Jakarta (ANTARA) - Nama Tontowi Ahmad selama ini melekat erat dengan dunia bulu tangkis. Pria yang kini berusia 37 tahun itu adalah peraih medali emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016, juara dunia 2013 dan 2017, serta ikon ganda campuran Indonesia bersama Liliyana Natsir.
Namun, Jumat sore itu di Lapangan PSF Pancoran, Jakarta, Tontowi terlihat tak lagi berada di lapangan bulu tangkis. Dia juga tak memegang raket.
Owi, sapaan akrab Tontowi Ahmad berdiri di pinggir lapangan sepak bola. Bukan sebagai penonton biasa, melainkan sebagai ayah sekaligus pembina tim sepak bola anak-anak.
Klub kecil itu bernama Tontowi Ahmad Football Club (TAFC). Dibentuk baru enam bulan lalu, TAFC merupakan komunitas yang ia rintis demi mewadahi kegemaran anak-anaknya, khususnya si bungsu Arsya Alfarezel Ahmad.
Hasilnya pun langsung mencuri perhatian. TAFC tampil sebagai juara kelompok umur 8 tahun dalam ajang Durava Liga Anak Indonesia by Inaspro 2025, setelah menundukkan Imam Bonjol Padang melalui adu penalti 5-4.
Bahkan, dua pemain meraih penghargaan individu yakni Noel Benedict Alexander sebagai pemain terbaik dan Althaff Radika sebagai penjaga gawang terbaik kelompok umur 8 tahun.
Pelatih Tontowi Ahmad Football Club bernama Abdul Yadi juga terpilih sebagai juru taktik terbaik dalam ajang yang diikuti 92 Sekolah Sepak Bola (SSB) dari berbagai daerah di Tanah Air tersebut.
“Alhamdulillah anak-anak tampil luar biasa. Ini awalnya cuma komunitas kecil, kumpulan teman-teman anak saya yang suka main bola,” ujar Tontowi saat berbincang dengan ANTARA. Raut wajahnya tak bisa menyembunyikan kebanggaan.
Di bangku penonton, Tontowi duduk bersama sang istri, Michelle Harminc, menyemangati Arsya yang bertanding untuk TAFC. Sesekali mereka berdiri, berteriak memberikan semangat.
Sebelum Arsya yang tampil di turnamen kali ini, Danish Arsenio Ahmad, sang kakak, justru lebih dulu menekuni sepak bola dan telah beberapa kali mengikuti turnamen sebelumnya.
Kebersamaan keluarga kecil itu menjadi penggerak utama kehadiran Tontowi di dunia yang selama ini tak ia geluti secara profesional, lapangan hijau sepak bola.

“Awalnya saya nggak terlalu suka sepak bola. Tapi karena anak-anak suka, ya saya jadi ikut. Lama-lama seru juga. Sampai kami nonton langsung pertandingan timnas lawan China kemarin,” kenangnya sambil tersenyum.
TAFC sendiri belum berbentuk sebagai sekolah sepak bola formal. Menurut Tontowi, klub ini masih sebatas komunitas terbuka.
“Ini bukan akademi. Siapa pun yang mau main bola, kami fasilitasi. Tapi untuk ikut turnamen seperti ini, tentu kami seleksi dulu anak-anak yang siap tanding,” kata mantan ganda campuran terbaik dunia bersama Liliyana Natsir tersebut.
Latihan rutin dilakukan setiap Sabtu pagi di Rawabuntu, Tangerang Selatan. Sesekali, mereka juga menambah sesi latihan pada hari Selasa atau Rabu, khusus untuk memperdalam taktik dan membangun kekompakan.
Di luar lapangan hijau, Tontowi juga tetap aktif di dunia bulu tangkis. Ia mengelola Tontowi Ahmad Badminton Hall BSD di Pagedangan, Tangerang, Banten.
Arsya, si bungsu, kini juga mulai rutin latihan dua hingga tiga kali dalam sepekan di sana.
Tontowi juga kembali terlibat dalam Audisi Umum PB Djarum sebagai bagian dari tim pencari bakat.
“Sekarang saya fokus ke pembinaan. Saya pernah mengalami sendiri pentingnya pembinaan sejak kecil. Jadi saya ingin anak-anak saya juga punya ruang untuk berkembang. Mau di bola atau bulu tangkis, yang penting mereka tumbuh dengan semangat dan karakter yang baik,” ujarnya.
Sejak gantung raket alias pensiun dari dunia yang membesarkan namanya pada Mei 2020, Tontowi memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga.
Kini, peran barunya sebagai ayah dan pembina olahraga justru membuka lembaran baru yang lebih bermakna.
Baginya, keberhasilan TAFC menjuarai Liga Anak Indonesia 2025 bukan sekadar kemenangan teknis. Lebih dari itu, momen tersebut menjadi ruang belajar bagi anak-anak tentang arti sportivitas, kerja sama, dan pengalaman bertanding yang membekas.
“Saya ingin mereka senang dulu. Soal juara itu bonus. Yang penting mereka punya pengalaman dan kenangan yang membentuk karakter sejak dini,” ujarnya.
Meski belum berniat mengubah TAFC menjadi akademi sepak bola formal, Tontowi tidak menutup kemungkinan ke arah sana.
“Kalau nanti ada kesempatan, ada dukungan dari mana-mana, ya nggak menutup kemungkinan. Tapi sekarang kita jalanin yang ada dulu,” kata pria yang lahir di Banyumas, Jawa Tengah, 18 Juli 1987 itu.
Ia pun mengapresiasi penyelenggaraan Liga Anak Indonesia yang menurutnya mampu menjadi panggung pembinaan sekaligus wahana tumbuh kembang bagi anak-anak dari berbagai daerah.
“Saya percaya, lewat kegiatan seperti ini, anak-anak tidak hanya belajar menang atau kalah, tapi juga belajar disiplin, menghargai teman, dan berani mencoba. Itu yang saya rasakan selama mendampingi mereka,” kata Tontowi.
Sebagai ayah, ia memberi kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk memilih jalan mereka sendiri. Baik Danish maupun Arsya, apakah ingin menekuni sepak bola, bulu tangkis, atau bidang lain, baginya semua itu bukan soal medali, tapi proses tumbuh yang menyenangkan dan penuh nilai.
Bukan lagi demi prestasi pribadi, Tontowi Ahmad kini ada untuk masa depan anak-anaknya dan masa depan olahraga Indonesia.