Pekanbaru (ANTARA) - Asap masih menggantung malas di hawa pagi Desa Karya Indah. Tabir kabut sisa malam belum sepenuhnya enyah ketika semak belukar yang menghitam jadi latar bagi pahlawan tanpa panggung: Masitoh.
Perempuan berhijab, bermata cekung namun menyala oleh tekad itu, berdiri dengan wajah legam terpapar arang dan debu, menggenggam selang pemadam seolah menggenggam hidup dan mati hutan yang terbakar itu.
Peluh menetes dari pelipisnya, menelusuri lekuk pipi yang mulai mengeras oleh panas dan waktu. Hijabnya basah, bukan oleh air, tapi oleh keteguhan.
Di tengah kepungan api dan asap, ia tetap sempat melayangkan senyum kepada awak media yang mencoba menangkap sepotong kisah perjuangannya. Senyum itu bukan sekadar pelipur, melainkan suluh yang menerangi kesunyian medan yang pekat oleh abu.
Masitoh, ibu dari lima anak, telah lebih dari satu dekade menjadi bagian dari barisan merah Manggala Agni. Di balik kelembutan tutur katanya, tersimpan keteguhan baja. Bagi Masitoh, pekerjaan ini bukan sekadar pelarian dari sandang pengangguran, apalagi upaya mencari gaji tetap. Ini adalah panggilan jiwa, gema dari masa kecilnya yang penuh kenangan akan Pramuka, alam, dan rasa ingin berguna.
"Dari kecil saya ikut Pramuka. Setelah tamat SMA, saya kenal Manggala Agni dan merasa ini panggilan hati," ujarnya lembut, dengan suara yang terasa seperti embun pagi setelah musim kering yang panjang.
Langkahnya telah menapaki banyak tanah terbakar di Bumi Lancang Kuning. Tetapi ada satu peristiwa yang masih ia simpan rapat dalam ruang kenangannya: kebakaran besar di Rimbo Panjang, Kampar, tahun 2015. Kala itu, asap tebal mengepung timnya dari berbagai penjuru. Ketua tim berteriak memberi aba-aba keluar. Langit sudah hilang oleh abu, dan cahaya hanya tinggal bayang samar dari arah yang entah mana.
"Ketua tim langsung memberi aba-aba agar kami segera keluar. Rasanya campur aduk, takut tapi harus tetap sigap," kenangnya.
Kala itu, mereka bahkan sempat harus meninggalkan selang pemadam di belakang demi keselamatan. Keputusan yang berat, namun perlu. Karena di medan tempur seperti ini, hidup adalah nyala paling berharga.
Fakta menariknya, Indonesia merupakan salah satu dari lima negara dengan tingkat kebakaran hutan dan lahan tertinggi di dunia. Tahun-tahun seperti 2015 dan 2019 mencatat rekor kabut asap yang menyebar hingga ke negara tetangga.
Tak hanya api yang menjadi lawan, tapi juga kepungan asap yang memaksa tim untuk bersembunyi di balik ilalang. Daun-daun liar yang biasanya tak dianggap, hari itu menjadi pelindung. Masitoh ingat betul pesan atasannya: keselamatan adalah prioritas. Bahkan ketika napas mulai berat dan mata perih oleh gas tak terlihat.
Yang luar biasa dari Masitoh bukan hanya keberaniannya, melainkan juga fakta bahwa ia adalah perempuan di tengah medan yang identik dengan maskulinitas. Namun, di barisan Manggala Agni, Masitoh tak pernah merasa terpinggirkan. Rekan-rekannya tak menjadikannya simbol kelemahan, melainkan mitra sejajar yang turut menjaga bara semangat.
"Sukanya, kita perempuan tapi bisa disejajarkan dengan rekan laki-laki. Mereka tidak membiarkan tenaga perempuan begitu saja," tuturnya.
Dalam tiap deru selang dan gemuruh bara, ada ketenangan yang hanya dimiliki oleh mereka yang tahu benar apa yang sedang dijaga. Bagi Masitoh, itu adalah kehidupan. Bukan hanya hidup pohon-pohon yang terbakar, tetapi hidup anak cucu yang kelak akan berteduh di bawah rindangnya.
Pulang ke rumah bukan berarti bebas dari tugas. Di rumah, lima anaknya menanti. Tapi Masitoh bersyukur, keluarganya adalah pilar yang menyanggahnya tetap tegak. Dukungan dari suami dan anak-anak menjadi kekuatan tersembunyi yang melengkapi semangatnya di lapangan.
"Saya bersyukur keluarga mendukung. Anak-anak juga paham, pekerjaan ibu ini untuk banyak orang, untuk lingkungan," ucapnya dengan mata yang basah namun tak jatuh.
Ada sesuatu yang mistis sekaligus mendalam ketika seseorang memilih jalan yang penuh bahaya bukan karena tuntutan, tapi karena cinta. Cinta pada bumi, pada udara bersih, pada hidup yang utuh.
Dalam setiap langkah Masitoh, terkandung semangat yang barangkali tak bisa dijelaskan oleh kalkulasi gaji atau penghargaan. Karena memang tak semua jasa harus dibayar dengan angka. Ada yang cukup dibalas dengan rasa aman.
Dengan seragam merah yang telah kusam dimakan waktu dan hijab yang setia menutupi kepala, Masitoh terus menembus kepungan asap dan debu. Ia bukan sekadar pemadam kebakaran, melainkan penjaga harapan. Di tiap bara yang padam, ada dedikasi yang menyala. Di tiap helai hijabnya yang basah oleh peluh, ada kisah tentang keberanian yang tak memilih jenis kelamin.
Dunia mungkin tak mengenal nama Masitoh. Tapi hutan-hutan itu tahu siapa dia. Angin yang kembali segar karena apinya padam tahu siapa yang berjaga. Dan kelak, anak-anak yang bermain di bawah langit biru tanpa asap akan merasakan hasil dari pengorbanan perempuan ini. Mereka mungkin tak pernah tahu namanya. Tapi mereka akan menghirup udara yang pernah ia perjuangkan.
Dan mungkin, itu cukup bagi Masitoh.
Kelak, barangkali tak akan ada patung yang didirikan atas nama Masitoh. Tak pula namanya tercetak dalam buku sejarah sekolah. Tapi di sela-sela akar yang tumbuh kembali, di desir angin yang tak lagi tercemar, dan di pelukan anak-anak yang bermain bebas di hamparan hijau, kisahnya diam-diam hidup.
Kisah tersebut adalah api yang tak membakar, melainkan menjaga. Simbol tersebut adalah peluh yang menumbuhkan, bukan meluluhkan. Dalam setiap langkah sunyinya di antara ilalang dan bara, Masitoh telah menuliskan warisan yang tak bisa dilenyapkan waktu: keberanian perempuan yang menyalakan harapan, ketika dunia hanya melihat asap.
Dan di setiap hutan yang selamat, barangkali bumi pun berbisik, “Terima kasih, penjaga yang tak meminta untuk dikenang.”
