Jakarta (ANTARA) - Ketika kamera diangkat disertai dengan hitungan mundur, sekelompok perempuan dalam balutan alat pelindung diri (APD) secara refleks lekas merapat ke titik pengabadian momen.
Sebuah pemandangan langka—bukan soal sekelompok perempuan yang sibuk berswafoto, melainkan soal mereka, perempuan-perempuan dari berbagai negara, yang datang ke situs pembangkit listrik di Jawa Barat.
Mereka hendak mengunjungi situs geothermal atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang sebagai rangkaian dari program Women in Sustainability, Environment, and Renewable Energy (WiSER); sebuah program yang mendorong keterwakilan perempuan di sektor energi.
Para perempuan itu adalah pegiat energi dari sejumlah negara. Mereka bekerja di perusahaan energi. Mereka mengikuti program WiSER untuk menjadi pioner pengarusutamaan gender di sektor energi.
Eduarda Zoghbi, peserta asal Brazil, menilai pemandangan itu terasa langka sebab pemerintah di seluruh belahan dunia masih memiliki pekerjaan rumah untuk meningkatkan representasi perempuan di sektor energi.
Pandangan dari penyandang gelar Forbes Under 30 itu diperkuat oleh data UN Women Asia and the Pacific. Melalui kisah yang dirilis pada peringatan Hari Perempuan Internasional, tercatat 32 persen dari tenaga kerja di energi terbarukan global diisi oleh perempuan. Namun, representasi perempuan di posisi teknis dan pengambilan kebijakan masih rendah.
Padahal, isu-isu energi lekat keterkaitannya dengan perempuan, salah satunya perubahan iklim.
Badan Energi Internasional mencatat sektor energi menghasilkan emisi karbon sebesar 37,6 gigaton pada 2024, naik 0,3 gigaton dari tahun sebelumnya.
Peningkatan emisi karbon tersebut lantas berkontribusi pada naiknya konsentrasi CO2 di atmosfer menjadi 422,5 ppm, yang sekitar 50 persen lebih tinggi dari tingkat pra-industri.
Memburuknya iklim dunia lantas menyertai peningkatan emisi karbon. Sebuah fenomena yang kian menyudutkan perempuan, sebab mereka merupakan kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Perempuan dan transisi energi
Ekspektasi yang melekat kepada seorang pemimpin perempuan adalah ciri khas pendekatan yang ditempuh dalam membuat kebijakan.
Citra perempuan begitu lekat dengan kepedulian yang tinggi terhadap sesama dan penuh kasih. Oleh karenanya, perempuan diyakini dapat memberi perspektif berbeda dalam pembuatan kebijakan, termasuk di sektor energi.
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Programme/UNEP) melalui publikasinya yang bertajuk Gender Integration in Renewable Energy Policy, menyoroti pentingnya perspektif perempuan dalam pembuatan kebijakan di sektor energi terbarukan.
UNEP berpandangan bahwasanya perempuan mampu memperjuangkan agenda transisi energi dengan kebijakan energi yang lebih efektif, efisien, dan inklusif. Lebih dari itu, perempuan juga dipandang memiliki komitmen yang tinggi terhadap aksi ramah lingkungan guna memerangi perubahan iklim.
Mantan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, yang baru saja lengser pada 2023, merupakan bukti nyata dari pentingnya sentuhan perempuan di sektor energi.
Kepemimpinan Jacinda melahirkan sentra energi bersih di Taranaki, Selandia Baru, yang dahulu bernama The National New Energy Development Centre, sebelum berubah menjadi Ara Ake.
Ara Ake didanai oleh pemerintah Selandia Baru untuk mengembangkan teknologi energi bersih dan mendukung ambisi Selandia Baru dalam hal mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.
Langkah itu merupakan salah satu dari berbagai kebijakan Jacinda yang menunjukkan keberpihakannya terhadap transisi energi. Ia juga menginisiasi penghapusan tarif untuk barang pendukung transisi energi, bahkan mengupayakan penghapusan subsidi untuk energi fosil.
Komitmen tersebut menjadi angin segar sekaligus inspirasi bagi perempuan yang ingin menghadirkan perubahan di sektor energi, khususnya energi bersih.
Apabila Selandia Baru memiliki Jacinda Ardern, maka Indonesia memiliki Eniya Listiani Dewi, seorang Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang menjadi ujung tombak transisi energi di tanah air sejak awal 2024.
