Tantangan Program Prioritas Jokowi
Minggu, 9 Februari 2020 22:27 WIB
Tak ada jalan lain selain menumbuhkembangkan ekonomi di tiap daerah melalui pembangunan koneksifitas jalur ekonomi agar perpindahan manusia dan barang/jasa semakin mudah dilakukan.
Jakarta (ANTARA) - Patut ditunggu gebrakan Presiden Jokowi usai membeberkan 5 program kerja prioritas lima tahun mendatang saat pelantikan pertengahan tahun lalu (20/10/2019). Program tersebut menyangkut berbagai aspek mulai dari pembangunan sumber daya manusia, perampingan regulasi sampai kepada transformasi ekonomi.
Rincian lima program prioritas Presiden Jokowi yakni, pertama, pembangunan SDM. Presiden Jokowi menginginkan SDM Indonesia kedepan adalah SDM yang pekerja keras, dinamis, terampil, menguasai ilmu pengetahuan serta teknologi. Kedua, Pembangunan Infrastruktur. Paling utama infrastruktur yang menghubungkan antar kawasan produksi dan industri agar memudahkan akses wisata dan mendongkrak lapangan kerja. Prioritas ketiga, penyederhanaan regulasi. Utamanya UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM.
Prioritas Keempat ialah, penyederhanaan birokrasi. Prosedur dan birokrasi yang panjang harus diringkas dengan penyerdehanaan eselon. Dan prioritas kelima adalah transformasi ekonomi. Presiden Jokowi menginginkan bangsa Indonesia berubah dari ketergantungan sumber daya alam bergeser mempunyai daya saing manufaktur serta jasa modern.
Menilik program prioritas beliau di atas, bisa dianggap 5 program kerja Jokowi kali ini terbilang lengkap dibanding periode sebelumnya. Meski minus program pemberantasan korupsi dan pemulihan stabilitas sosial masyarakat yang terbelah akibat dampak dari pemilu kemarin. Paling tidak presiden Jokowi sudah memprioritaskan sumber daya manusia untuk merespon bonus demografi. Prioritas ini terbilang langka karena seringkali pembangunan melulu berkutat pada pembangunan fisik.
Toh, untuk penanganan korupsi, pemerintahan sudah membikin Dewan Pengawas KPK sebagai upaya mengontrol petugas KPK yang konon sering terjadi konflik interest di internal, sehingga menghambat penegakan hukum korupsi. Meski begitu tentu tetap terjadi pro dan kontra terkait program tersebut. Dari kelima program itu yang berpotensi terkendala adalah pembangunan infrastruktur dan penyerdehanaan regulasi atau omnibus law.
Selama ini program pembangunan infrastruktur memang jadi andalan di era Jokowi. Dari awal pemerintahannya, Presiden Jokowi terus ngebut untuk bisa merealisasikan apa yang sudah menjadi visi ke-Indonesia-an beliau. Para menteri di kabinetnya pun terus menekankan infrastruktur di dalam programnya untuk mendukung ekonomi. Tahun 2029 kemarin saja, anggaran belanja infrastruktur capai kisaran Rp 420 triliun. Bandingkan dengan tahun 2014 yang hanya Rp 163 triliun. Angka ini meningkat sebesar 157%. Tentu ini menunjukkan keseriusan Presiden Jokowi ingin segera merampungkan program infrastrukturnya.
Sampai pada awal tahun 2020, sudah banyak yang terealisasi. Sebut saja bendungan, dari 55 bendungan yang dibangun kurun waktu 2015-2018 telah selesai 14, sementara 41 masih proses pengerjaan. Jaringan irigasi sudah terbangun 865.389 Hektar (Ha) dari 1.004.799 Ha yang direncanakan. Embung/penampung air ada 942 buah dalam tahap pengerjaan. Dengan total embung yang direncanakan 1.062 buah. Jalan nasional sudah terbangun 3.387 kilometer dari 4.119 km. Jalan tol telah terbangun 782 km dari target 1852 km.
