Mataram (ANTARA) -
Di Bima, Dompu, hingga Lombok Timur, hamparan tambak rakyat membentang seperti cermin di bawah terik matahari. Musim kering panjang, sinar matahari melimpah, dan pengalaman masyarakat pesisir yang sudah terbiasa menambak garam menjadi modal penting.
Pemerintah Provinsi NTB menargetkan produksi garam rakyat mencapai 180 ribu ton pada 2025, meningkat dari 150 ribu ton pada 2024, dan 140 ribu ton pada 2023. Produksi ini bersumber dari lahan tambak seluas 9.789 hektare, sebagian besar berada di Kabupaten Bima dan Dompu.
Meski meningkat, kontribusi NTB terhadap kebutuhan nasional masih kecil dibandingkan 4,9 juta ton yang dibutuhkan, menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas produksi dan kualitas.
Persoalan klasik tetap menghantui: teknologi yang terbatas, modal kecil, kualitas garam belum konsisten, dan tata niaga yang belum berpihak. Banyak petani masih bergantung pada metode tradisional yang menghasilkan garam berkualitas rendah (K2 dan K3).
Dominasi tengkulak dan fluktuasi harga membuat mereka rentan terhadap kerugian. Produksi berlimpah tidak akan berarti jika kesejahteraan petani tidak terjamin.
Untuk mengubah kondisi ini, hilirisasi garam menjadi strategi kunci. Dengan pengolahan modern berupa pencucian, pengeringan, pengemasan, maka garam rakyat bisa memenuhi standar industri.
Program teknologi geomembran, misalnya, memperbaiki kualitas kristal garam, mengurangi pencemaran tanah, dan meningkatkan harga jual. Namun, akses teknologi masih terbatas bagi banyak petani kecil.
Selain itu, tata niaga harus diperbaiki. Koperasi dan kelompok tani perlu diperkuat agar bisa menyalurkan garam langsung ke industri atau pasar ekspor, meminimalkan dominasi tengkulak. Dengan demikian, produksi yang meningkat juga berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat pesisir.
Keberlanjutan menjadi kata kunci dalam pengembangan garam NTB. Produksi garam yang tidak dikelola dengan baik dapat berdampak pada ekosistem pesisir. Tambak yang dibuka tanpa perencanaan dapat merusak hutan mangrove, sementara limbah pengolahan garam bisa mencemari perairan. Oleh karena itu, teknologi ramah lingkungan dan pengelolaan lahan terintegrasi harus menjadi bagian dari roadmap produksi garam NTB.Agenda mendesak NTB meliputi beberapa hal.
Pertama, perbaikan kualitas produksi melalui teknologi modern agar garam dapat memenuhi standar industri dan mengurangi ketergantungan impor. Kedua, pembiayaan inklusif untuk petani kecil agar mereka mampu membeli alat dan bahan untuk meningkatkan kualitas. Ketiga, penguatan koperasi agar posisi petani lebih kuat dalam rantai distribusi, tidak lagi bergantung pada tengkulak. Keempat, integrasi garam dalam konsep pangan biru, yang menekankan pemanfaatan laut secara berkelanjutan.
Konsep pangan biru melihat laut bukan hanya sebagai sumber protein, tetapi juga sumber pangan non-protein strategis seperti garam. Dengan mengelola tambak garam secara berkelanjutan, NTB tidak hanya menyediakan komoditas bagi industri nasional, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem pesisir. Garam bisa menjadi simbol keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan, antara produktivitas dan konservasi.
Butiran garam putih yang sederhana di tangan mereka adalah simbol masa depan yang manis, hasil kerja keras, inovasi, dan kolaborasi seluruh bangsa.
