Ketua Umum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), KH Chriswanto Santoso menganggap bahwa masih ada ruang untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia, termasuk kemerosotan moral bangsa akibat politik uang.

"Pada 1998, rakyat Indonesia melalui wakil rakyat telah membuat konsensus, bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi. Artinya baik atau buruk, kita tetap konsisten sambil terus memperbaikinya," ujarnya saat agenda silaturahim dengan wartawan di Kantor DPP LDII, Jakarta, Senin.

Ia menyebutkan, problematika demokrasi Indonesia di antaranya politik uang dan ketidakterwakilan rakyat, merupakan bagian dari celah kecacatan sistem demokrasi yang telah mendunia. 

Menurut KH Chriswanto, dalam demokrasi siapapun memiliki hak untuk berpolitik. Namun, di belakang hak selalu ada kewajiban, yakni bagaimana mengupayakan kesejahteraan rakyat di berbagai bidang.

“Yang jadi soal, untuk mengejar popularitas dan memperoleh suara yang besar, para politisi tak segan untuk membayar. Meskipun berisiko dipidana,” tuturnya.

Dirinya bahkan menyebut politik uang sebagai korupsi elektoral. Alasannya, ketika Pemilu yang seharusnya dilaksanakan dengan suasana yang sangat demokratis, jujur dan adil, seharusnya tidak mengenal politik uang.

“Dalam atmosfer kompetisi seperti itu, peserta Pemilu seharusnya berkompetisi dengan fair dan objektif. Tidak mengandalkan uang, apalagi mengandalkan kekuasaan bagi petahana. Jadi benar-benar mempertaruhkan gagasan keindonesiaan,” kata KH Chriswanto. 

Ia mengatakan, meskipun terdapat sanksi penjara, denda, dan diskualifikasi, praktik politik uang tersebut selalu mewarnai Pemilu. Menurutnya, sanksi ternyata tidak membuat orang jera, bahkan tidak takut dosa.

"Padahal Rasulullah melaknat mereka yang menyuap dan disuap. Laknat dari Rasulullah tentunya memberatkan di akhirat kelak,” ungkap KH Chriswanto Santoso yang juga pernah menjabat Wakil Ketua Golkar Jawa Timur itu. 

Praktik korupsi elektoral inilah yang menurutnya menyumbang kemerosotan moral terbesar dalam pengelolaan negara.

“Semua orang berpikir untuk menggunakan uang untuk menang. Sementara semua orang juga menganggap menjadi kepala daerah dan wakil rakyat adalah untuk mengakses sumberdaya yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran pribadi,” tegasnya. 

Menurutnya, akibatnya korupsi merajalela. Antara eksekutif dan legislatif bisa saling sandera, karena memperebutkan akses ke sumberdaya untuk mengembalikan modal. Lebih parah lagi, kata dia, bisa ada campur tangan para pemilik modal untuk membantu pemenangan elit politik.

“Ujungnya akan terjadi politik transaksional. Bahkan uang tersebut bisa digunakan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat,” tutur KH Chriswanto. 

KH Chriswanto menerangkan, imbas korupsi elektoral hampir menyentuh berbagai bidang kehidupan masyarakat, mulai dari pebisnis hingga penjual asongan sekalipun. Pasalnya, kualitas pelayanan publik menjadi rendah. Karena kebijakan yang dihasilkan dalam bentuk peraturan, hanya menguntungkan sedikit orang.  

Inilah, kata dia, yang menjadi cacat demokrasi itu, dan terjadi di berbagai belahan dunia. Untuk itu, KH Chriswanto Santoso mengajak segenap elemen bangsa, terutama para elit politik untuk menata ulang niat mereka dalam berkuasa.

“Hal yang pertama dipikirkan adalah kesejahteraan rakyat dan membangun peradaban Indonesia,” ujarnya. 

Untuk itu, menurutnya, calon eksekutif dan legislator harus selesai dengan dirinya sendiri. Tidak ada pamrih untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Sehingga ia benar-benar turun di tengah-tengah masyarakat, menyelami masalah anak bangsa.

“Dengan demikian yang terjadi adalah keterwakilan bukan keterpilihan,” pungkasnya.

Pewarta: ANTARA

Editor : M Fikri Setiawan


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023