Terorisme sebagai suatu aktifitas menggunakan kekerasan untuk menciptakan ketakutan kepada banyak orang demi tujuan tertentu seperti politik dan ideologi dapat terjadi di mana saja. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Perancis tidak luput dari aksi teror. Munculnya ISIS sebagai kelompok radikal yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya dominan mewarnai aktifitas teror akhir-akhir ini.

Pengaruh ISIS tidak hanya di Timur Tengah tetapi juga sudah mencapai Eropa, Amerika, dan Indonesia. Dunia internasional perlu bersatu untuk menyusun strategi dan melaksanakan pencegahan dan penanganan terorisme demi kepentingan perdamaian dunia dan kehidupan manusia damai dan bermartabat.

Terorisme tidak hanya cukup ditangani dengan pemberantasan. Langkah pemberantasan yang cenderung menggunakan kekuatan senjata dan penegakkan hukum hanya akan menghentikan pelaku teror. Pemikiran radikal sebagai dasar untuk melakukan aksi teror tidak bisa ditangani dengan senjata dan penegakan hukum.

Pencegahan dan penaganan terorisme sebaiknya dilakukan bertahap sesuai dengan karakteristik sasaran. Penanganan yang tidak tepat atas aksi terorisme bisa menimbulkan simpati terhadap pelaku teror. Hal ini justru akan menumbuhkan kader-kader baru yang mempunyai motif ganda, tidak hanya persoalan politik atau ideologi tetapi juga motif sakit hati atas perlakuan penanganan terorisme.

Untuk melakukan pencegahan dan penanganan terorisme maka perlu dilakukan langkah-langkah dengan tahapan sebagai berikut, pada tahap pertama pencegahan terorisme harus dilakukan pemetaan dan deteksi dini atas potensi-potensi terorisme.

Tahapan ini dilakukan di suluruh lapisan masyarakat dengan memanfaatkan intelijen. Masyarakat sebagai garda terdepan harus diajak kerja sama untuk melakukan pemetaan dan deteksi dini atas potensi terorisme.

Potensi terorisme seperti adanya kelompok-kelompok eksklusif yang mempunyai paham radikal, kelompok atau perorangan yang melakukan ujaran kebencian terhadap orang/kelompok yang berideologi atau aliran politik berbeda, atau aktifitas lain seperti latihan perang, penyebaran doktrin-doktrin yang berlawanan dengan ideologi bangsa dan sebagainya. Temuan atas hal tersebut harus segera ditindaklanjuti dengan langkah pencegahan dini.

Kontra Narasi

Pencegahan dini yang mungkin dilakukan atas potensi-potensi teror sebaiknya menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan. Salah satunya adalah dengan langkah kontra narasi radikal, yaitu melawan ujaran atau cerita tertentu yang disebarkan kepada sasaran untuk menanamkan paham radikal.

Bentuk perlawanan dilakukan dengan cara melakukan ujaran-ujaran damai, sikap telorenasi, dan menghargai perbedaan. Pelaku penyebar ujaran kebencian biasanya adalah kelompok minoritas, jika kelompok mayoritas melakukan kontra narasi radikal dengan hal yang positif seperti ujaran damai, sikap toleransi dan menghargai perbedaan maka diharapkan  kelompok minoritas tersebut dapat terpengaruh.
Kontra narasi radikal sebaiknya dilakukan oleh masyarakat atau pemuka agama yang dikenal dan mempunyai hubungan baik dengan kelompok/orang yang telah terpapar ujaran kebencian.

Karakteristik kelompok yang sudah terpapar dengan narasi radikal adalah hanya mau mendengar dari pemimpin kelompoknya, atau orang dekat yang dipercaya. Jika langkah kontra narasi dilakukan oleh pemerintah, terlebih yang mencerminkan kekuatan aparat bersenjata, maka tidak akan berhasil. Kontra narasi oleh pemerintah secara kelembagaan hanya akan menghabiskan waktu dan biaya.

