Jeddah, Arab Saudi (ANTARA) - "Maison du Cafe" atau kedai kopi yang dalam bahasa Arab bernama baitul gahwa, terselip di antara deretan outlet parfum arab, toko cokelat dan suvenir di pusat perbelanjaan ternama "Corniche", Al Balad, Jeddah, Arab Saudi, yang selalu menjadi tujuan pelancong maupun jamaah haji dari seluruh dunia berburu oleh-oleh.
Menempati petak yang tidak luas, hanya 4x6 meter persegi, kedai kopi itu ternyata menjadi bagian penting dari sejarah perkopian kota pelabuhan yang saat ini terus bergerak menjadi kota modern dan canggih di Jazirah Arab.
"Maison du Cafe" telah berdiri 41 tahun lalu, dan menurut para pecintanya, ia adalah salah satu dari dua kedai kopi yang memiliki cita rasa paling baik di Kota Jeddah. Satu lagi, adalah kedai kopi bernama Darrul Gahwa (House of Coffee), yang juga berada tak jauh dari "Maison du Cafe" .
Kedai kopi ini relatif sederhana, tanpa dekorasi mencolok. Di dalamnya hanya terdapat beberapa barstool menghadap ke meja bar putih yang memanjang. Di sisi lain, terpajang toples bening bersisi biji kopi yang telah di-roasting dan beberapa mesin kopi espresso bermerek La Cimbali, produsen mesin kopi ternama dari Italia.
Meskipun demikian, kedai kopi ini tetap hidup, karena dijaga oleh barista jempolan asal Indonesia, Masduki Abdurrahman, pria yang telah bekerja untuk kedai itu selama 30 tahun.
Tangan dingin pria asal Madura inilah yang menjaga aroma khas kopi di kedai kopi itu, sehingga sajiannya selalu bercita rasa khas dan mantap. Masduki Abdurrahman tetap setia menyeduh selama puluhan tahun, hingga kini.
Masduki datang ke Jeddah pada 1995, awalnya bukan untuk menjadi barista. Seperti banyak pekerja migran lain, ia datang dengan harapan memperbaiki nasib. “Awalnya ingin ke Malaysia, tapi orang tua kurang setuju. Akhirnya saya berangkat ke Jeddah,” katanya.
Setahun kemudian, sebuah kesempatan datang. Seorang teman mengajaknya bekerja di kedai kopi, yang saat itu membutuhkan tenaga kerja tambahan. Masduki memulai kariernya dari bawah, hingga perlahan dipercaya meracik kopi dan kini menjadi peracik utama di kedai kopi itu.
Pertama di Jeddah
Pada tahun-tahun awal Masduki bekerja, budaya ngopi di Arab Saudi belum sepopuler saat ini. Hanya ada dua kedai kopi yang dikenal luas di Jeddah, kala itu, yakni Darul Gahwa dan Baitul Gahwa. Kini, ada ratusan kedai kopi bertebaran di kota tersebut, namun Baitul Gahwa tetap bertahan dengan pelanggan setianya.
“Sekarang sudah banyak kafe, tapi rasa dan suasana di sini tetap dicari orang,” ujar Masduki.
Racikan khas
Keistimewaan kopi di Baitul Gahwa terletak pada cara penyajiannya yang unik. Racikan kopi dilakukan tanpa takaran pasti, hanya mengandalkan intuisi dan pengalaman. Menu andalan adalah Michiato dan Capucino. Masduki membuat kopi hanya berdasarkan feeling, bukan resep baku.
"Kami racik kopi dengan feeling. Antara kopi dan susu harus pas. Pelanggan bilang, rasa kopi di sini susah dicari di tempat lain,” ujar Masduki.
Meski baristanya berasal dari Indonesia, biji kopi yang digunakan di kedai kopi itu berasal dari Brazil. Brazil Arabica menjadi bahan utama yang dipilih dengan teliti berdasarkan ukuran dan tingkat kematangan biji. Kualitas ini yang membuat rasa kopi di Baitul Gahwa tetap konsisten dan khas.
Dalam satu pekan, kedai ini bisa menghabiskan hingga 50 kilogram kopi. Jumlah itu tergolong besar untuk ukuran kedai kecil, dan menunjukkan tingginya permintaan dari pelanggan.
Pelanggan tiga benua
Daya tarik kedai kopi itu tidak hanya dirasakan oleh warga lokal Jeddah. Banyak pelanggan datang dari kota-kota lain, seperti Riyadh, Thaif, bahkan dari luar negeri. Ada yang dari Amerika, Prancis, Italia. Kadang tiap hari mereka datang selama berada di Jeddah.
Beberapa di antaranya adalah pelanggan lama yang kembali setelah bertahun-tahun. Dulu, meraka minum ke kedai kopi itu, sekarang datang lagi. Mereka mengakui bahwa rasanya masih sama. Itu yang membuat mereka kembali.
Di tengah maraknya persaingan dari kafe-kafe modern, kedai kopi tempat Masduki bekerja masih bertahan dengan kekuatan utama, rasa. Menurut Masduki, menjaga kualitas rasa kopi dan bersikap ramah kepada pelanggan menjadi kunci utama untuk mempertahankan loyalitas.
Bagi dia, pelayanan sangat penting. Kalau karyawan sopan dan ramah, orang pasti kembali lagi. Nilai itu yang selalu dipegang oleh Masduki sampai sekarang.
Hijrah dan harapan
Meski telah menetap puluhan tahun di Jeddah, Masduki sebenarnya masih menyimpan keinginan untuk kembali ke Indonesia dan membuka usaha kopi sendiri. Lelaki itu sudah membayangkan membuka kedai kopi di Madura atau Jakarta. Dia juga sudah mengajak temannya untuk mewujudkan rencana tersebut.
Kini, ia tinggal bersama istri dan anak bungsunya di Jeddah. Istri pertamanya telah wafat, dan salah satu anaknya sudah menikah dan tinggal di Arab Saudi. Keluarga menjadi salah satu alasan kuat mengapa ia tetap bertahan di negeri orang.
Masduki bukan sekadar barista, ia adalah penjaga rasa dan konsistensi di kedai kopi tersebut. Di balik kesederhanaannya, ia memainkan peran penting menjaga warisan cita rasa yang telah dikenal lintas generasi. Ia membuktikan bahwa kualitas bisa bertahan di tengah tren yang terus berubah.
Di kedai kopi itu, pelanggan datang untuk menikmati secangkir kopi dengan cita rasa terbaik, ditambah dengan ketulusan dan kehangatan dari seorang perantau asal Madura.