Bogor (Antara Megapolitan) - Peneliti peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama pelaku usaha peternakan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Asosiasi Perunggasan dan Kementerian Pertanian (Kementan) RI membahas banyaknya kendala yang dihadapi dalam usaha perunggasan, khususnya bagi peternak mandiri.
Bahasan ini mengemuka dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor (15/8). Hasil FGD ini akan segera diusulkan oleh Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (KSKP) IPB kepada pemerintah sebagai solusi dari persoalan dalam usaha perunggasan.
Dalam FGD ini terungkap para peternak masih menghadapi berbagai kendala dan masalah mendasar yang menghambat daya saing, pertumbuhan dan kemajuan. Masalah-masalah tersebut diantaranya kelebihan pasokan Day Old Chick (DOC) yang selama ini masih jadi kendala internal, sehingga harga dan kualitas sulit dikendalikan, ketergantungan terhadap impor bibit grand parent stock (GPS), tingginya impor jagung, serta bahan baku pakan dan obat hewan menambah kompleksnya permasalahan internal dalam pengembangan perunggasan nasional.
Wakil Rektor Bidang Sumberdaya dan Kajian Strategis IPB, Prof. Dr. Hermanto Siregar menyampaikan bahwa kondisi para pelaku peternakan merupakan salah satu cermin kondisi ekonomi Indonesia. Dikatakannya, dengan melihat peternak atau insan-insan peternakan, ternyata masih banyak peternak kecil. Kondisi tersebut menimbulkan melebarnya kesenjangan.
''Dalam FGD ini diharapkan bagaimana bisa digali solusi terkait persoalan di dunia perunggasan ini. Keinginan Presiden RI Joko Widodo sudah sangat jelas, bagaimana kesenjangan bisa dipersempit. Caranya bukan menghambat yang menengah dan besar, tetapi caranya adalah mengakselerasi kinerja yang kecil-kecil. Semua komponen dapat menjalankan fungsinya sebaik mungkin, sehingga para pelaku agar tidak maju sendiri. Kemajuan bisa dishare, dinikmati bersama dan maju bersama,'' paparnya.
Prof. Hermanto menambahkan, dalam mengatasi persoalan yang harus dibenahi, tidak saja melihat dari aspek teknis, melainkan berbagai aspek; sistem, teknologi, dan kelembagaan untuk mencapai kinerja peternakan. Hal lain yang lebih penting, terangnya, adalah institusional dan terobosan kelembagaan yang bisa mengubah dan mempengaruhi struktur dalam hal skala usaha.
Ir. Fauziah Hasani dari Kementan RI menyampaikan, usaha peternakan ayam ras pedaging (broiler) sekira 80 persen dikuasai perusahaan integrasi dan hanya 20 persen peternak mandiri.
Peternak mandiri ayam ras pedaging (broiler) sulit bersaing dengan perusahaan integrasi, dilihat dari sisi penguasaan sarana produksi dan efisiensi usaha, sehingga harga ayam ras pedaging yang diproduksi peternak mandiri relatif lebih tinggi dibanding yang dijual perusahaan-perusahaan integrasi.
Hasil produksi ayam ras pedaging dari perusahaan integrasi sekira 20 persen untuk pengolahan dan 80 persen dijual ke pasar tradisional, sehingga market share peternak di pasar tradisional menjadi turun.
Perusahaan integrasi selama ini juga berperan sebagai perusahaan inti dan dominan memiliki Rumah Pemotongan Ayam (RPA). Perusahaan-perusahaan ini telah melakukan penyimpanan di cold storage, tetapi kapasitas cold storage hanya mampu menampung stock sebesar 15-20 persen dari total produksi.
Merespon kondisi tersebut, langkah yang dilakukan pemerintah yaitu dengan Penerbitan Permentan No. 61 Tahun 2016 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras, yang bertujuan untuk mewujudkan usaha peternakan ayam ras yang kondusif dan sinergis .
Sementara, Direktur Pengawasan Kemitraan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Dedy Sani Ardi, menyetujui konsep yang ditawarkan Guru Besar Fakultas Peternakan IPB, Prof. Dr. Muladno, melalui Sekolah Peternakan Rakyat (SPR). Menurutnya, dengan SPR para petani mandiri bisa saling bergotong-royong.
