Cirebon, Jawa Barat (ANTARA) - Siang itu, beberapa petani di daerah Cirebon, berkumpul di atas terpal, menuang dan mengemas gabah hasil panen ke dalam karung-karung besar.
Karung putih berderet seperti benteng kecil di tengah lahan, menandai hasil kerja yang sudah terkumpul. Suara gesekan gabah dan obrolan ringan berpadu dengan tiupan angin sawah.
Di sisi lain, seorang petani pria mengenakan kaos putih dan topi abu-abu tengah memotong batang padi dengan sabit. Rumpun demi rumpun ia genggam dan tebas, lalu dirapikan.
Di belakangnya, petani lain mengikuti ritme yang sama. Tidak ada hiruk-pikuk, hanya gerakan berulang yang penuh ketelitian, memastikan bulir padi tetap utuh.
Di lahan yang lain, seorang perempuan berkerudung merah dan memakai caping berdiri di antara rumpun padi yang tinggi. Tangannya memegang erat hasil tebasan, matanya menatap bulir yang sudah menguning sempurna.
Di belakangnya, seorang perempuan lain dengan kerudung kuning juga sibuk memanen, memperlihatkan bahwa pekerjaan ini dilakukan bersama, tanpa membedakan peran. Gabah lalu dipisahkan, dibersihkan, kemudian dikemas ke dalam karung.
Karung yang sudah penuh berisi gabah segar lalu dipanggul buruh tani pria. Meski karung itu tampak berat, langkah mereka mantap meniti pematang sawah yang sempit.
Di belakang pembawa karung, buruh lain menyusul dengan beban serupa. Mereka berjalan dalam barisan kecil, membawa hasil panen ke luar lahan. Perjalanan ini mungkin hanya beberapa menit, tetapi bobot karung membuat stamina mereka cukup terkuras.
"Ritual" memanggul karung itu dilakukan dengan penuh semangat. Mereka tahu bahwa apa yang mereka bawa bukan sekadar gabah, melainkan sumber kehidupan. Dalam karung-karung itu tersimpan beras yang akan menjadi nasi yang tersaji di atas meja makan banyak keluarga.
Lapangan kerja
Menggarap sawah bukan hanya tentang petani penggarap, tetapi juga tentang buruh tani yang menggantungkan nafkah dari jasa menggarap sawah, seperti Carnadi (50) dari Desa Cengkuang.
Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), Carnadi sudah akrab dengan lumpur sawah, belajar dari almarhum orang tuanya, hingga akhirnya meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai buruh tani di daerah Cirebon.
Pekerjaan buruh tani dilakoninya penuh ketekunan, mulai dari membuat galangan, selokan, memupuk, menyemprot padi, hingga panen.
Upah yang diterima sebeèsar Rp100 ribu untuk kerja setengah hari dari pukul tujuh pagi hingga siang, ditambah sekadar makan sederhana selepasnya.
Anak sulungnya berusia 27 tahun ikut bekerja di sawah, sedangkan anak bungsunya menjaga rental PlayStation. Mereka bertahan hidup dengan mencari rezeki masing-masing.
Akhirnya, dengan tabah ia menjalani hidup sebagai buruh tani, menggantungkan harapan dari keringatnya di sawah demi menghidupi keluarga kecilnya.
Kepala Desa Cengkuang Zaenal Arifin mengatakan, dari sekitar 5.600 jiwa warga desa, tercatat ada 167 petani penggarap, sedangkan sekitar seribuan lainnya menggantungkan hidup sebagai buruh tani.
Stabilnya harga gabah membuat petani semangat bertani, memperluas tanam, menambah musim tanam, sehingga kebutuhan tenaga kerja semakin meningkat.
Kehadiran Bulog membeli gabah Rp6.500 per kilogram membuat tengkulak tidak bisa lagi menekan harga di bawah Rp5.000. Ini memacu gairah untuk mengolah sawah.
Mengais ceceran bulir
Dalam suasana panen di Desa Tegalkarang, hadir sosok sederhana bernama Wahidin (35) asal Indramayu, yang tekun mengais sisa bulir padi tercecer dengan kesabaran.
Sejak dua tahun lalu, tepat setelah menikah, ia menekuni pekerjaan ini. Meski hanya mengumpulkan bulir tersisa, tapi baginya setiap butir padi adalah rezeki berharga untuk keluarga.
Meski memiliki sawah kecil di Indramayu yang baru ditanami, Wahidin lebih sering mengisi waktu dengan berkeliling mencari sisa-sisa padi karena hasilnya langsung bisa bernilai ekonomis.
Setiap hari ia berangkat pagi sekitar pukul delapan, lalu pulang sore dengan rata-rata 10 kilogram gabah, dijual ke bandar seharga Rp6.000 per kilogram.
Jika beruntung, sebagian hasil mengumpulkan sisa padi ia bawa pulang untuk dimasak bersama keluarga. Namun tak jarang semua dijual agar bisa menutup kebutuhan harian.
Istrinya, Nuroh (33), juga ikut mengumpulkan sisa-sisa panen milik petani, awalnya hanya menemani suami agar tak bosan di rumah, tapi akhirnya ikut merasakan manfaat ekonomi tambahan.
Nuroh bercerita, dalam sehari ia bisa mendapatkan 30 hingga 60 kilogram padi, yang bila dijual menghasilkan Rp200 ribu hingga Rp420 ribu sekali panen. Namun, jika proses panen berlangsung rapi dan bersih, maka pendapatannya hanya bisa sekitar Rp150 ribu.
Dengan dua anak kecil berusia tiga setengah tahun dan satu setengah tahun, hasil mengumpulkan sisa-sisa panen padi dapat membantu menambah tabungan kecil mereka
Bagi pasangan muda ini, bulir padi yang jatuh dari tangkai bukan sekadar sisa, melainkan rezeki yang menyemai harapan dan menjaga dapur tetap mengepul.
