Populasi adalah penentu perekonomian, bersama dengan kualitas dari gelombang tenaga kerjanya. Hal tersebut dinyatakan Ali Babacan, seorang politisi asal Turki, untuk menyatakan besarnya potensi potensi kekuatan tenaga kerja dalam sebuah perekonomian negara. Semakin besar populasi sebuah negara, apabila diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya (SDM), maka akan mendukung bertumbuhnya negara berekonomi kuat.
Bagaimana Indonesia? Berdasarkan data World Bank, Indonesia memiliki penduduk sejumlah 264 Juta jiwa. Dengan jumlah itu, apabila keberadaaanya didukung kualitas SDM yang memadai, asumsinya perekonomian Indonesia akan tertopang oleh populasinya. Namun, di awal tahun 2020, kompas.com mencatat beberapa perusahaan besar yang memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam skala besar sejak tahun 2019, di antaranya: PT. Krakatau Steel, Bukalapak, PT. Indosat Tbk., dan PT. Unisem Batam. Penyebab PHK diklaim adalah perubahan global yang menuntut adanya review kinerja perusahaan sehingga harus ada restrukturisasi dan perubahan strategis bisnis. Kedua fakta ini bersifat paradoks, dan menunjukkan bahwa tren sektor ekonomi di Indonesia hampir belum merepresentasikan kekuatan populasi dalam negeri untuk menyokong perekonomian, karena kualitas labor market Indonesia belum mampu bersaing dalam era disrupsi. Elastisitas ketenagakerjaan domestik Indonesia masih dalam kategori rendah, yang disebabkan oleh kurangnya perlindungan terhadap pasar domestik dari serbuan produk impor.
Memang hingga akhir tahun 2019, pemerintah berhasil memenuhi target penurunan pengangguran hingga level 4 s.d. 5 %, namun apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, tingkat pengangguran Indonesia masih belum signifikan. China memiliki tingkat pengangguran 3,6%, Malaysia berada pada tingkat 3,3% sementara Thailand di tingkat 1,0%. Apa yang berbeda dari negara-negara tersebut adalah proporsi struktur perekonomian negaranya.
Urgensi Perluasan Lapangan Kerja
Di Indonesia, sektor-sektor non-tradable seperti sektor jasa, masih mendominasi pasar tenaga kerja di Indonesia, padahal sektor ini lebih sedikit menyerap tenaga kerja, karena tuntutan pendidikan yang cukup besar. Sementara sektor tradable seperti sektor pertanian, pertambangan, atau manufaktur masih belum menjadi menguasai ekonomi Indonesia, padahal sektor-sektor ini menyerap tenaga kerja lebih banyak. Pada lain pihak, ada penurunan investasi di Indonesia apabila berkaca dari perjalanan sejak tahun 2013. Mengutip data BKPM, setiap Rp.1 triliun investasi yang masuk ke Indonesia tahun 2013 mampu menyerap lebih dari 4 ribu tenaga kerja. Namun, pada tahun 2018 merosot hanya seribuan tenaga kerja. Menurut Hariyadi, Ketua Umum Apindo, salah satu penyebabnya yaitu investasi yang masuk kebanyakan merupakan investasi padat modal, bukan padat karya. Padahal industri padat karya lebih banyak menyerap tenaga kerja daripada padat modal.
Ketimpangan ini yang dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk diisi oleh kehadiran Ominbus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Targetnya adalah mendorong regulasi untuk mempermudah investasi, terutama investasi pada karya, sehingga muaranya dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar, dan merealisasikan kesejahteraan masyarakat secara merata. Memang tidak dipungkiri masih ada pro-kontra terhadap Ominbus Law di kalangan masyarakat, namun ada baiknya melihat optimisme yang hendak dinarasikan oleh Pemerintah melalui pengesahan RUU ini menjadi UU. Flexible working hours akan mempermudah tenaga kerja melamar pekerjaan di dua perusahaan, sistem pengupahan berbasis jam kerja akan memudahkan pekerja mengatur ritme bekerja dengan menyesuaikan situasi pribadi yang dihadapi, pengaturan bonus dan penghargaan akan diatur sesuai masa kerja sehingga perusahaan akan ‘wajib’ mengakomodirnya.
Ada banyak sisi positif pembuka lapangan kerja di dalamnya yang memang perlu dibahas secara mendalam untuk menghindari pasal karet yang kemudian justru tidak berpihak pada tenaga kerja. Apalagi jika didsukung oleh pemantapan keterampilan dan pendidikan dari setiap pencari kerja lokal. Para pencari kerja lokal tentu akan memiliki kualitas yang bersaing dengan pekerja asing. Dengan kata lain, mimpi akan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar bukan tidak mungkin untuk terealisasi.
Memperhatikan penurunan tingkat penyerapan tenaga kerja pada periode tahun 2013 s.d. 2018, maka kita bisa melihat ada perkembangan ekonomi global yang harus diantisipasi. Salah satunya dengan beradaptasi dalam menciptakan iklim yang baik dalam mendukung ketersediaan tenaga kerja. Dalam hal ini Omnibus Law ditempatkan sebagai penyederhana regulasi yang selama ini terlalu berbelit dan panjang. Konsep Omnibus Law ini sepatutnya didukung oleh masyarakat, bukan hanya karena mampu memberikan pendapatan yang lebih kepada negara, melainkan juga karena penerapan skemanya dalam jangka panjang sangat mungkin menciptakan kemandirian dan ketahanan ekonomi rakyat yang kuat dan berkualitas menuju Indonesia Maju. Dengan demikian, bonus demografi yang diprediksi akan didapat Indonesia pada tahun 2030 s.d. 2040 akan menjadi kekuatan populasi yang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan perekonomian yang ada. (20/*).
