Bogor, (Antara Megapolitan) - Guru Besar Genetika dan Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian IPB Prof Sobir mengatakan, Indonesia kekurangan peneliti pemulia tanaman pangan.
"Saat ini jumlah peneliti pemulia tanaman yang kita miliki berkisar 300 sampai 400 peneliti. Kita membutuhkan 10 kali lipat dari jumlah yang ada sekarang," kata dia, di Bogor, Minggu.
Menurutnya, kekurangan tenaga peneliti pemulia tanaman salah satunya disebabkan karena ditutupnya program studi pemuliaan tanaman tingkat perguruan tinggi. Sehingga tidak ada regenerasi. Padahal kebutuhan pemulia terus meningkat, terutama yang bekerja di lapangan dengan standar pendidikan strata pertama (S1).
Prof Sobir mengatakan, perkembangan dunia pertanian saat ini menuntut kehadiran pemuliaan tanaman dalam upaya penyediaan pangan. Pada tahun 1825 hingga 1927 pertanian masih berbasis luas tanam. Seiring berjalan waktu terjadi pergeseran, tahun 1928 hingga 1960 pertanian fokus pada pertambahan luas tanam dan peningkatan produktivitas. Begitu juga di tahun 1961 hingga 2007 pertanian fokus pada peningkatan produktivitas dengan luas lahan yang kian menyempit.
Tahun 2008 hingga 2050 pertanian dituntut untuk meningkatkan produktivitas dalam berbagai lingkungan.
"Tantangan pemuliaan tanaman saat ini, penanaman varietas unggul secara luas menyebabkan erosi sumber daya genetik. Pemuliaan tanaman varietas unggul baru semakin sulit dilakukan. Tanaman genetik semakin sedikit, sementara jumlah orang yang perlu makan semakin banyak," katanya.
Lebih lanjut Prof Sobir mengatakan, di sinilah peran pemuliaan tanaman diperlukan untuk menghasilkan varietas-varietas unggul baru menggantikan varietas unggul lama yang tingkat produktivitasnya terbatas.
Sebagai contoh, Amerika adalah salah satu negara yang sukses mengembangkan teknologi di bidang genetik yang dilakukan oleh para pemulia tanamannya. Salah satunya varietas jagung.
"Di Amerika jumlah yang menanam jagung sudah berkurang, tetapi produktivitas jagungnya meningkat. Ini terkait dengan ilmu pemuliaan tanaman," katanya.
Dia mengatakan, berbeda dengan hortikultura yang sudah lebih maju dari tanaman pangan. Indonesia sudah sukses menjadi eksportir tanaman hortikultura yang tentunya didukung oleh teknologi di bidang genetik yang dilakukan para pemulia tanaman.
"Tapi untuk tanaman pangan, kita masih menjadi importir," katanya.
Untuk menghadapi situasi tersebut, lanjut Prof Sobir, sebagai Ketua Perhimpunan Pemulia Indonesia, akan membuka kembali program studi pemuliaan tahanam agar regenerasi peneliti pemulia tanaman dapat memenuhi kekurangan tenaga peneliti di Indonesia.
"Keberadaan peneliti pemuliaan tanaman sangat dibutuhkan. Gaji pemulia top di perusahaan nasional itu bisa tiga kali gaji profesor, belum lagi mobil dinas yang digunakan oleh peneliti pemuliaan tanaman ini sekelas Futurne," katanya.
Prof Sobir menambahkan, upaya untuk membuka kembali program pemuliaan tanaman sudah dalam tahap pengurusan izin, selain program studi juga akan dibuka pendidikan profesi pemuliaan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015
"Saat ini jumlah peneliti pemulia tanaman yang kita miliki berkisar 300 sampai 400 peneliti. Kita membutuhkan 10 kali lipat dari jumlah yang ada sekarang," kata dia, di Bogor, Minggu.
Menurutnya, kekurangan tenaga peneliti pemulia tanaman salah satunya disebabkan karena ditutupnya program studi pemuliaan tanaman tingkat perguruan tinggi. Sehingga tidak ada regenerasi. Padahal kebutuhan pemulia terus meningkat, terutama yang bekerja di lapangan dengan standar pendidikan strata pertama (S1).
Prof Sobir mengatakan, perkembangan dunia pertanian saat ini menuntut kehadiran pemuliaan tanaman dalam upaya penyediaan pangan. Pada tahun 1825 hingga 1927 pertanian masih berbasis luas tanam. Seiring berjalan waktu terjadi pergeseran, tahun 1928 hingga 1960 pertanian fokus pada pertambahan luas tanam dan peningkatan produktivitas. Begitu juga di tahun 1961 hingga 2007 pertanian fokus pada peningkatan produktivitas dengan luas lahan yang kian menyempit.
Tahun 2008 hingga 2050 pertanian dituntut untuk meningkatkan produktivitas dalam berbagai lingkungan.
"Tantangan pemuliaan tanaman saat ini, penanaman varietas unggul secara luas menyebabkan erosi sumber daya genetik. Pemuliaan tanaman varietas unggul baru semakin sulit dilakukan. Tanaman genetik semakin sedikit, sementara jumlah orang yang perlu makan semakin banyak," katanya.
Lebih lanjut Prof Sobir mengatakan, di sinilah peran pemuliaan tanaman diperlukan untuk menghasilkan varietas-varietas unggul baru menggantikan varietas unggul lama yang tingkat produktivitasnya terbatas.
Sebagai contoh, Amerika adalah salah satu negara yang sukses mengembangkan teknologi di bidang genetik yang dilakukan oleh para pemulia tanamannya. Salah satunya varietas jagung.
"Di Amerika jumlah yang menanam jagung sudah berkurang, tetapi produktivitas jagungnya meningkat. Ini terkait dengan ilmu pemuliaan tanaman," katanya.
Dia mengatakan, berbeda dengan hortikultura yang sudah lebih maju dari tanaman pangan. Indonesia sudah sukses menjadi eksportir tanaman hortikultura yang tentunya didukung oleh teknologi di bidang genetik yang dilakukan para pemulia tanaman.
"Tapi untuk tanaman pangan, kita masih menjadi importir," katanya.
Untuk menghadapi situasi tersebut, lanjut Prof Sobir, sebagai Ketua Perhimpunan Pemulia Indonesia, akan membuka kembali program studi pemuliaan tahanam agar regenerasi peneliti pemulia tanaman dapat memenuhi kekurangan tenaga peneliti di Indonesia.
"Keberadaan peneliti pemuliaan tanaman sangat dibutuhkan. Gaji pemulia top di perusahaan nasional itu bisa tiga kali gaji profesor, belum lagi mobil dinas yang digunakan oleh peneliti pemuliaan tanaman ini sekelas Futurne," katanya.
Prof Sobir menambahkan, upaya untuk membuka kembali program pemuliaan tanaman sudah dalam tahap pengurusan izin, selain program studi juga akan dibuka pendidikan profesi pemuliaan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015