Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN menyatakan sebanyak 61 juta penduduk usia produktif masih harus menanggung beban masyarakat lain yang tidak produktif.

Sekretaris Kemendukbangga/BKKBN Budi Setiyono menyebutkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) ada 190 juta penduduk Indonesia yang berusia produktif, tetapi secara konkret atau kontribusi fiskal hanya sekitar 61 juta penduduk yang memiliki NPWP.

"Hanya 61 juta yang berkontribusi dalam sektor pajak, sekitar 30-an persen saja. Ibaratnya, kalau kita membangun jembatan, yang menyumbang untuk gedung ya sekitar 30 persen itu, sisanya hanya menumpang lewat, mereka harus memikul beban bagi penduduk yang tidak berkontribusi," kata Budi di Jakarta, Kamis.

Apabila penduduk usia produktif surplus tetapi tidak memiliki akses terhadap pekerjaan dan memiliki kontribusi fiskal, menurut Budi, bonus demografi bisa menjadi bencana.

Baca juga: BKKBN gandeng ANTARA sukseskan 5 Quick Win Kemendukbangga

"Bonus demografi hanya bisa kita dapatkan kalau ada suplai dan permintaan. Suplai berhubungan dengan manpower planning (proses perencanaan tenaga kerja) yang berkaitan dengan population policy (kebijakan kependudukan)," ujar dia.

Sedangkan terkait permintaan, dalam konteks penduduk bisa mendapatkan pekerjaan, maka tanpa ada keseimbangan suplai dan permintaan, akan selalu ada ketimpangan, dimana akan ada penduduk yang menanggung beban orang lain.

"Idealnya bonus demografi, kalau ada satu juta orang, maka ada satu juta pekerjaan, sehingga mereka bisa mendapatkan pekerjaan dan berkontribusi membayar pajak. Jadi tidak ada yang menanggung beban orang lain," ucapnya.

Dalam konteks pelaksanaan pembangunan, Budi menekankan pentingnya pemerintah untuk bergerak secara holistik dan integratif, karena hingga saat ini, dokumen-dokumen kependudukan di Indonesia masih berserak.

Baca juga: BKKBN tekankan pentingnya pelibatan penuh difabel dapat wujudkan Indonesia yang inklusif

"Semua sendiri-sendiri dan tidak nyambung, jadi ketika memberikan kebijakan, belum ada acuan pasti untuk referensi. Jadi, perlu ada single identity (satu identitas) agar bisa mengakses semua data yang diperlukan, jadi tidak perlu mengisi formulir satu per satu, ibarat sepeda, kalau Nomor Induk Kependudukan (NIK) nyambung maka bisa kita integrasikan," paparnya.

Menurutnya, perlu ada satu data kependudukan yang pasti, sehingga pemerintah bisa memproyeksikan penduduk mana yang memiliki level pekerjaan tertentu dan nantinya akan terserap di dunia industri seperti apa.

"Sistem yang holistik hanya bisa kita mulai kalau ada data kependudukan yang menjadi referensi utama bagi para pembuat kebijakan. Data kependudukan itu, kalau kita proyeksi, kita bisa tahu harus menyediakan sekolah berapa, berapa jalan, jembatan, itu semua bisa dihitung dan tidak hanya berdasarkan intuisi asal-asalan," tutur Budi setiyono.

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025