*) Penulis adalah, Mahasiswa pasca sarjana di Jawa Barat.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Bagaimana Indonesia? Berdasarkan data World Bank, Indonesia memiliki penduduk sejumlah 264 Juta jiwa. Dengan jumlah itu, apabila keberadaaanya didukung kualitas SDM yang memadai, asumsinya perekonomian Indonesia akan tertopang oleh populasinya. Namun, di awal tahun 2020, kompas.com mencatat beberapa perusahaan besar yang memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam skala besar sejak tahun 2019, di antaranya: PT. Krakatau Steel, Bukalapak, PT. Indosat Tbk., dan PT. Unisem Batam. Penyebab PHK diklaim adalah perubahan global yang menuntut adanya review kinerja perusahaan sehingga harus ada restrukturisasi dan perubahan strategis bisnis. Kedua fakta ini bersifat paradoks, dan menunjukkan bahwa tren sektor ekonomi di Indonesia hampir belum merepresentasikan kekuatan populasi dalam negeri untuk menyokong perekonomian, karena kualitas labor market Indonesia belum mampu bersaing dalam era disrupsi. Elastisitas ketenagakerjaan domestik Indonesia masih dalam kategori rendah, yang disebabkan oleh kurangnya perlindungan terhadap pasar domestik dari serbuan produk impor.
Memang hingga akhir tahun 2019, pemerintah berhasil memenuhi target penurunan pengangguran hingga level 4 s.d. 5 %, namun apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, tingkat pengangguran Indonesia masih belum signifikan. China memiliki tingkat pengangguran 3,6%, Malaysia berada pada tingkat 3,3% sementara Thailand di tingkat 1,0%. Apa yang berbeda dari negara-negara tersebut adalah proporsi struktur perekonomian negaranya.
Urgensi Perluasan Lapangan Kerja
Di Indonesia, sektor-sektor non-tradable seperti sektor jasa, masih mendominasi pasar tenaga kerja di Indonesia, padahal sektor ini lebih sedikit menyerap tenaga kerja, karena tuntutan pendidikan yang cukup besar. Sementara sektor tradable seperti sektor pertanian, pertambangan, atau manufaktur masih belum menjadi menguasai ekonomi Indonesia, padahal sektor-sektor ini menyerap tenaga kerja lebih banyak. Pada lain pihak, ada penurunan investasi di Indonesia apabila berkaca dari perjalanan sejak tahun 2013. Mengutip data BKPM, setiap Rp.1 triliun investasi yang masuk ke Indonesia tahun 2013 mampu menyerap lebih dari 4 ribu tenaga kerja. Namun, pada tahun 2018 merosot hanya seribuan tenaga kerja. Menurut Hariyadi, Ketua Umum Apindo, salah satu penyebabnya yaitu investasi yang masuk kebanyakan merupakan investasi padat modal, bukan padat karya. Padahal industri padat karya lebih banyak menyerap tenaga kerja daripada padat modal.
Ketimpangan ini yang dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk diisi oleh kehadiran Ominbus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Targetnya adalah mendorong regulasi untuk mempermudah investasi, terutama investasi pada karya, sehingga muaranya dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar, dan merealisasikan kesejahteraan masyarakat secara merata. Memang tidak dipungkiri masih ada pro-kontra terhadap Ominbus Law di kalangan masyarakat, namun ada baiknya melihat optimisme yang hendak dinarasikan oleh Pemerintah melalui pengesahan RUU ini menjadi UU. Flexible working hours akan mempermudah tenaga kerja melamar pekerjaan di dua perusahaan, sistem pengupahan berbasis jam kerja akan memudahkan pekerja mengatur ritme bekerja dengan menyesuaikan situasi pribadi yang dihadapi, pengaturan bonus dan penghargaan akan diatur sesuai masa kerja sehingga perusahaan akan ‘wajib’ mengakomodirnya.
Ada banyak sisi positif pembuka lapangan kerja di dalamnya yang memang perlu dibahas secara mendalam untuk menghindari pasal karet yang kemudian justru tidak berpihak pada tenaga kerja. Apalagi jika didsukung oleh pemantapan keterampilan dan pendidikan dari setiap pencari kerja lokal. Para pencari kerja lokal tentu akan memiliki kualitas yang bersaing dengan pekerja asing. Dengan kata lain, mimpi akan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar bukan tidak mungkin untuk terealisasi.
Memperhatikan penurunan tingkat penyerapan tenaga kerja pada periode tahun 2013 s.d. 2018, maka kita bisa melihat ada perkembangan ekonomi global yang harus diantisipasi. Salah satunya dengan beradaptasi dalam menciptakan iklim yang baik dalam mendukung ketersediaan tenaga kerja. Dalam hal ini Omnibus Law ditempatkan sebagai penyederhana regulasi yang selama ini terlalu berbelit dan panjang. Konsep Omnibus Law ini sepatutnya didukung oleh masyarakat, bukan hanya karena mampu memberikan pendapatan yang lebih kepada negara, melainkan juga karena penerapan skemanya dalam jangka panjang sangat mungkin menciptakan kemandirian dan ketahanan ekonomi rakyat yang kuat dan berkualitas menuju Indonesia Maju. Dengan demikian, bonus demografi yang diprediksi akan didapat Indonesia pada tahun 2030 s.d. 2040 akan menjadi kekuatan populasi yang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan perekonomian yang ada. (20/*).
*) Penulis adalah, Mahasiswa pasca sarjana di Jawa Barat.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020