Selain itu, ada lagi yang terealisasi wujudnya seperti jembatan penghubung antar daerah, jembatan gantung untuk daerah pinggiran, sistem air minum layak, pembangunan pos lintas batas, venue olah raga yang kemarin untuk asian games, rumah murah dan rumah susun, dan banyak lagi. Tentu sederet konkret pembangunan era Jokowi memperlihatkan kalau beliau tak main-main dan terbilang gerak cepat mengingat kurun proses pembangunannya adalah satu periode.
Meski demikian masih ada sejumlah kelemahan dari upaya pembangunan yang dilaksanakan presiden Jokowi. Misalnya jalan tol, yang dinilai masih terlalu mahal biaya pembuatannya, koneksi dengan jalan arteri kurang tersambung di banyak tempat, sehingga terkesan kurang perencanaan dan hanya untuk memenuhi kebutuhan pas lebaran, natal, tahun baru saja. Di hari lain jalan tol terlihat kosong, sepi. Imbasnya pembangunan tol saat ini tak menjamin keuntungan ekonomis, terlebih bagi para pengusaha yang terlibat.
Tak berarti gagal hanya saja perlu ada pembenahan agar lebih tertata rapi dan tepat sasaran. Diantaranya perlu ada studi kelayakan yang utuh. Ini bisa dilakukan bila ada perencanaan yang matang. Bukan apa yang dibangun, tapi butuh apa dan seberapa oportunity cost-nya. Dengan adanya oportunity cost akan bisa meningkatkan kepercayaan diri pelaku usaha sehingga menarik investasi. Tentunya, oportunity cost bisa didapat bila sinergitas lintas sektor berjalan dengan baik dan saling mendukung satu sama lain. Penyederhanaan regulasi juga diharapkan bisa dianggap sebagai salah satu solusi untuk menciptakan oportunity cost.
Kendala selanjutnya bisa muncul adalah pro kontra penyerdehanaan regulasi dan pelanggaran HAM atas nama pembangunan. Sudah pasti bila pembangunan infrastruktur selalu memerlukan lahan yang begitu luas, sehingga tak terhindarkan bila lahan warga ikut pula terkena imbas proyek pemerintahan. Alhasil ini memicu konflik sosial yang kadang rentan dengan pelanggaran HAM. Pembebasan lahan jadi kendala terbesar pembangunan infrastruktur. Apalagi di periode pertama kabinet Jokowi digugat banyak pihak terkait konflik pembebasan lahan. Disamping itu, perampingan regulasi juga bisa memicu konflik sosial bila aturan-aturan yang berubah tidak mampu mengakomodir semua elemen yang terkait.
Salah satu keuntungan kabinet Jokowi saat ini adalah citra positif Presiden Jokowi yang populis terbilang masih kuat, tidak terkesan formal dan kaku. Tentu citra ini memudahkan kabinet Jokowi untuk meyakinkan dan memberi pengertian ke masyarakat bahwa infrastruktur ini diperuntukkan untuk mereka kembali. Suara-suara mereka yang terkena imbas infrastruktur pun perlu didengarkan secara menyeluruh. Pemerintah perlu menyediakan ruang publik bagi mereka sehingga menciptakan ruang negosiasi yang seimbang.
Sebenarnya Presiden Jokowi pernah mempraktekkan tersebut ketika menjadi walikota solo. Saat itu Jokowi mampu merelokasi Pedagang Kaki Lima secara damai ke pasar yang baru. Tentu model-model begini perlu dilakukan lagi oleh presiden Jokowi guna meminimalisir konflik sosial. Blusukan perlu dipraktekkan kembali. Kuncinya adalah komunikasi intensif dan elaboratif. Jika ini terpenuhi maka masyarakat yang terdampak akan mendukung pembangunan infrastruktur pemerintahan dengan tangan terbuka. Alhasil perspektif HAM dalam pembangunan bisa diterjadi, tanpa intimidasi, tanpa perampasan, dan tanpa kerugian.
Presiden Jokowi memang berusaha mengejar ketertinggalan infrastruktur Indonesia terhadap negara-negara lain. Presiden Jokowi memahami bahwa model pembangunan ekonomi dengan meningkatkan pusat ekonomi lama adalah usang. Untuk itu beliau sadar bahwa untuk mengakselerasi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi peningkatan infrastruktur mutlak dilakukan. Tak ada jalan lain selain menumbuhkembangkan ekonomi di tiap daerah melalui pembangunan koneksifitas jalur ekonomi agar perpindahan manusia dan barang/jasa semakin mudah dilakukan. (67/*).
