Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan interval puncak peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang awalnya setiap 10 tahun sekali kian pendek, menjadi 5 tahun bahkan 3 tahun, karena perubahan cuaca yang semakin tidak menentu.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi mengatakan DBD pertama ditemukan pada tahun 1968 di Indonesia dan dahulu peningkatan kasusnya setiap 10 tahun sekali, bersamaan dengan terjadinya El Nino.
"Bahkan kalau di Jakarta itu tidak ada (intervalnya), setiap tahun pasti ada kasus demam berdarah. Jadi inilah yang saya kira perlu diwaspadai," ujar Imran dalam ASEAN Dengue Day 2024 yang disiarkan di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Kewaspadaan orang tua kunci keberhasilan tangani DBD anak
Menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG, kata dia, puncak musim kemarau adalah Juli dan Agustus. Oleh karena itu perlu waspada karena nyamuk Aedes aegypti yang menyebarkan penyakit itu menggigit 2,5 kali lebih sering saat suhu meningkat.
"Apalagi nanti yang kami khawatirkan kalau hujannya seperti sekarang di Batam. Hujan sebentar cukup deras pada pagi hari, kemudian 3 hari atau seminggu nggak ada hujan lagi. Maka genangan-genangan air ini yang akan menjadi breeding places," katanya.
Menurutnya, perubahan iklim tidak dapat dicegah, namun yang terpenting adalah cara menghadapinya.
Baca juga: Kemenkes: Video pasien DBD di RSUD Kota Bekasi membeludak tidak valid
Setiap ada puncak kasus itu, kata dia, ada intervensi sehingga kasusnya turun. Kemudian, katanya, kasus naik lagi, yang menandakan bahwa cara intervensi yang lama tidak lagi optimal. Oleh karena itu dia menilai perlunya upaya-upaya inovatif dalam mengatasi DBD.
Selain melakukan upaya pemberantasan nyamuk, menurutnya, pemerintah daerah (pemda) juga perlu melakukan evaluasi mulai dari ketepatan aktivitasnya, frekuensinya, sasarannya, bahkan sebersih apa tempat mereka dari jentik nyamuk guna memastikan efektivitas upaya-upaya tersebut.
Imran mengatakan nyamuk adalah binatang paling ganas, karena menjadi binatang pembunuh nomor satu di dunia. Hal tersebut, lanjutnya, tidak seperti pemikiran orang bahwa binatang seperti ular atau harimau yang paling banyak membunuh manusia.
Baca juga: Kemenkes: Gejala DBD ada sejumlah perubahan di tubuh penyintas COVID-19
"Nyamuk itu ternyata setiap tahun membunuh sekitar 1 juta orang di dunia," katanya.
Di Indonesia, kata dia, angka kematian akibat DBD sejauh ini atau minggu ke-25 tahun 2024 adalah 869 kasus, sedangkan total kematian pada 2023 adalah 894 kasus.
Adapun untuk kasus DBD, kata Imran, sejauh ini terdapat 146 ribu kasus pada 2024 dan pada 2023 terdapat sekitar 114 ribu kasus. Sementara itu sebaran kasus DBD terbanyak pada 2023 dan 2024 di wilayah padat penduduk, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jakarta, dan Bali.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi mengatakan DBD pertama ditemukan pada tahun 1968 di Indonesia dan dahulu peningkatan kasusnya setiap 10 tahun sekali, bersamaan dengan terjadinya El Nino.
"Bahkan kalau di Jakarta itu tidak ada (intervalnya), setiap tahun pasti ada kasus demam berdarah. Jadi inilah yang saya kira perlu diwaspadai," ujar Imran dalam ASEAN Dengue Day 2024 yang disiarkan di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Kewaspadaan orang tua kunci keberhasilan tangani DBD anak
Menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG, kata dia, puncak musim kemarau adalah Juli dan Agustus. Oleh karena itu perlu waspada karena nyamuk Aedes aegypti yang menyebarkan penyakit itu menggigit 2,5 kali lebih sering saat suhu meningkat.
"Apalagi nanti yang kami khawatirkan kalau hujannya seperti sekarang di Batam. Hujan sebentar cukup deras pada pagi hari, kemudian 3 hari atau seminggu nggak ada hujan lagi. Maka genangan-genangan air ini yang akan menjadi breeding places," katanya.
Menurutnya, perubahan iklim tidak dapat dicegah, namun yang terpenting adalah cara menghadapinya.
Baca juga: Kemenkes: Video pasien DBD di RSUD Kota Bekasi membeludak tidak valid
Setiap ada puncak kasus itu, kata dia, ada intervensi sehingga kasusnya turun. Kemudian, katanya, kasus naik lagi, yang menandakan bahwa cara intervensi yang lama tidak lagi optimal. Oleh karena itu dia menilai perlunya upaya-upaya inovatif dalam mengatasi DBD.
Selain melakukan upaya pemberantasan nyamuk, menurutnya, pemerintah daerah (pemda) juga perlu melakukan evaluasi mulai dari ketepatan aktivitasnya, frekuensinya, sasarannya, bahkan sebersih apa tempat mereka dari jentik nyamuk guna memastikan efektivitas upaya-upaya tersebut.
Imran mengatakan nyamuk adalah binatang paling ganas, karena menjadi binatang pembunuh nomor satu di dunia. Hal tersebut, lanjutnya, tidak seperti pemikiran orang bahwa binatang seperti ular atau harimau yang paling banyak membunuh manusia.
Baca juga: Kemenkes: Gejala DBD ada sejumlah perubahan di tubuh penyintas COVID-19
"Nyamuk itu ternyata setiap tahun membunuh sekitar 1 juta orang di dunia," katanya.
Di Indonesia, kata dia, angka kematian akibat DBD sejauh ini atau minggu ke-25 tahun 2024 adalah 869 kasus, sedangkan total kematian pada 2023 adalah 894 kasus.
Adapun untuk kasus DBD, kata Imran, sejauh ini terdapat 146 ribu kasus pada 2024 dan pada 2023 terdapat sekitar 114 ribu kasus. Sementara itu sebaran kasus DBD terbanyak pada 2023 dan 2024 di wilayah padat penduduk, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jakarta, dan Bali.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024