Bogor (Antara Megapolitan) - Pascaputusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi tiga pasal KUHP yang dilayangkan ALIA Indonesia, Guru besar bidang ketahanan keluarga Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Euis Sunarti mengharapkan pemerintah harus terdepan dalam melindungi ketahanan keluarga.
"Langkah yang kami lakukan ini untuk perlindungan keluarga, pelindungan anak, perlindungan generasi kita semua, perlindungan masa depan kita semua, pemerintah harus yang terdepan lah," kata Euis, saat ditemui Antara, Rabu.
Euis mengungkapkan kekhawatirannya terkait cabul sesama jenis, atau gay yang semakin mengkhawatirkan. Adanya kemudahan untuk merekrut banyak orang untuk terpengaruh penyimpangan seksual.
"Sebagai orangtua, sebagai keluarga yang masih menginginkan nilai-nilai luhur agama, dan ini adalah hak konstitusional. Hak paling dasar itu tidak terjamin sekarang, inilah sebetulnya sangat dirasakan, kita tidak tau sekarang kita selamat atau tidak ke depan seperti apa, mungkin kiri dan kanan akan terkena," katanya.
Bentuk kekhawatiran Euis terhadap cabul sesama jenis berdasarkan fakta dan data yang ditemukannya di lapangan yang sangat mudah untuk dicari. Di wilayah terpencil di satu kabupaten kecil di Jawa Barat angka 1.400 hinggga 1.600 berdasarkan nama dan alamat mengikuti program pendampingan.
"Ia mengatakan 1.400-an orang yang ikut pendapingan tersebut tercatat berdasarkan nama dan alamatnya. Walau jumlahnya di bawah 24 persen, tetapi sebuah angka yang sangat besar.
"Ternyata di berbagai daerah juga demikian, satu kabupaten ada 44 kecamatan, 10 titik 10 kecamatan, di satu titik waktu itu ada 6.600. Itu saya ingat Juni 2015, ketika dicek Januari 2016, artinya dalam enam bulan, angka itu meningkat menjadi 8.013, peningkatan 1.400 dalam enam bulan, itu yang terdata nama dan alamatnya laki laki seks lelaki," katanya.
Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi mereka yang belum terdata, belum lagi yang beresiko, dan belum lagi yang lebian.
Dalam sebuah dikusi grup terarah yang dihadiri para penyuka sesama jenis, lanjut Euis, dirinya mendengarkan langsung pernyataan penyuka sesama jenis, kalau pasangannya tidak setia maka mereka akan mencari yang lain, mencari anak muda, mahasiswa yang kekurangan uang, lalu diberikan telepon genggam, dan baju.
"Itu mengerikan. Saya, ada mahasiswa saya yang begitu sampai DO karena itu " katanya.
Menurut Euis, ia dan teman-temannya di Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia tau data, tau fakta tersebut, sehingga tidak bisa mendiamkannya. Yang jadi persoalannya tidak semua orang terpapar dengan informasi tersebut.
"Kami ber-12 ini orang-orang yang memang "concern" dengan itu, dan kemudian ingin tau, ada yang sebagai peneliti, dosen, sebagai orang yang di masyarakat," kata Euis.
Upaya untuk melindungi ketahanan keluarga telah dilakukan pihaknya dengan berbagai cara, melakukan uji materi bukan satu-satunya instrumen hukum yang ditempuh, sudah pula dilakukan pemberdayaan.
"Kalau misalnya ada yang mengatakan jangan pakai instrumen hukumlah, pakai pemberdayaan saja. Oh.. kita sudah lakukan itu, inilah yang membawa semangat kami itu sedemikian rupa, sampai kemudian kami tau yudisial review itu tidak mudah. Tapi kami lakukan karena dasar tadi," katanya.
Meski MK telah memutuskan, menurut Euis pihaknya masih akan terus berjuang. Tersisa dua upaya hukum lainnya yakni melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) dan melalui DPR RI.
"Dua-duanya kami lakukan. Karena putusan MK ini final dan mengikat, saya tidak tau adakah batu uji lain lagi setelah di MK. Harus didiskusikan lagi, kami juga harus konsolidasi lagi, cara lain adalah DPR RI dan Perpu," katanya.
Euis mengatakan bagaimana mendorong DPR RI segera secepatnya menerbitkan RUU KUHP, dan sebetulnya di dalam RUU KUHP, DPR sudah mengakomodir norma yang diinginkan, hanya permasalahannya tidak tahu kapan selesainya.
"Mudah-mudahan apakah dengan kasus ini, ada cara lain yang bisa mempercepat, atau apakah ada undang-undang lain yang bisa lebih mudah dibanding KUHP. Ini yang akan coba kita liat kemungkinannya," kata Euis.
Sebelumnya Euis bersama 11 orang rekannya dari AILA Indonesia mengajukan permohonan uji materi tiga pasal KUHP yakni pasal 284 tentang perzinaan, pasal 285 tentang perkosaan, dan pasal 292 tentang pencabulan.
Pemohon meminta perluasan ketiga pasal tersebut. Pasal 284 tentang perzinaan yang tadinya terbatas dalam kaitan penikahan diperluas ke konteks di luar pernikahan. Pasal 285 tentang perkosaan yang tadinya terbatas laki-laki terhadap perempuan, diminta untuk diperluas ke laki-laki atau perempuan ke laki-laki.
Pasal 292 tentang pencabulan anak yang asalnya sesama jenis laki-laki dewasa terhadap yang belum dewasa, diminta untuk dihilangkan batasan umurnya.
