Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Jawa Barat berencana menerapkan inovasi pengelolaan sampah dengan menggunakan teknologi refuse derived fuel (RDF), yakni mengolah sampah melalui proses homogenizers menjadi ukuran yang lebih kecil dan mengubahnya menjadi energi.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Peno Suyatno di Cikarang, Senin mengatakan inovasi ini dilakukan sebagai solusi atas kelebihan kapasitas di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Burangkeng di Kecamatan Setu. Sistem RDF diyakini mampu mengubah sampah menjadi energi dalam industri semen maupun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

"Di Indonesia, inovasi pengolahan sampah menggunakan teknologi RDF saat ini baru diterapkan di daerah Cilacap," katanya.

Baca juga: Kompensasi bau sampah warga Burangkeng disiapkan dana Rp450 juta

Peno mengaku sudah mendorong kebijakan soal penerapan pengelolaan persampahan ini melalui rancangan peraturan daerah dalam pembahasan legislatif dan jika sudah disahkan, maka inovasi tersebut dapat segera diterapkan.

Dia menjelaskan pengelolaan sampah dengan teknologi RDF oleh Kabupaten Cilacap menjadi pilot project pemerintah. Setelah sukses menerapkan teknologi itu, kini sejumlah wilayah juga diundang untuk menerapkan teknologi serupa.

"Selain kita, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Sukabumi juga ikut studi banding ini. Sejatinya Kabupaten Bekasi tahun ini dapat menerapkan teknologi tersebut," katanya.

Baca juga: Perluasan TPA Burangkeng menjadi prioritas Bekasi

Pandemi COVID-19 membuat anggaran yang telah disiapkan akhirnya dialihkan untuk penanganan COVID-19, namun pihaknya memastikan tahun mendatang Kabupaten Bekasi sudah dapat menerapkan pengelolaan sampah berteknologi RDF.

"Untuk anggaran kami berkaca dari Cilacap saja, investasi awal itu membutuhkan modal Rp80-90 miliar. Itu untuk pengelolaan 100-200 ton per hari. Nah, kami rencananya ingin dapat mengelola sampah per hari dengan sistem RDF mencapai 500 ton, karena jumlah sampah per hari Kabupaten Bekasi lebih besar dibanding Cilacap. Kita sehari 2.000 ton, kalau Cilacap hanya 1.300 ton. Nanti anggarannya bisa disesuaikan," ucapnya.

Dia mengakui sejak Tahun 1994, pengelolaan sampah di TPA Burangkeng semakin memprihatinkan, bahkan bisa dikatakan saat ini kondisi pembuangan akhir sampah di TPA tersebut sudah kelebihan kapasitas hingga tidak mampu menampung sampah di Kabupaten Bekasi yang mencapai 2.000 ton dalam sehari.

Baca juga: Pemkab Bekasi-Kementerian LHK kerja sama kelola sampah Citarum

Jumlah tersebut, katanya, berbanding terbalik dengan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang dimiliki pemerintah daerah. Dalam satu hari pihaknya hanya dapat mengangkut sampah 600 ton dengan jumlah armada 130 truk.

"Karena itu banyak TPS (tempat pembuangan sampah) liar, selain SDM yang kurang teknologi kita belum dapat dikembangkan karena Kabupaten Bekasi belum mempunyai perda. Sejauh ini, baru Perbup (Peraturan Bupati) Nomor 53 Tahun 2017 yang kami jalani, itu hanya mancakup skup kecil berskala makro. Contoh kecilnya swasta dari perumahan buang ke TPA, pengelolaan kita tidak ada, jadi sampah hanya ditumpuk saja sejak dulu," ucapnya.

Pemerintah Kabupaten Bekasi sendiri telah berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan mengingat kebutuhan inovasi ini mutlak untuk kepentingan masyarakat luas.

"Nah untuk operatornya itu nanti bisa kerja sama dengan swasta. Seperti di Cilacap itu operator dari HDI, sistemnya kerja bareng. Misalnya gini, pemda punya kewajiban apa, dan HDI apa kewajibannya. Intinya itu teknologi RDF ini sampah yang sudah diolah akan sama nilai jualnya dengan batu bara," kata dia.

Pewarta: Pradita Kurniawan Syah

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020