan seluas 150 hektar, Banggai Sulawesi Tengah seluas 50.000 hektar, Kabupaten Berau Kalimantan Timur seluas 30.000 hektar dan Lampung 20.000 hektare.
"Untuk lahan Indonesia cukup luas, kita tidak butuh lahan seluas kebun sawit yang mencapai 10 juta hektare. Singkong hanya butuh 1,9 juta hektar atau 2 juta hektar saja sudah menjadikan kita eksportir bioetanol terbesar di dunia," kata Husen.
Husen mengatakan bioetanol singkong tersebut akan dikirim ke India dan Tiongkok dalam bentuk chip yang dijual dengan harga Rp2.500 per kilo gram. Dan dibeli dari petani sebesar Rp2.000 per kg sebagai ongkos transportasi.
"Jadi dari petani kita beli Rp2.000 per kg bisa 100 ton per hektar petani sudah dapatkan "incame" sebesar Rp10 juta," kata Husen.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014
"Tiongkok sudah minta 50.000 ton per bulan, tetapi kita belum bisa menyanggupi karena untuk menyediakan 10.000 ton per bulan saja kita susah mengumpulkannya," kata Ketua Masyarakat Singkong Indonesia Suharyo Husen di Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Selain Tiongkok, kata Husen, India juga mengajukan permintaan 150.000 per bulan, dan rencananya pembeli dari negara tersebut akan datang ke Indonesia pada Oktober mendatang.
Husen mengatakan produksi singkong Indonesia rata-rata 22 ton per hektar dengan luas lahan yang tersedia 1,1 juta hektar (BPS 2013). Jumlah tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun permintaan dari luar.
Menurut dia, petani singkong di Indonesia masih didominasi petani kecil dan tersebar di sejumlah wilayah dengan ukuran lahan yang tidak terlalu besar.
Selain itu, serangan hama dan alih fungsi kebun singkong menjadi perumahan merupakan faktor penghambat produktifitas singkong dalam negeri.
"Solusi agar permintaan luar negeri untuk bioetanol singkong terpenuhi dengan menerapkan pola klaster, dimana kebun singkong ditanam di lahan seluas ratusan hektar dan melibatkan ratusan petani serta buruh tani," kata Husen.
Seperti yang saat ini sedang disiapkan oleh Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) untuk memenuhi permintaan dari India.
Telah disediakan lahan ribuan hektar di wilayah Timur Indonesia seperti di Luwu Timur Sulawesi Selatan seluas 150 hektar, Banggai Sulawesi Tengah seluas 50.000 hektar, Kabupaten Berau Kalimantan Timur seluas 30.000 hektar dan Lampung 20.000 hektare.
"Untuk lahan Indonesia cukup luas, kita tidak butuh lahan seluas kebun sawit yang mencapai 10 juta hektare. Singkong hanya butuh 1,9 juta hektar atau 2 juta hektar saja sudah menjadikan kita eksportir bioetanol terbesar di dunia," kata Husen.
Husen mengatakan bioetanol singkong tersebut akan dikirim ke India dan Tiongkok dalam bentuk chip yang dijual dengan harga Rp2.500 per kilo gram. Dan dibeli dari petani sebesar Rp2.000 per kg sebagai ongkos transportasi.
"Jadi dari petani kita beli Rp2.000 per kg bisa 100 ton per hektar petani sudah dapatkan "incame" sebesar Rp10 juta," kata Husen.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014