Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berpesan kepada anak muda yang ingin mengatur keuangan dan investasi untuk tidak ikut-ikutan atau "fear of missing out" (FOMO), namun pelajari terlebih dahulu instrumen investasinya.
"Jadi kalau mau berinvestasi ya, di instrumen apapun, pelajari instrumen itu apa. Jangan ikut-ikutan orang, jangan FOMO apa, fear of missing out. Pelajari instrumennya apa, mereka pasti berhasil," kata Purbaya saat ditemui di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa.
Menurut Purbaya, investasi keuangan akan berhasil jika investor terlebih dahulu mempelajari bentuk instrumen investasi yang akan dilakukan.
Khusus untuk kaum perempuan, Purbaya pun mempersilakan mereka untuk berbelanja barang, baik yang mahal maupun yang murah, asal sesuai dengan kemampuan dan tidak berhutang.
"Belanja enggak apa-apa, belanja mau yang mahal, mau yang murah, tapi sesuaikan dengan kantong anda sendiri. Jangan ngutang," katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Purbaya juga turut menjawab soal kebijakannya yang turut dibandingkan dengan Menteri Keuangan sebelumnya, Sri Mulyani.
Dalam perumpamaan sepakbola, kebijakan yang diambil Purbaya disebut-sebut sering mengarah pada strategi menyerang, alih-alih defensif seperti yang dijalankan Sri Mulyani.
"Saya enggak tau, yang saya tahu beginilah cara menjalankan 'fiscal policy' yang baik. Saya enggak pernah main bola juga, enggak jago," kata dia.
Menurut Purbaya, kebijakan fiskal yang diambilnya berdasarkan ilmu fiskal yang wajar. Ia pun menilai APBN yang sudah didesain atau dirancang harus dihabiskan.
"Ketika anda punya, anda sudah anggarkan, habisin. Kalau enggak berani enggak habisin, jangan didesain, jangan direncanakan, itu aja," katanya.
Data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) menggambarkan realitas yang memerlukan perhatian serius.
Pada 2025, sekitar 81 persen masyarakat Indonesia belum sepenuhnya terhubung dengan layanan keuangan formal.
Angka ini bukan sekadar statistik karena di baliknya ada jutaan cerita keluarga, petani, nelayan, dan pelaku UMKM yang berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari, tanpa akses memadai pada fasilitas keuangan modern.
Kesenjangan ini terlihat jelas antara perkotaan dengan perdesaan, di mana tingkat inklusi masyarakat desa jauh di bawah rata-rata nasional.
Sementara di kota, layanan digital banking, e-wallet, dan akses pembiayaan semakin mudah dijangkau, di banyak wilayah perdesaan, sebagian besar masyarakat, bahkan belum memiliki rekening bank.
Padahal, potensi ekonomi di tingkat akar rumput sangat besar, dengan jutaan pelaku UMKM menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Sayangnya, keterbatasan akses pembiayaan, investasi, dan layanan perbankan modern masih menjadi penghalang utama bagi masyarakat perdesaan untuk berkembang.
Kepala Departemen Ekonomi Keuangan Inklusif dan Hijau Bank Indonesia Anastuty K. menegaskan inklusi keuangan sebagai prioritas kebijakan nasional.
Menurutnya, inklusi keuangan tidak hanya tentang membuka akses terhadap produk perbankan, tetapi juga memastikan adanya pemahaman dan literasi masyarakat yang memadai.
Bank Indonesia senantiasa mendukung upaya-upaya menuju keuangan yang inklusif secara nasional melalui langkah kebijakan dan implementasi program edukasi inklusi keuangan yang menyasar kelompok-kelompok strategis, termasuk perempuan.
Hal ini menegaskan pentingnya pendekatan yang tidak sekadar menyediakan teknologi dan layanan, tetapi juga membangun pemahaman agar masyarakat dapat memanfaatkannya dengan bijak dan penuh kesadaran.
Transformasi digital hadir sebagai peluang, sekaligus tantangan besar. Teknologi memungkinkan layanan keuangan menjangkau lebih banyak masyarakat, termasuk mereka yang berada di wilayah terpencil.
Namun, keberhasilan digitalisasi tidak semata-mata ditentukan oleh ketersediaan aplikasi, melainkan juga kesiapan ekosistem, mulai dari literasi, perlindungan konsumen, hingga tata kelola yang akuntabel.
Tanpa pemahaman yang memadai, akses digital justru berpotensi memunculkan masalah baru, seperti pinjaman online ilegal, risiko penipuan, dan kerentanan terhadap eksploitasi finansial.
Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda, menegaskan perlunya inovasi layanan keuangan yang sesuai dengan karakteristik dan perilaku masyarakat daerah.