MK menyatakan bahwa pasal-pasal KUHP yang dimohonkan untuk diuji materi tidak bertentangan dengan konstitusi.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
"Langkah yang kami lakukan ini untuk perlindungan keluarga, pelindungan anak, perlindungan generasi kita semua, perlindungan masa depan kita semua, pemerintah harus yang terdepan lah," kata Euis, saat ditemui Antara, Rabu.
Euis mengungkapkan kekhawatirannya terkait cabul sesama jenis, atau gay yang semakin mengkhawatirkan. Adanya kemudahan untuk merekrut banyak orang untuk terpengaruh penyimpangan seksual.
"Sebagai orangtua, sebagai keluarga yang masih menginginkan nilai-nilai luhur agama, dan ini adalah hak konstitusional. Hak paling dasar itu tidak terjamin sekarang, inilah sebetulnya sangat dirasakan, kita tidak tau sekarang kita selamat atau tidak ke depan seperti apa, mungkin kiri dan kanan akan terkena," katanya.
Bentuk kekhawatiran Euis terhadap cabul sesama jenis berdasarkan fakta dan data yang ditemukannya di lapangan yang sangat mudah untuk dicari. Di wilayah terpencil di satu kabupaten kecil di Jawa Barat angka 1.400 hinggga 1.600 berdasarkan nama dan alamat mengikuti program pendampingan.
"Ia mengatakan 1.400-an orang yang ikut pendapingan tersebut tercatat berdasarkan nama dan alamatnya. Walau jumlahnya di bawah 24 persen, tetapi sebuah angka yang sangat besar.
"Ternyata di berbagai daerah juga demikian, satu kabupaten ada 44 kecamatan, 10 titik 10 kecamatan, di satu titik waktu itu ada 6.600. Itu saya ingat Juni 2015, ketika dicek Januari 2016, artinya dalam enam bulan, angka itu meningkat menjadi 8.013, peningkatan 1.400 dalam enam bulan, itu yang terdata nama dan alamatnya laki laki seks lelaki," katanya.
Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi mereka yang belum terdata, belum lagi yang beresiko, dan belum lagi yang lebian.
Dalam sebuah dikusi grup terarah yang dihadiri para penyuka sesama jenis, lanjut Euis, dirinya mendengarkan langsung pernyataan penyuka sesama jenis, kalau pasangannya tidak setia maka mereka akan mencari yang lain, mencari anak muda, mahasiswa yang kekurangan uang, lalu diberikan telepon genggam, dan baju.
"Itu mengerikan. Saya, ada mahasiswa saya yang begitu sampai DO karena itu " katanya.
Menurut Euis, ia dan teman-temannya di Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia tau data, tau fakta tersebut, sehingga tidak bisa mendiamkannya. Yang jadi persoalannya tidak semua orang terpapar dengan informasi tersebut.
"Kami ber-12 ini orang-orang yang memang "concern" dengan itu, dan kemudian ingin tau, ada yang sebagai peneliti, dosen, sebagai orang yang di masyarakat," kata Euis.
Upaya untuk melindungi ketahanan keluarga telah dilakukan pihaknya dengan berbagai cara, melakukan uji materi bukan satu-satunya instrumen hukum yang ditempuh, sudah pula dilakukan pemberdayaan.
"Kalau misalnya ada yang mengatakan jangan pakai instrumen hukumlah, pakai pemberdayaan saja. Oh.. kita sudah lakukan itu, inilah yang membawa semangat kami itu sedemikian rupa, sampai kemudian kami tau yudisial review itu tidak mudah. Tapi kami lakukan karena dasar tadi," katanya.
Meski MK telah memutuskan, menurut Euis pihaknya masih akan terus berjuang. Tersisa dua upaya hukum lainnya yakni melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) dan melalui DPR RI.
"Dua-duanya kami lakukan. Karena putusan MK ini final dan mengikat, saya tidak tau adakah batu uji lain lagi setelah di MK. Harus didiskusikan lagi, kami juga harus konsolidasi lagi, cara lain adalah DPR RI dan Perpu," katanya.
Euis mengatakan bagaimana mendorong DPR RI segera secepatnya menerbitkan RUU KUHP, dan sebetulnya di dalam RUU KUHP, DPR sudah mengakomodir norma yang diinginkan, hanya permasalahannya tidak tahu kapan selesainya.
"Mudah-mudahan apakah dengan kasus ini, ada cara lain yang bisa mempercepat, atau apakah ada undang-undang lain yang bisa lebih mudah dibanding KUHP. Ini yang akan coba kita liat kemungkinannya," kata Euis.
Sebelumnya Euis bersama 11 orang rekannya dari AILA Indonesia mengajukan permohonan uji materi tiga pasal KUHP yakni pasal 284 tentang perzinaan, pasal 285 tentang perkosaan, dan pasal 292 tentang pencabulan.
Pemohon meminta perluasan ketiga pasal tersebut. Pasal 284 tentang perzinaan yang tadinya terbatas dalam kaitan penikahan diperluas ke konteks di luar pernikahan. Pasal 285 tentang perkosaan yang tadinya terbatas laki-laki terhadap perempuan, diminta untuk diperluas ke laki-laki atau perempuan ke laki-laki.
Pasal 292 tentang pencabulan anak yang asalnya sesama jenis laki-laki dewasa terhadap yang belum dewasa, diminta untuk dihilangkan batasan umurnya.
MK menyatakan bahwa pasal-pasal KUHP yang dimohonkan untuk diuji materi tidak bertentangan dengan konstitusi.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017