Bogor, (Antara Megapolitan) - Pakar kelautan Institut Pertanian Bogor menyatakan bahwa kebijakan pembangunan di sektor kelautan harus senantiasa menggunakan pendekatan kompleksitas.

"Karena masalah perikanan menyangkut `public domain` bukan `private domain`," kata Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), Dr Ir Luky Adrianto MSc di Bogor, Jawa Barat, Kamis.

Diminta tanggapan Antara terkait kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.), dan rajungan (Portunus pelagicus spp.) perihal pelarangan alat tangkap "cantrang" bagi nelayan yang menuai kontroversi, ia menyarankan perlunya aspek kehati-hatian.

Pertimbangannya, kata dia, karena masalah perikanan menyangkut ranah publik dan bukan "private domain" dimaksud.

Ia menjelaskan bahwa ranah publik terdiri atas ekosistem kelautan yang melibatkan banyak pihak dan pemangku kepentingan (stakeholder).

Pemangku kepentingan seperti pengusaha, nelayan, anak buah kapal (ABK), pedagang dan penjual ikan, serta konsumen sangat bergantung pada usaha ikan tangkap (laut).

Selain itu, ranah publik kelautan bersifat sangat kompleks sehingga keputusan yang diambil harus melibatkan "stakeholder need".

Menurut Luky Adrianto, yang menyelesaikan doktor (S3) di Universitas Kagoshima Jepang, kebijakan sektor kelautan bukan bersifat "binary policy", yakni sebuah keputusan yang bukan sekadar "ya" atau "tidak" semata.

"Namun harus diimbangi kebijakan yang bersifat merangkul alias `white list plicy`," katanya.

Dalam kaitan itu, maka kebijakan-kebijakan yang ada harus senantiasa menggunakan pendekatan kompleksitas.

Terkait dengan kebijakan pelarangan alat tangkap "cantrang" bagi nelayan dinilainya sudah tepat.

"Tetapi harus diikuti kebijakan turunan yang bersifat merangkul masyarakat," katanya.

Ia mengemukakan bahwa kebijakan turunan itu antara lain seperti penataan pola penangkapan ikan, pemberian insentif teknologi yang gradual kepada nelayan yang merusak lingkungan, dan pola pengelolaan perikanan sesuai karakteristik daerah.

Lebih rinci lagi, ia menganalogikan bahwa pemerintah dan pemangku kepentingan kelautan seperti orang tua dan anak.

"Sehingga pengambilan kebijakan harus bersifat bijak dan mengayomi. Senakal-nakalnya anak yang membuat kesalahan dalam rumah tetap tidak boleh dimusuhi atau diusir, namun harus dididik dan dibina dengan pendekatan yang mendidik," katanya.

Ia mengatakan, Menteri KKP adalah pemegang "public governance", dan bukan pengelola "private governance".

"Karena itu, tidak akan ada kebijakan yang berjalan mulus dan tuntas di sektor kelautan kalau tidak ada dialog dengan masyarakat," ujarnya.

Menurut dia, ketika terjadi "deadlock" dalam melaksanakan kebijakan, pemerintah harus menggunakan pendekatan sebagai orang tua dalam rumah tangga.

"Jangan sama-sama keras, karena akan merugikan kepentingan publik," kata ahli ekonomi sumber daya pesisir dan lautan IPB itu.

Jadi, kata dia, ketika pemerintah menggunakan "tangan besi" dalam memaksakan sebuah kebijakan yang menyangkut nasib dan hajat hidup banyak orang, akan muncul ketidakpercayaan dan berujung perlawanan masyarakat.

Untuk itu, katanya, pemerintah dan pemangku kepentingan kelautan perlu menggunakan pendekatan negosiasi dalam mencari titik temu dalam mengatasi kontroversi sebuah kebijakan, seperti Permen (peraturan menteri).

Bila negosiasi antara pemerintah dan pemangku kepentingan gagal, lanjutnya, dapat digunakan saluran alternatif dengan menggunakan pendekatan litigasi, yaitu melalui pengajuan gugatan ke Mahkamah Konsitusi (MK) oleh "civil society" kelautan.

Dia mengemukakan, Indonesia kini menjadi tumpuan pemasok ikan dunia sehingga KKP harus mencermati ini dan menangkap peluang besar tersebut demi meningkatkan kesejahteran dan kemakmuran bangsa

Karena itu, katanya, tugas utama KKP adalah meningkatkan kesejahteraan bangsa, mengentaskan orang miskin di sektor kelautan, dan meningkatkan pemerataan maupun pertumbuhan ekonomi.

"Sekali lagi, kebijakan KKP jangan sampai memusuhi apalagi membunuh nelayan, tetapi harus merangkul dan menyejahterakan nelayan," ujar Luky Adriyanto.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015