''Melalui kelembagaan tersebut pemerintah bisa hadir memberikan bantuan berupa fasilitas yang dibutuhkan dan bantuan lainnya. Dengan demikian peternak mandiri jika bergabung akan menjadi besar,'' ujarnya.(dh)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Bahasan ini mengemuka dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor (15/8). Hasil FGD ini akan segera diusulkan oleh Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (KSKP) IPB kepada pemerintah sebagai solusi dari persoalan dalam usaha perunggasan.
Dalam FGD ini terungkap para peternak masih menghadapi berbagai kendala dan masalah mendasar yang menghambat daya saing, pertumbuhan dan kemajuan. Masalah-masalah tersebut diantaranya kelebihan pasokan Day Old Chick (DOC) yang selama ini masih jadi kendala internal, sehingga harga dan kualitas sulit dikendalikan, ketergantungan terhadap impor bibit grand parent stock (GPS), tingginya impor jagung, serta bahan baku pakan dan obat hewan menambah kompleksnya permasalahan internal dalam pengembangan perunggasan nasional.
Wakil Rektor Bidang Sumberdaya dan Kajian Strategis IPB, Prof. Dr. Hermanto Siregar menyampaikan bahwa kondisi para pelaku peternakan merupakan salah satu cermin kondisi ekonomi Indonesia. Dikatakannya, dengan melihat peternak atau insan-insan peternakan, ternyata masih banyak peternak kecil. Kondisi tersebut menimbulkan melebarnya kesenjangan.
''Dalam FGD ini diharapkan bagaimana bisa digali solusi terkait persoalan di dunia perunggasan ini. Keinginan Presiden RI Joko Widodo sudah sangat jelas, bagaimana kesenjangan bisa dipersempit. Caranya bukan menghambat yang menengah dan besar, tetapi caranya adalah mengakselerasi kinerja yang kecil-kecil. Semua komponen dapat menjalankan fungsinya sebaik mungkin, sehingga para pelaku agar tidak maju sendiri. Kemajuan bisa dishare, dinikmati bersama dan maju bersama,'' paparnya.
Prof. Hermanto menambahkan, dalam mengatasi persoalan yang harus dibenahi, tidak saja melihat dari aspek teknis, melainkan berbagai aspek; sistem, teknologi, dan kelembagaan untuk mencapai kinerja peternakan. Hal lain yang lebih penting, terangnya, adalah institusional dan terobosan kelembagaan yang bisa mengubah dan mempengaruhi struktur dalam hal skala usaha.
Ir. Fauziah Hasani dari Kementan RI menyampaikan, usaha peternakan ayam ras pedaging (broiler) sekira 80 persen dikuasai perusahaan integrasi dan hanya 20 persen peternak mandiri.
Peternak mandiri ayam ras pedaging (broiler) sulit bersaing dengan perusahaan integrasi, dilihat dari sisi penguasaan sarana produksi dan efisiensi usaha, sehingga harga ayam ras pedaging yang diproduksi peternak mandiri relatif lebih tinggi dibanding yang dijual perusahaan-perusahaan integrasi.
Hasil produksi ayam ras pedaging dari perusahaan integrasi sekira 20 persen untuk pengolahan dan 80 persen dijual ke pasar tradisional, sehingga market share peternak di pasar tradisional menjadi turun.
Perusahaan integrasi selama ini juga berperan sebagai perusahaan inti dan dominan memiliki Rumah Pemotongan Ayam (RPA). Perusahaan-perusahaan ini telah melakukan penyimpanan di cold storage, tetapi kapasitas cold storage hanya mampu menampung stock sebesar 15-20 persen dari total produksi.
Merespon kondisi tersebut, langkah yang dilakukan pemerintah yaitu dengan Penerbitan Permentan No. 61 Tahun 2016 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras, yang bertujuan untuk mewujudkan usaha peternakan ayam ras yang kondusif dan sinergis .
Sementara, Direktur Pengawasan Kemitraan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Dedy Sani Ardi, menyetujui konsep yang ditawarkan Guru Besar Fakultas Peternakan IPB, Prof. Dr. Muladno, melalui Sekolah Peternakan Rakyat (SPR). Menurutnya, dengan SPR para petani mandiri bisa saling bergotong-royong.
''Melalui kelembagaan tersebut pemerintah bisa hadir memberikan bantuan berupa fasilitas yang dibutuhkan dan bantuan lainnya. Dengan demikian peternak mandiri jika bergabung akan menjadi besar,'' ujarnya.(dh)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017