Bandarlampung (Antara Megapolitan) - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Lampung menyayangkan penyataan Rektor Universitas Lampung Prof Dr Hasriadi Mat Akin di media massa tentang ancaman pemecatan terhadap civitas akademika kampus itu yang terlibat dalam dugaan kegiatan lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).

Menurut Kepala Divisi Penanganan Perkara dan Bantuan Hukum PBHI Lampung, Heri Hidayat SH di Bandarlampung, Sabtu, semestinya seorang pejabat institusi negara tidak perlu reaksioner dalam menyikapi sesuatu persoalan, terlebih isu tersebut diketahui muncul dari media sosial facebook yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

"Hal ini terkesan tidak elok dan bertentangan dengan semangat menjunjung nilai-nilai hak asasi manusia," ujarnya.

Menurut Heri, stigma dan justifikasi "penyimpangan" maupun "kesesatan" terhadap aktivitas LGBT, tanpa melihat secara cermat dan komprehensif tentunya tidak sejalan dengan ciri khas institusi pendidikan tinggi yang seharusnya bersandar pada koridor ilmu pengetahuan yang diteliti dan disusun secara ilmiah.

"Hal itu pun mesti dihasilkan dari pemikiran radikal atau mendasar dengan jaminan kebebasan berpikir," ujarnya.

Dia menilai, bila pernyataan tersebut dilakukan oleh seorang rektor dalam kapasitasnya sebagai pejabat institusi negara, maka itu merupakan bentuk ketidakmampuan negara untuk melakukan penghormatan "to respect" dan perlindungan "to protect" terhadap hak-hak sipil warga negara sebagaimana diamanatkan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB 1958, yang kemudian turunannya yaitu "International Covenant on Civil and Politic Right" (ICCPR) diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

PBHI Lampung menegaskan, pernyataan tersebut merupakan sebuah intimidasi atas hak sipil, di antaranya "hak kebebasan berekspresi" dan "kebebasan akademik" yang dilakukan institusi negara terhadap warga negara khususnya civitas akademika Universitas Lampung, serta secara umum merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok rentan/kelompok minoritas dalam hal ini Komunitas LGBT.

Heri menyatakan pula, mengenai kekhawatiran penyelenggaraan seminar tentang LGBT di area Kampus Unila, baik diberi izin atau pun tidak, semestinya dapat diklarifikasi pada pihak-pihak terkait yang diisukan akan menggelar acara tersebut.

"Diadakan seminar pun bukan berarti suatu pemaksaan paham, bukankah mahasiswa akan lebih kritis dan cerdas ketika dapat mengeksplorasi ilmu pengetahuannya secara dialogis tanpa pemaksaan doktrin tertentu," ujarnya.

Ia mengingatkan, banyak perspektif yang dapat digunakan dalam memandang persoalan LGBT, dapat dilihat dari aspek sosiologi, psikologi, hukum, agama, kesehatan serta banyak lagi lainnya.

Menurut dia, LGBT bagian dari realitas yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat, dan kita tidak dapat menutup mata terhadap eksistensi tersebut.

"Sekali lagi kami sampaikan bahwa kampus harus cermat, ilmiah, dan komprehensif untuk menilai bahwa sesuatu hal tersebut dapat dikategorikan penyimpangan, sehingga disebut mencoreng institusi bersangkutan," katanya lagi.

Selain itu pula, ujar dia, perlu dipahami bahwa Universitas Lampung itu adalah institusi negeri milik negara, bukan milik yayasan swasta atau kelompok tertentu, sehingga dapat dengan mudah intoleran terhadap suatu perbedaan.

"Tentu kita semua tidak menginginkan siapa pun bersikap arogan dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul di tengah masyarakat," ujarnya.

PBHI Lampung juga mendorong dan meminta kepada media massa yang ada di Lampung untuk menuangkan pemberitaan yang konstruktif dan inklusif terhadap isu LGBT ini.

Pewarta: Budisantoso Budiman

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015