Data menunjukkan inklusi keuangan masih sangat rendah, terutama di perdesaan. Dilandasi pemahaman yang mendalam akan perilaku dan kebutuhan masyarakat daerah, muncul kebutuhan untuk inovasi terkait penyediaan layanan keuangan di daerah.
Artinya, literasi dan inklusi keuangan harus berjalan seiring. Tanpa pendidikan finansial yang kuat, teknologi secanggih apa pun akan sulit memberikan dampak maksimal.
Replikasi contoh
Dalam konteks itu, berbagai inisiatif berbasis teknologi bermunculan, salah satu contohnya adalah model yang dikembangkan oleh Amartha Financial.
Entitas keuangan ini dalam 15 tahun terakhir mendampingi masyarakat akar rumput di lebih dari 50.000 desa. Pada perkembangannya, kini bertransformasi menjadi PT Amartha Financial Group setelah memperoleh izin uang elektronik dari Bank Indonesia.
Selama perjalanannya, lembaga ini menggabungkan praktik internasional terbaik, teknologi digital, dan pembelajaran langsung di komunitas lokal.
Hingga saat ini, lebih dari 3,3 juta pelaku UMKM di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara telah mendapatkan manfaat dari pendekatan ini.
Meski bukan satu-satunya model, keberhasilan lembaga ini menjadi contoh baik tentang bagaimana inklusi dan literasi keuangan dapat berjalan berdampingan dengan pemanfaatan teknologi.
Menurut Komisaris Utama Amartha Financial, Rudiantara, keberhasilan lebih sering berangkat dari tata kelola yang baik dan orientasi keberlanjutan.
Value ini perlu ditularkan, yakni pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan dapat ditempuh dengan integritas, sekaligus memberi manfaat nyata bagi masyarakat luas.
Peluncuran Amartha Financial di Jakarta pada 26 Agustus 2025 menjadi momen refleksi atas besarnya potensi ekonomi daerah dan masyarakat perdesaan yang belum tergarap maksimal.
Founder dan CEO Amartha, Andi Taufan Garuda Putra, menekankan bahwa teknologi seharusnya menjadi jembatan bagi masyarakat desa untuk terhubung dengan ekosistem ekonomi digital.
Melalui aplikasi berbasis teknologi AmarthaFin, masyarakat dapat mengakses pembayaran, investasi, dan permodalan sekaligus menghubungkan investor dengan sektor produktif di daerah.
Namun, keberhasilan inklusi keuangan tidak bisa bergantung pada satu inisiatif saja. Diperlukan sinergi lintas sektor antara pemerintah, regulator, industri, investor, dan masyarakat untuk memastikan pemerataan manfaat transformasi digital.
Karakteristik unik
Kolaborasi menjadi kata kunci, sebab tanpa dukungan kebijakan yang tepat dan keselarasan program, potensi teknologi akan sulit dimaksimalkan secara merata.
Keberhasilan skema atau model dapat menjadi cermin bahwa pendekatan inklusif berbasis teknologi perlu direplikasi, dikembangkan, dan disesuaikan dengan konteks lokal di berbagai daerah.
Setiap wilayah memiliki karakteristik unik, baik dari segi budaya, tingkat literasi, maupun pola ekonomi.
Model inklusi yang efektif di Jawa belum tentu berhasil di Papua, sehingga kebijakan dan inovasi layanan harus mengedepankan keberagaman sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Model Amartha juga menunjukkan bahwa literasi keuangan adalah kunci keberhasilan. Tanpa pemahaman yang memadai, akses terhadap teknologi dan layanan keuangan justru berpotensi menimbulkan kerentanan baru.
Program pendampingan dan edukasi menjadi langkah penting agar masyarakat bukan hanya menjadi pengguna layanan, tetapi juga mampu mengambil keputusan finansial yang tepat, bijaksana, dan berkelanjutan.
Di luar itu, tantangan terbesar masih terletak pada upaya kolektif mempersempit kesenjangan antara kota dan desa. Akses layanan keuangan perlu diimbangi dengan pemberdayaan berbasis literasi agar masyarakat di tingkat akar rumput dapat memaksimalkan potensi ekonominya.
Literasi keuangan tidak hanya soal memahami bunga pinjaman atau cara menggunakan aplikasi, tetapi juga melatih masyarakat berpikir kritis, merencanakan masa depan, dan melindungi diri dari risiko keuangan yang tidak diinginkan.
Inklusi keuangan bukan sekadar angka atau target statistik, tetapi proses membangun kepercayaan, membuka peluang, dan menghubungkan potensi-potensi ekonomi agar masyarakat mampu berdiri sejajar dalam arus ekonomi modern.
Jalan panjang keberhasilan literasi keuangan bukan sekadar tentang membuka akses, tetapi juga memastikan tidak ada yang tertinggal.
Hanya dengan pemahaman, pendampingan, dan kolaborasi lintas sektor, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan ekonomi yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.