Pemerintah sebaiknya menyerahkan langkah kontra narasi kepada organisasi atau kelompok yang dapat dipercaya oleh orang/kelompok yang sudah terpapar narasi radikal.

Organisasi dan kelompok yang bisa dipercaya seperti lembaga pendidikan, kelompok masyarakat, kelompok budaya/seni, atau lembaga non pemerintah lain yang basinya adalah sosial masyarakat. Kekuatan utama yang harus dimiliki oleh operator langkah ini adalah kepercayaan dari orang/kelompok yang sudah terpapar narasi radikal.

Indikator keberhasilan langkah kontra narasi ini adalah jika orang/kelompok yang terpapar narasi radikal sudah melakukan ujaran kebencian terhadap orang/kelompok lain, mau bergabung dan bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya, termasuk bergabung dalam aktivitas keagamaan dengan masyarakat secara umum dan normal. Termasuk tidak ada lagi kegiatan yang sifatnya misterius, pekerjaan dan kegiatan mencari nafkah jelas, kelompoknya jelas, aktifitasnya jelas, tidak ada yang ditutup-tutupi.

Pemerintah bisa memantau sasaran dengan aktifitas keuangan dan catatan komunikasinya. Aktifitas keuangan dan jaringan komunikasi bisa menunjukkan arah kegiatan atau aksi seseorang. Deteksi dini oleh aparat yang mempunyai kewenangan penting untuk dilakukan pada tahap ini untuk pencegahan jika skenario kontra narasi gagal dilakukan.

Deradikalisasi

Orang atau kelompok yang sudah terpapar narasi radikal dan akhirnya berpikir dan bertindak radikal perlu ditangani secara khusus agar kembali normal. Penormalan kembali orang yang sudah berpikir dan bertindak radikal ini biasa dikenal dengan deradikalisasi. Sasaran langkah ini tentu saja diperoleh dari hasil pemetaan terhadap orang/kelompok yang sudah berpikir dan berperilaku radikal.

Orang/kelompok radikal cenderung eksklusif dan tertutup terhadap orang di luar kelompoknya. Pendekatan dan perhatian khusus waib diberikan kepada orang/kelompok radikal oleh orang yang dikenal dan dipercaya. Kesulitan dari tahapan ini adalah orang/kelompok radikal tidak percaya dan tidak mau mendengar apa yang dikatakan oleh orang di luar kelompoknya.

Pada tahap ini bisa dilakukan pendekatan oleh keluarga yang tidak radikal, guru, atau orang yang dihormati sasaran untuk membawa kembali ke paham yang damai, normal, toleran, dan mau menerima perbedaan. Pendekatan dan perhatian harus intens dan terus menerus dilakukan dan sebaiknya didahului dengan pemutusan kontak kepada pemimpin atau pemapar narasi radikal yang berhasil mempengaruhi sasaran sebelumnya.

Deradikalisasi sebaiknya jangan dilakukan oleh lembaga pemerintah. Seperti di Indonesia, deradikalisasi sebaiknya tidak dilakukan oleh BNPT, alasannya adalah BNPT sudah dianggap musuh (oposisi) oleh kelompok radikal. Program deradikalisasi lebih mudah diterima jika dilakukan oleh lembaga non pemerintah. Fungsi pemerintah dalam program deradikalisasi sebaiknya pada anggaran, pengawasan, dan perlindungan hukum.

Kelompok atau perorangan yang sudah berperilaku radikal namun tidak bisa menerima program akan berpotensi melakukan teror untuk memaksakan kehendaknya. Jika hal ini yang terjadi maka langkah penindakan dan pemberantasan dapat dilakukan dengan kontra terorisme.

Kontra Terorisme

Kontra terorisme adalah mencegah, melawan dan memberantas terorisme. Tindakan ini terpaksa dilakukan karena kelompok atau perorangan yang beperilaku radikal memaksakan kepentingannya dengan cara-cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan bagi masyarakat. Kepentingan masyarakat secara umum diutamakan daripada kepentingan kelompok atau perorangan yang radikal.

