Atlet para-atletik Jawa Tengah Muhammad Dimas Ubaidillah mulai merasa ada yang salah dengan penglihatannya saat dia menginjak kelas 5 SD.
Kala itu, Dimas tidak dapat melihat dengan jelas. Kabur. Awalnya dia tidak terlalu menganggapnya serius. Namun, situasi justru semakin parah.
Begitu mengetahui kondisi anaknya, ayah dan ibu Dimas segera mencari penanganan medis. Berharap sakit mata Dimas sesuatu yang biasa.
Namun, ternyata tidak demikian. Ibunya, Anik Idayati, menyebut bahwa dokter mendiagnosis anaknya terkena glaukoma. Penyakit mata yang menyerang saraf. Risikonya, kebutaan total.
Terang saja perempuan yang berprofesi sebagai pedagang pakaian itu panik. Apa saja kata dokter dia turuti demi kesembuhan anaknya, termasuk operasi.
"Dokter mengoperasinya empat kali. Dimas waktu itu masih SD. Beberapa terapi diberikan. Kami pun membawanya ke pengobatan alternatif. Kami membawa Dimas berobat ke mana-mana," ujar Anik.
Sayangnya, tidak ada hasil. Kesehatan mata Dimas terus memburuk dan akhirnya buta keseluruhan sekitar dua tahun berselang.
Anik sangat sedih melihat kondisi buah hatinya itu. Pikiran-pikiran negatif pelan-pelan melintasi benaknya yang gusar. Doa-doa kepada Yang Kuasa pun rajin terlontar.
Sebagai seorang ibu, sulit untuk dirinya melihat Dimas tiba-tiba tenggelam dalam gelap. Belum lagi omongan, ejekan semakin merayap masuk ke ruang keluarga mereka.
"Saya pun bingung, anak saya ini nanti mau jadi apa? Kalau dia tidak melihat, bagaimana nasibnya nanti," kata Anik.
Berprestasi
Dimas sendiri masih melanjutkan pendidikannya di sekolah reguler hingga SMP. Namun, pihak SMP ternyata menyarankan Dimas pindah ke sekolah luar biasa (SLB) lantaran matanya tidak merespons akibat kebutaan.
Dengan berat hati, Anik dan suaminya, Muhammad Zuhri, pun membawa Dimas ke sebuah sekolah luar biasa (SLB) di Kendal.
SLB itu ternyata rajin melaksanakan perlombaan olahraga. Murid-murid ikut serta, termasuk Dimas. Ternyata, anak kelahiran 19 April 2003 itu mampu lebih cepat dari teman-temannya dalam kompetisi lari.
Sekolah pun memercayakannya ikut ke beberapa turnamen. Di sinilah bakatnya mulai terendus. Hanya sekitar 1,5 tahun di SLB tersebut, Dimas lalu beranjak ke Sekolah Khusus Olahraga Disabilitas Indonesia di Solo.
Di sekolah yang diresmikan pemerintah pada tahun 2018 itu, talenta Dimas terus diasah. Selain itu, dia juga meringankan beban orang tuanya lantaran biaya pendidikannya ditanggung beasiswa.
"Alhamdulillah saya tidak pernah membayar uang sekolah Dimas sejak dia SMP. Semua dibayar pemerintah. Malah dia dikasih uang jajan. Alhamdulillah," ucap Anik.
Dengan potensinya, performa Dimas melesat cepat di bawah gemblengan tim pelatih National Paralympic Committee of Indonesia (NPCI) wilayah Jawa Tengah. Seiring waktu, dia tumbuh menjadi remaja yang eksplosif di lintasan terutama di nomor lari jarak pendek.
Dimas lalu muncul sebagai pendatang baru yang menjanjikan di dunia lari disabilitas dengan merebut medali di kejuaraan paralimpik pelajar tingkat provinsi dan nasional sejak tahun 2018.
Pada tahun 2021, dia mendapatkan medali emas di Asian Youth Para Games di Bahrain, emas di Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) 2021, medali perak dan perunggu di ASEAN Para Games 2022 serta dua perak dan satu perunggu di ASEAN Para Games 2023.
Terkini, di Peparnas 2024, Solo, Dimas merebut dua medali emas yakni dari nomor lompat jauh T11 putra dan estafet 4x100 T11-T13 putra. T11 merupakan klasifikasi untuk atlet dengan kebutaan total.
Terkait lompat jauh, itu merupakan kali pertama Dimas turun di nomor tersebut pada ajang resmi sepanjang kariernya di dunia olahraga disabilitas.
Proses Dimas untuk mendapatkan semua pencapaian tersebut tidak mudah. Sebab, bukan cuma berlatih teknik, Dimas juga mesti membiasakan diri dengan beberapa hal misalnya bermitra dengan pendamping (guide) yang menemaninya di setiap ajang lomba para-atletik.
Dimas berkisah, salah satu hal yang membuatnya semangat dan penuh motivasi saat berlatih adalah ingatan akan perkataan orang-orang yang dahulu meremehkan bahkan mengejeknya.
"Banyak yang bully saya karena mata saya ini. Akhirnya saya gak punya teman. Akan tetapi, saya mau membuktikannya dengan prestasi. Kalau mengingat kata-kata tidak enak itu, saya justru semakin termotivasi dan semangat. saya harus membuktikan bahwa saya mampu berprestasi dan sukses," tutur Dimas.
Dengan semua prestasinya saat ini, dia memperoleh banyak bonus dari berbagai pihak. Pundi-pundinya bertambah. Namun, Dimas tetap rendah hati.
Hasil jerih payahnya sebagian besar diberikan ke orang tua yang tidak pernah letih memberikan sokongan. Salah satunya, dia membuat konter gawai di Kendal untuk sang ayah yang sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai karyawan pabrik.
"Alhamdulillah, buat usaha bapak," tutur Dimas.
Kalau bercerita soal Dimas, bagaimana dia dahulu dan saat ini, sang ibu Anik Idayati selalu terharu.
Saat dia dan suaminya sangat mengkhawatirkan masa depan sang anak yang menderita kebutaan, ternyata Tuhan memberikan jawaban yang indah.
"Manusia tidak pernah tahu. Gusti Allah justru membuat Dimas menjadi anak yang mengangkat derajat orang tua. Membahagiakan kami. Kami sebagai orang tua hanya bisa mendoakannya. Tidak lebih dari itu. Semoga Dimas tetap semangat, selalu tekun belajar dan berolahraga. Terserah orang mau bilang apa," ujar Anik.
Sebenarnya, Anik mengungkapkan bahwa hingga sekarang putranya tersebut beberapa kali berobat di salah satu klinik mata di Semarang, khususnya saat merasa pusing dan tidak nyaman di matanya.
Melihat itu, jauh di lubuk hatinya, Anik mengaku masih punya asa mata sang anak pulih kembali. Namun, yang terpenting bagi dia dan keluarga, Dimas selalu dalam keadaan sehat dan dapat membangun karier yang mapan di kemudian hari.
Perjalanan Dimas masih sangat panjang dan tidak ada yang bisa mengetahui bagaimana nasibnya ke depan.
Akan tetapi, yang bisa dipastikan adalah, selama proses itu berlangsung dirinya mendapatkan pengawalan penuh dari doa-doa orang tuanya.
Dengan doa-doa itu, Muhammad Dimas Ubaidillah mengukir pelita dalam gulitanya. Pelita yang akan menuntun dia mencapai tujuan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024