*) Penulis: Mahasiswi Universitas Gunadharma.
Rincian lima program prioritas Presiden Jokowi yakni, pertama, pembangunan SDM. Presiden Jokowi menginginkan SDM Indonesia kedepan adalah SDM yang pekerja keras, dinamis, terampil, menguasai ilmu pengetahuan serta teknologi. Kedua, Pembangunan Infrastruktur. Paling utama infrastruktur yang menghubungkan antar kawasan produksi dan industri agar memudahkan akses wisata dan mendongkrak lapangan kerja. Prioritas ketiga, penyederhanaan regulasi. Utamanya UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM.
Prioritas Keempat ialah, penyederhanaan birokrasi. Prosedur dan birokrasi yang panjang harus diringkas dengan penyerdehanaan eselon. Dan prioritas kelima adalah transformasi ekonomi. Presiden Jokowi menginginkan bangsa Indonesia berubah dari ketergantungan sumber daya alam bergeser mempunyai daya saing manufaktur serta jasa modern.
Menilik program prioritas beliau di atas, bisa dianggap 5 program kerja Jokowi kali ini terbilang lengkap dibanding periode sebelumnya. Meski minus program pemberantasan korupsi dan pemulihan stabilitas sosial masyarakat yang terbelah akibat dampak dari pemilu kemarin. Paling tidak presiden Jokowi sudah memprioritaskan sumber daya manusia untuk merespon bonus demografi. Prioritas ini terbilang langka karena seringkali pembangunan melulu berkutat pada pembangunan fisik.
Toh, untuk penanganan korupsi, pemerintahan sudah membikin Dewan Pengawas KPK sebagai upaya mengontrol petugas KPK yang konon sering terjadi konflik interest di internal, sehingga menghambat penegakan hukum korupsi. Meski begitu tentu tetap terjadi pro dan kontra terkait program tersebut. Dari kelima program itu yang berpotensi terkendala adalah pembangunan infrastruktur dan penyerdehanaan regulasi atau omnibus law.
Selama ini program pembangunan infrastruktur memang jadi andalan di era Jokowi. Dari awal pemerintahannya, Presiden Jokowi terus ngebut untuk bisa merealisasikan apa yang sudah menjadi visi ke-Indonesia-an beliau. Para menteri di kabinetnya pun terus menekankan infrastruktur di dalam programnya untuk mendukung ekonomi. Tahun 2029 kemarin saja, anggaran belanja infrastruktur capai kisaran Rp 420 triliun. Bandingkan dengan tahun 2014 yang hanya Rp 163 triliun. Angka ini meningkat sebesar 157%. Tentu ini menunjukkan keseriusan Presiden Jokowi ingin segera merampungkan program infrastrukturnya.
Sampai pada awal tahun 2020, sudah banyak yang terealisasi. Sebut saja bendungan, dari 55 bendungan yang dibangun kurun waktu 2015-2018 telah selesai 14, sementara 41 masih proses pengerjaan. Jaringan irigasi sudah terbangun 865.389 Hektar (Ha) dari 1.004.799 Ha yang direncanakan. Embung/penampung air ada 942 buah dalam tahap pengerjaan. Dengan total embung yang direncanakan 1.062 buah. Jalan nasional sudah terbangun 3.387 kilometer dari 4.119 km. Jalan tol telah terbangun 782 km dari target 1852 km.
Selain itu, ada lagi yang terealisasi wujudnya seperti jembatan penghubung antar daerah, jembatan gantung untuk daerah pinggiran, sistem air minum layak, pembangunan pos lintas batas, venue olah raga yang kemarin untuk asian games, rumah murah dan rumah susun, dan banyak lagi. Tentu sederet konkret pembangunan era Jokowi memperlihatkan kalau beliau tak main-main dan terbilang gerak cepat mengingat kurun proses pembangunannya adalah satu periode.