Prestasi penegak hukum untuk melaksanakan langkah kontra teror di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Rangkaian aksi pencegahan dan penanganan terhadap kelompok teroris menjadi prestasi tersendiri.

Beberapa barang bukti seperti bom dan senjata yang ditemukan dalam berbagai penangkapan terhadap kelompok/perorangan merupakan tanda bahwa akan terjadi kekerasan/teror. Jika tidak dicegah dan ditangani maka kelompok/perorangan tersebut dapat melakukan aksi teror yang sangat berbahaya.

Kontra terorisme tidak dapat langsung menghentikan terorisme. Kontra teror lebih pada mencegah dan melumpuhkan pelaku teror. Dampak negatifnya adalah pemikiran radikal cenderung akan bertambah kuat pada keluarga atau teman-teman pelaku teror yang ditangkap jika terjadi tindakan aparat keamanan yang cukup keras.

Contoh nyata adalah pada kasus Imam Samudra yang menjadi terpidana terorisme dan dieksekusi mati di Nusakambangan. Paham radikal juga terpapar pada anaknya, Umar Jundul Haq, yang akhirnya pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Belakangan diketahui bahwa Umar Jundul Haq telah tewas di Suriah sekitar bulan Oktober 2015.

Langkah kontra terorisme bagaimanapun juga tetap harus dilakukan untuk mencegah terjadinya aksi teror di masyarakat, Hal ini juga dilakukan untuk melindungi masyarakat secara umum dari korban aksi teror oleh kelompok/perorangan yang berpikiran radikal. Namun dampak munculnya paham radikal yang lebih kuat bagi orang-orang disekitar orang yang terkena tindakan kontra terorisme harus dipikirkan dan dikelola dengan baik.

Penegakan Hukum, Pemberdayaan dan Normalisasi

Aksi terorisme yaitu pemaksaan kehendak dengan kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah suatu kejahatan luar biasa. Kejahatan ini tentu saja melanggar hukum dan perlu ada tindakan untuk penegakan hukum. Aksi teror yang menimbulkan korban jiwa tidak bisa ditoleransi. Tindakan tegas harus dilakukan. Penegakan hukum dilakukan dalam koridor menimbulkan efek jera dan mengisolir pelaku teror agar tidak melakukan aksi teror kembali di masyarakat.

Untuk mencegah semakin meluasnya paham radikal sebagai implikasi rasa sakit hati yang muncul karena orang terdekat atau keluarganya terkena tindakan hukum, maka sebaiknya ada penanganan yang intens terhadap orang dekat di sekitar pelaku yang terkena tindakan hukum.

Hal yang bisa dilakukan misalnya melakukan program pemberdayaan terhadap keluarga inti pelaku teror yang terkena tindakan hukum. Istri dan anak dari pelaku sebaiknya didampingi untuk tetap berdaya dan tidak menjadi korban lanjutan karena dampak penegakan hukum.

Program ini sebaiknya tidak dilakukan oleh pemerintah atau lembaga negara. Sakit hati dan dendam tentu saja wajar jika muncul karena keluarga atau orang dekat terkena tindakan hukum. Program pemberdayaan kepada keluarga pelaku teror akan lebih diterima jika dilakukan oleh orang yang dipercaya seperti pemuka agama atau keluarga lain yang terlebih dulu dipastikan pemikiran dan orientasinya.
Pemberdayaan terhadap keluarga pelaku teror dan terhadap mantan pelaku teror harus diwaspadai supaya tidak menjadi "modal" bagi aksi teror selanjutnya.

Selain program pemberdayaan terhadap keluarga pelaku teror dan mantan pelaku teror yang telah menjalani tindakan hukum, maka perlu dilakukan normalisasi yang lebih mengarah pada deradikalisasi. Tujuannya agar keluarga pelaku teror dan mantan pelaku teror tidak kembali berpikiran radikal dan melakukan aksi teror lagi.

*) Stanislaus Riyanta, Analis Intelijen dan terorisme, Alumnus program pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia (UI).

Pewarta: Stanislaus Riyanta *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016