Jakarta (ANTARA) - Situasi perberasan di Indonesia kembali menjadi sorotan publik ketika harga beras melonjak tajam belum lama ini di tengah produksi yang justru dilaporkan melimpah.
Secara teori, hukum ekonomi sederhana menyatakan bahwa ketika pasokan meningkat, harga akan turun. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan fenomena yang berlawanan.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyoroti keberadaan para pedagang perantara atau middleman yang dianggap memainkan peran signifikan dalam menentukan harga.
Praktik ini membuat pasar beras rentan terhadap manipulasi dan menimbulkan keresahan publik. Pemerintah dihadapkan pada tantangan besar untuk menyeimbangkan antara ketersediaan beras, harga yang stabil, dan perlindungan terhadap petani.
Dalam upaya meredam gejolak harga, pemerintah mengambil langkah dengan menggelontorkan bantuan sosial beras sebesar 360 ribu ton bagi 18,3 juta keluarga penerima manfaat melalui anggaran Rp4,9 triliun pada tengah tahun ini.
Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat di tengah fluktuasi harga, sekaligus memastikan ketersediaan pangan bagi kelompok rentan.
Namun, kebijakan bansos ini memiliki hubungan yang kompleks dengan kebijakan ekspor beras yang dilakukan secara paralel.
Pemerintah merencanakan ekspor 2.000 ton beras per bulan ke Malaysia, atau sekitar 24.000 ton per tahun melalui skema bisnis antarbisnis (B-to-B). Tujuan ekspor ini berasal dari Pasokan Beras Pemerintah dan ditekankan bahwa kebutuhan domestik tetap menjadi prioritas utama.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada Juli 2025 produksi beras meningkat sekitar 14 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, membuat stok nasional mencapai 4,2 juta ton, tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah optimistis stok ini cukup aman untuk kebutuhan dalam negeri sekaligus menopang kebijakan bansos.
Direktur Utama Perum Bulog, Ahmad Rizal Ramdhani, bahkan memproyeksikan panen raya pada Agustus 2025 bisa menambah stok nasional hingga satu juta ton.
Dengan kondisi produksi yang melimpah, pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk menjaga stabilitas harga melalui sejumlah kebijakan strategis, seperti menyiapkan 1,3 juta ton beras untuk operasi pasar di bawah skema Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) serta 365 ribu ton untuk program bansos.
Namun, persoalan stabilitas harga tidak semata-mata bergantung pada ketersediaan stok. Pemerintah juga menemukan adanya masalah kualitas beras di pasaran.
Di sisi lain, pemerintah juga mengalokasikan anggaran hampir Rp13 triliun pada 2025 untuk perbaikan sistem irigasi dan peningkatan teknologi pertanian.
Teknologi modern, benih unggul, dan penerapan sistem irigasi presisi menjadi bagian dari strategi besar menuju swasembada pangan dan perlindungan kesejahteraan petani.
Meski produksi meningkat dan kebijakan penyaluran bansos berjalan, tantangan nyata tetap besar. Fluktuasi harga pupuk, dampak perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan ketergantungan pada impor masih menjadi faktor yang dapat mengguncang ketahanan pangan.
Perubahan cuaca ekstrem, termasuk ancaman kekeringan dan banjir, berpotensi mengganggu produktivitas sawah.
Pemerintah merespons dengan melakukan prediksi iklim jangka menengah melalui BMKG, yang memproyeksikan musim kemarau 2025 cenderung terlambat dan dipengaruhi hujan yang berlanjut hingga Oktober.
Kebijakan tata niaga beras perlu dikendalikan negara agar rantai pasok berjalan transparan dan petani mendapat harga yang layak.
Pemerintah juga perlu memperketat pengawasan ekspor untuk memastikan tidak terjadi penyerapan berlebih yang dapat mengganggu ketersediaan beras dalam negeri.
Pengendalian ini bukan hanya soal menjaga stok, tetapi juga menjaga psikologi pasar agar spekulasi harga tidak berkembang liar dan merugikan konsumen maupun petani.
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.