Energi bersih untuk Indonesia
Senyum bangga terlukis di wajah Eniya ketika ia menyampaikan Indonesia berhasil mencetak rekor pertumbuhan bauran energi tertinggi, yakni sebesar 2 persen dalam satu tahun.
Capaian tersebut mengantarkan angka bauran energi bersih di Indonesia mencapai 16 persen, yang terdiri atas sektor ketenagalistrikan (8,13 persen) dan sektor non-kelistrikan (7,87 persen) dari bahan bakar nabati, biomassa, dan biogas.
Itulah buah manis yang Eniya tuai sebagai hasil dari jerih payah dan tetes keringat yang menyertai langkahnya di setiap kunjungan lapangan.
Ketika disinggung mengenai gaya kepemimpinannya yang bermuara pada keberhasilan tersebut, Eniya menekankan pentingnya peran perempuan.
“Kalau dari saya sendiri, saya sering melibatkan perempuan di dalam kelompok atau di dalam pengambilan kebijakan,” tuturnya.
Ia memberi contoh ketika menghadapi resistensi pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung dari masyarakat lokal.
Kehadiran PLTS terapung dapat menjadi tempat berlindung bagi ikan-ikan pada siang hari, terlebih untuk waduk yang dibuat oleh manusia dan tidak menyediakan tempat bagi ikan untuk bersembunyi.
Hanya saja, Eniya merasa masyarakat seringkali tidak memahami hal tersebut, sehingga mereka resisten akan kehadiran PLTS terapung.
Pada momen seperti itulah peran perempuan diperlukan. Eks peneliti BRIN itu menilai perempuan memiliki komunikasi publik yang lebih luwes ketika membahas isu-isu sosial, karenanya sentuhan perempuan menjadi penting dalam setiap program transisi energi.
Untuk tujuan tersebut, Eniya acapkali menerjunkan perempuan guna menjalin komunikasi dengan masyarakat setempat ihwal rencana-rencana transisi energi pemerintah, sehingga bisa mendulang dukungan.
Tak terbatas untuk komunikasi publik, perempuan juga dilibatkan di dalam perumusan kebijakan. Keberadaan perempuan yang teliti membantu dirinya memastikan kebijakan telah dirumuskan dengan efisien dan terperinci.
Saat ini, target yang menanti untuk direalisasikan adalah penambahan pembangkit listrik tenaga air terbesar di Indonesia, yakni PLTA Batang Toru yang berlokasi di Sungai Batangtoru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dengan kapasitas lebih dari 500 MW.
Pekerjaan rumah lainnya adalah implementasi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034, yang akan mendongkrak bauran energi baru terbarukan (EBT) hingga 34,3 persen pada 2034.
Eniya bersama koleganya di Kementerian ESDM masih harus bekerja keras untuk merealisasikan berbagai target ambisius tersebut.
Meskipun demikian, layaknya keterlibatan perempuan di sektor lainnya, perempuan yang berkecimpung di sektor energi tidaklah kebal terhadap peran-peran tradisional yang melekat pada sosok perempuan, baik dalam hal mengurus tata kelola rumah tangga, hingga membesarkan anak.
Untuk menjadi setara, perempuan mesti piawai dalam "membelah" diri, sebab terdapat tuntutan soal keandalan perempuan karier dalam menyelesaikan urusan rumah tangga dan pekerjaan sekaligus.
Untuk menjadi setara, perempuan tidak boleh memberi celah kepada siapa pun, termasuk kolega maupun pimpinannya, untuk memperlakukannya dengan berbeda.
“Kalau ke lapangan, ya terjun. Kalau tidur di tikar, ya saya juga tidur di tikar. Saya tidak memberi peluang untuk dibedakan dengan laki-laki. Kami sama,” tutur Eniya menegaskan.
Namun, untuk menjadi setara, perempuan juga membutuhkan dukungan dalam menjalankan peran gandanya, terlebih dari orang-orang terdekat.
Mengarusutamakan kesetaraan gender di sektor yang penuh akan maskulinitas, seperti sektor energi, memiliki tantangannya tersendiri.
Sentuhan perempuan di sektor energi nyatanya mendatangkan perspektif yang berbeda, sebuah perspektif yang berorientasi kepada inklusi dan pemulihan Ibu Pertiwi.
