Jakarta (ANTARA) - Isu pengoplosan beras kembali mencuat ke permukaan dan menjadi perhatian luas berbagai kalangan.
Praktik ini tak hanya memicu keresahan publik, tetapi juga mendorong respons serius dari para pemangku kebijakan.
Pemerintah tampaknya tidak tinggal diam. Satuan Tugas (Satgas) Pangan bergerak cepat memanggil pihak-pihak yang diduga terlibat langsung.
Langkah ini patut diapresiasi sebagai bentuk keseriusan negara dalam menjaga mutu dan keamanan pangan masyarakat. Karena sejatinya, pengoplosan beras bukanlah sekadar pelanggaran dagang semata tetapi bentuk pengingkaran terhadap keadilan dan kemanusiaan.
Dalam konteks yang lebih besar, pengoplosan beras dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi konsumen untuk mendapatkan pangan yang layak dan aman.
Pengoplosan beras merupakan kejahatan, bahkan tindakan subversif ekonomi, menimbulkan kerugian besar, baik secara ekonomi maupun sosial, terutama bagi masyarakat kecil yang selama ini mengandalkan beras sebagai kebutuhan pokok sehari-hari.
Pengoplosan beras merupakan praktik mencampur beras dari berbagai jenis atau kualitas yang berbeda demi tujuan tertentu, biasanya untuk meraih keuntungan dengan cara menurunkan biaya produksi.
Dampaknya, pertama, kualitas beras yang beredar di masyarakat menjadi tidak terjamin. Konsumen bisa saja membeli beras dengan harga tinggi, tetapi mendapatkan produk yang jauh dari ekspektasi.
Kedua, praktik ini secara perlahan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem distribusi dan perdagangan pangan. Ketiga, pengoplosan berdampak pada fluktuasi harga pasar yang bisa merugikan petani dan pelaku usaha yang jujur.
Motivasi di balik praktik ini pun cukup kompleks. Di satu sisi, pelaku pengoplosan ingin meningkatkan margin keuntungan. Di sisi lain, mereka juga memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan dan celah regulasi.
Setidaknya ada lima alasan umum yang mendorong pengoplosan yakni keinginan meraih laba besar, menekan ongkos produksi, meningkatkan volume penjualan, menghindari kerugian dari stok lama, dan memanfaatkan kelengahan sistem pengawasan.
Pengoplosan beras bukan hanya sekadar pelanggaran etika dagang, tetapi dapat berujung pada kerugian kesehatan, turunnya gizi keluarga, dan rusaknya struktur ekonomi pangan negeri ini.
Maka, pengoplosan beras sejatinya adalah tindakan tak berperikemanusiaan, dan harus diperlakukan sebagai kejahatan serius.
Kementerian Pertanian melalui Satgas Pangan kini tengah mendalami dugaan pengoplosan beras jenis SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) yang dijual sebagai beras premium.
Menurut pernyataan Menteri Amran, ditemukan indikasi bahwa sejumlah kios hanya menjual 20 persen beras SPHP, sementara 80 persen lainnya dioplos lalu dijual dengan harga lebih tinggi.
Fakta ini menegaskan bahwa praktik culas ini telah berlangsung sistemik, dan perlu dihadapi dengan langkah tegas dan komprehensif.
Ada beberapa langkah sederhana namun penting yang bisa dilakukan masyarakat.
Periksa kualitas beras sebelum membeli. Perhatikan warna, tekstur, dan aromanya. Kedua, pilih beras dari sumber terpercaya seperti petani lokal atau toko beras dengan reputasi baik.
Selanjutnya, konsumen juga perlu mencermati label informasi pada kemasan beras, termasuk jenis, asal-usul, dan klasifikasi kualitasnya.
Pastikan juga bahwa produk yang dibeli memiliki sertifikasi resmi dari lembaga yang kredibel, seperti sertifikasi halal atau standar mutu pangan dari BPOM.
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.
Baca juga: Disdagin Bogor: Beras kemasan diduga oplosan masih beredar di Cibinong
