Madinah (ANTARA) - Mereka tidak lagi muda. Sebagian rambutnya telah memutih, lutut juga tidak lagi setegak dulu, namun di puncak ibadah haji, saat jutaan manusia memadati padang Arafah, Muzdalifah, dan Mina, tubuh tua mereka tetap berdiri perkasa, melintas perjalanan haji di Armuzna.
Tubuh tua mereka tidak perlu dipapah petugas, tidak perlu kursi roda, dan tidak pula menunggu dimanjakan. Mereka berjalan sendiri, melontar jamrah sendiri, dan menyelesaikan semua rukun dan wajib haji dengan kaki mereka sendiri. Itulah para lansia perkasa di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna), kisah yang lahir dari niat yang kuat, tubuh yang terlatih, dan jiwa yang tidak mudah menyerah.
“Saya dari Muzdalifah ke Mina jalan kaki. Hari pertama, kedua, ketiga lempar jamrah sendiri. Tidak dibantu siapa-siapa. Semua aman.” ujar Nahali Tiloli (72 tahun), haji dari Seram, Maluku, yang tubuhnya masih terlihat segar, seperti petani di ladang subuh hari. Ia tidak mengenal tensi tinggi, tidak paham apa itu kolesterol, dan tidak punya obat khusus di tasnya.
Saat dijumpai ANTARA di penginapannya di Madinah, Sabtu, ia bercerita, selama hidup hanya memakan sagu, keladi, dan ikan.
Nahali bukan satu-satunya haji lansia yang menolak dimanjakan. Dari Aceh, ada Zainuddin bin Samaun (67 tahun) yang juga memilih jalannya sendiri. Ia berangkat haji dengan bekal tubuh yang ditempa sepeda pagi sejauh 10 kilometer yang rutin ia kayuh sebelum berangkat ke Tanah Suci.
Tiga kali ia melempar jamrah sendiri. Ia mengambil posisi di sisi kiri agar tenang dan tidak berdesakan. Pensiunan pegawai Disperindag Provinsi Aceh itu bersyukur karena semuanya selesai dikerjakan tanpa tersesat.
Zainuddin hidupnya sederhana: makan buah, mengurangi daging, dan menjaga tidur. Puasa sunah sering ia jalani. Ia hanya berbuka puasa dengan kurma dan air hangat. “Kalau bisa dilakukan hari ini, kenapa tunggu besok?” Begitu ia mengutip prinsip hidupnya yang tidak mau menunda menjaga fisik dengan berolahraga. Cara hidup itu membawanya sampai ke Tanah Suci dengan tubuh yang bugar.
Ada lagi dua sahabat dari Pulau Kei Besar, Maluku Tenggara: Harun Rahwarin (70) dan Hassan Asyatrin (68). Mereka tidak perlu banyak bicara untuk membuat orang lain kagum, cukup dengan melihat langkah kaki mereka; pelan, mantap, tanpa bantuan.
Dari Muzdalifah ke Mina ia berjalan kaki (karena saat di Muzdalifah tidak ada bus yang mengangkutnya) . Dari tenda Mina ke lokasi lempar jamrah pun ia berjalan kaki. Harun yang sehari-hari bekerja menanam rumput laut itu bersyukur karena tetap sehat. Hari itu Harun dan Hassan memang harus berjalan setidaknya 15 kilometer untuk menyelesaikan rangkaian mabit di Muzdalifah menuju tenda Mina, melempar jamrah di jamarat dan pulang lagi ke tenda Mina.
Apa rahasia mereka dapat tetap kuat di usia senja? Gaya hidup yang sederhana. Tidak banyak makan daging, lebih banyak ikan. Tidak makan makanan dengan penyedap. Olahraga jalan kaki setiap pagi dan sore.
Ketua Kloter UPG-24 Muchlis Ashari adalah saksi langsung kekuatan para lansia itu. Ia mengawal 384 haji dari Maluku, termasuk puluhan lansia yang ia petakan secara khusus agar bisa dibantu. Tapi kenyataannya, banyak dari mereka yang tidak ingin dibantu.
Awalnya, Muchlis mengira mereka akan sering beristirahat dan banyak bergantung, tetapi ternyata justru sebaliknya. Banyak dari mereka yang ingin berjalan sendiri, mengikuti semua prosesi ibadah, bahkan rela berjalan dari Muzdalifah ke Mina karena ingin menyelesaikan ibadahnya secara mandiri.
Pria yang sehari-hari bekerja di Kantor Urusan Agama (KUA) Kei Besar ini menyebut ada sekitar 15 lansia di kloternya yang sangat bugar. Bagi Muchlis, mereka luar biasa karena kekuatan itu lahir dari mental dan spiritual yang sudah matang. Kalau mentalnya kuat, maka fisiknya juga kuat.
Hal yang menarik, semuanya memiliki kebiasaan hidup yang mirip, yakni aktif bergerak, makan makanan sehat, dan tidak banyak bergantung pada obat. Meskipun demikian, di atas semua itu, ada satu kekuatan yang tidak bisa diukur dengan tensi atau tekanan darah, yakni niat yang ikhlas.
Bagi mereka, haji bukan tempat untuk dilayani, tapi ladang untuk membuktikan bahwa mereka tetap bisa melakukannya sendiri, walaupun usianya tidak lagi muda.
Hassan yang masih rutin melaut sepekan sekali, meskipun usianya sudah 70 tahun itu merasa siap karena dari dulu sudah menjaga kebugaran badan dan menjjaga niat. Maka ketika sampai di Kota Suci Makkah, tinggal menjalani.
Mina, di hari-hari puncak haji, sebenarnya bukanlah tempat yang ramah untuk mereka yang tidak siap secara fisik. Suhu Mina ketika puncak Armuzna, mencapai 46 derajat Celsius, ditambah udara dan angin kering yang membuat tenda Mina bukan tempat nyaman untuk ditinggali selama mabit, tiga hari tiga malam.
Meskipun demikian, para lansia ini menghidupkan suasana dengan keteguhan. Mereka menyimpan keluhan di balik senyum, dan menyelesaikan rukun demi rukun dengan langkah yang kadang lambat, tapi tidak pernah goyah.
Apa yang membuat mereka tetap kuat? Jawabannya beragam. Dari makanan sagu dan keladi, sepeda pagi, menanam rumput laut, hingga satu prinsip yang selalu sama, yakni jangan menunggu tua untuk berhaji. Kalaupun sudah tua, jangan pernah malas menjaga diri.
Para lansia ini memodali haji mereka dengan kebiasaan hidup sehat, ketekunan bertani atau melaut, dan iman yang terus tumbuh, meski tubuh menua. Lebih dari itu, mereka membawa sebuah pelajaran bahwa haji bukan soal usia, tapi kesiapan.
Orang-orang seperti Zainuddin, Nahali, Harun, dan Hassan bukan sekadar menyelesaikan haji, tapi mereka menuntaskannya dengan kehormatan.