Meski demikian masih ada sejumlah kelemahan dari upaya pembangunan yang dilaksanakan presiden Jokowi. Misalnya jalan tol, yang dinilai masih terlalu mahal biaya pembuatannya, koneksi dengan jalan arteri kurang tersambung di banyak tempat, sehingga terkesan kurang perencanaan dan hanya untuk memenuhi kebutuhan pas lebaran, natal, tahun baru saja. Di hari lain jalan tol terlihat kosong, sepi. Imbasnya pembangunan tol saat ini tak menjamin keuntungan ekonomis, terlebih bagi para pengusaha yang terlibat.
Tak berarti gagal hanya saja perlu ada pembenahan agar lebih tertata rapi dan tepat sasaran. Diantaranya perlu ada studi kelayakan yang utuh. Ini bisa dilakukan bila ada perencanaan yang matang. Bukan apa yang dibangun, tapi butuh apa dan seberapa oportunity cost-nya. Dengan adanya oportunity cost akan bisa meningkatkan kepercayaan diri pelaku usaha sehingga menarik investasi. Tentunya, oportunity cost bisa didapat bila sinergitas lintas sektor berjalan dengan baik dan saling mendukung satu sama lain. Penyederhanaan regulasi juga diharapkan bisa dianggap sebagai salah satu solusi untuk menciptakan oportunity cost.
Kendala selanjutnya bisa muncul adalah pro kontra penyerdehanaan regulasi dan pelanggaran HAM atas nama pembangunan. Sudah pasti bila pembangunan infrastruktur selalu memerlukan lahan yang begitu luas, sehingga tak terhindarkan bila lahan warga ikut pula terkena imbas proyek pemerintahan. Alhasil ini memicu konflik sosial yang kadang rentan dengan pelanggaran HAM. Pembebasan lahan jadi kendala terbesar pembangunan infrastruktur. Apalagi di periode pertama kabinet Jokowi digugat banyak pihak terkait konflik pembebasan lahan. Disamping itu, perampingan regulasi juga bisa memicu konflik sosial bila aturan-aturan yang berubah tidak mampu mengakomodir semua elemen yang terkait.
Salah satu keuntungan kabinet Jokowi saat ini adalah citra positif Presiden Jokowi yang populis terbilang masih kuat, tidak terkesan formal dan kaku. Tentu citra ini memudahkan kabinet Jokowi untuk meyakinkan dan memberi pengertian ke masyarakat bahwa infrastruktur ini diperuntukkan untuk mereka kembali. Suara-suara mereka yang terkena imbas infrastruktur pun perlu didengarkan secara menyeluruh. Pemerintah perlu menyediakan ruang publik bagi mereka sehingga menciptakan ruang negosiasi yang seimbang.
Sebenarnya Presiden Jokowi pernah mempraktekkan tersebut ketika menjadi walikota solo. Saat itu Jokowi mampu merelokasi Pedagang Kaki Lima secara damai ke pasar yang baru. Tentu model-model begini perlu dilakukan lagi oleh presiden Jokowi guna meminimalisir konflik sosial. Blusukan perlu dipraktekkan kembali. Kuncinya adalah komunikasi intensif dan elaboratif. Jika ini terpenuhi maka masyarakat yang terdampak akan mendukung pembangunan infrastruktur pemerintahan dengan tangan terbuka. Alhasil perspektif HAM dalam pembangunan bisa diterjadi, tanpa intimidasi, tanpa perampasan, dan tanpa kerugian.
Presiden Jokowi memang berusaha mengejar ketertinggalan infrastruktur Indonesia terhadap negara-negara lain. Presiden Jokowi memahami bahwa model pembangunan ekonomi dengan meningkatkan pusat ekonomi lama adalah usang. Untuk itu beliau sadar bahwa untuk mengakselerasi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi peningkatan infrastruktur mutlak dilakukan. Tak ada jalan lain selain menumbuhkembangkan ekonomi di tiap daerah melalui pembangunan koneksifitas jalur ekonomi agar perpindahan manusia dan barang/jasa semakin mudah dilakukan. (67/*).
*) Penulis: Mahasiswi Universitas Gunadharma.