Jakarta (ANTARA) - Anggota Badan Legislasi DPR RI Habib Syarif Muhammad mengatakan penerapan sanksi pidana dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, perlu ada kejelasan klarifikasi jika benar-benar diterapkan dalam pengelolaan koperasi.
Dia mengatakan penerapan sanksi pidana dalam pengelolaan koperasi merupakan langkah maju. Namun jika sanksi pidana tersebut diterapkan secara kaku, dia khawatir partisipasi anggota dalam kepengurusan koperasi akan menurun.
"Bagi saya perlu klasifikasi jelas baik terkait subjek, besaran kerugian, hingga jenis pelanggaran dalam penerapan sanksi pidana pengelolaan koperasi," kata Syarif dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, pengelolaan koperasi membutuhkan penguatan regulasi hukum, karena banyak kasus pidana dalam pengelolaan koperasi yang merugikan anggota. Biasanya, kata dia, kasus hukum yang menjerat koperasi memiliki skala kerugian yang besar.
Dia menilai penerapan pidana di koperasi seharusnya digunakan secara proporsional dan hanya sebagai jalan terakhir. Menurutnya jangan sampai penerapan sanksi pidana malah menghambat pertumbuhan ekonomi kerakyatan.
“Tapi satu sisi sanksi pidana diperlukan agar tidak dimanfaatkan oknum tertentu karena tak adanya sanksi pidana pada perkoperasian dapat menimbulkan kerugian,” katanya.
Menurut dia, Indonesia bisa mengadopsi penegakan hukum perkoperasian yang diterapkan Filipina dan Malaysia. Di Filipina, kata dia, ada peraturan bahwa pelanggaran hukum di sektor koperasi bisa dihukum penjara 2 hingga 5 tahun, sedangkan terkait pajak koperasi bisa mendapatkan ancaman sanksi 1 tahun penjara.
Lalu undang-undang tentang koperasi di Malaysia, menurut dia, mengatur terkait kebocoran rahasia data. Jika ada pelanggaran kebocoran rahasia data maka dipidana maksimal 6 bulan.
"Karena Malaysia adalah negara tetangga kita yang terdekat, saya setuju dengan penerapan hukum pidana di koperasi Indonesia. Jangan sampai kita kecolongan seperti kasus penipuan dan penggelapan uang nasabah," katanya.
Sebelumnya, Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) mengusulkan sejumlah poin dalam revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian, salah satunya penghapusan sanksi pidana pelaku koperasi.Ketua Presidium Forkopi Andy Arslan Djunaid mengatakan bahwa pihaknya mengusulkan sejumlah poin dalam revisi RUU Perkoperasian agar regulasi yang dihasilkan lebih berpihak kepada gerakan koperasi.
Dia menyampaikan bahwa Forkopi menyoroti pentingnya sanksi pidana yang lebih proporsional dalam UU Perkoperasian yang baru.
"Kami ingin memastikan bahwa sanksi pidana hanya berlaku bagi tindakan yang benar-benar merugikan koperasi, bukan sekadar kesalahan administratif atau operasional," kata Andy dalam Rapat Dengar Pendapat Umum bersama Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) dan Universitas Koperasi Indonesia yang digelar Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sebagaimana keterangan di Jakarta, Rabu.
Dia juga menyampaikan bahwa Forkopi mengajukan sejumlah poin krusial lainnya yang perlu dimasukkan dalam revisi UU Perkoperasian di antaranya terkait definisi Koperasi.
Forkopi mengusulkan definisi koperasi sebagai sekumpulan orang atau badan hukum koperasi yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya melalui usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong-royong.
"Selain itu, koperasi harus diakui sebagai badan hukum yang sah untuk menjalankan usaha bersama," ujar Andy.
Kemudian, poin yang diusulkan adalah memperluas Usaha Simpan Pinjam. Hal sesuai amanat TAP MPR No. 16/1998 dan UU Cipta Kerja No. 6/2023.
Forkopi mengusulkan agar usaha simpan pinjam koperasi diperluas. Termasuk memberikan izin bagi koperasi pelajar dan mahasiswa untuk melayani calon anggota sebagai bagian dari proses pendidikan sebelum dikukuhkan sebagai anggota tetap.
Kemudian poin yang menegaskan Asas Koperasi: Kekeluargaan dan Gotong-Royong. Menurutnya, Forkopi menekankan bahwa koperasi harus tetap berlandaskan asas kekeluargaan dan gotong-royong, bukan sekadar demokrasi ekonomi tanpa batas.
"Hal ini untuk memastikan koperasi tetap mengakar pada budaya ekonomi masyarakat Indonesia," ucapnya.
Kemudian poin selanjutnya yaitu mengusulkan agar ada pendidikan koperasi dari SD hingga perguruan tinggi dan hal itu harus masuk dalam kurikulum pendidikan nasional.
"Selain itu, pemerintah diharapkan membentuk Dewan Nasional Literasi Perkoperasian guna memantau dan mengevaluasi strategi literasi koperasi secara berkelanjutan," bebernya.
Forkopi juga mengusulkan agar ada insentif pajak bagi koperasi. Hal ini penting dilakukan untuk mendukung pertumbuhan koperasi di tengah persaingan ekonomi yang semakin ketat dan ini sebagai bentuk dukungan terhadap pelaku ekonomi berbasis kerakyatan.
Selanjutnya, Forkopi mengusulkan agar masa periode kepengurusan koperasi tidak dibatasi periodesasinya. Sebab, koperasi berbeda dengan jabatan politik, kepengurusan koperasi bergantung pada kepercayaan anggota.
"Forkopi mengusulkan agar tidak ada pembatasan periode kepengurusan, sehingga anggota bebas memilih pengurus yang dianggap mampu menjalankan koperasi dengan baik," usulnya.
Di samping itu, Andy mengusulkan agar hak milik atas tanah bagi koperasi dan tidak hanya terbatas pada koperasi pertanian. Usulan ini didasarkan pada yurisprudensi yang memberikan hak milik tanah kepada organisasi kemasyarakatan dan keagamaan.
Selanjutnya, Forkopi mengusulkan agar digitalisasi Koperasi dengan Sistem Teknologi Informasi Koperasi (STIK). Hal ini dengan perkembangan teknologi dan untuk meningkatkan layanan koperasi secara digital, baik dari aspek kelembagaan maupun usaha.
Berikutnya, Forkopi mengusulkan agar transaksi rahn (pembiayaan dengan jaminan emas) dalam koperasi syariah tidak dikategorikan sebagai gadai, karena sistemnya berbeda dengan gadai konvensional.
Badan Legislasi DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Forum Koperasi Indonesia (Forkopi), Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) dan Universitas Koperasi Indonesia (Ikopin) di Jakarta, Selasa (18/2).
Ketua Baleg DPR Bob Hasan mengatakan RDPU itu untuk menyerap aspirasi dari para ahli dan praktisi koperasi terkait pembahasan regulasi RUU tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Ketua Baleg menekankan pentingnya pemutakhiran RUU Perkoperasian untuk melindungi kepentingan masyarakat dan memastikan koperasi dapat menjadi fondasi ekonomi nasional yang berkelanjutan.
Dia juga menyoroti maraknya kasus koperasi simpan pinjam yang merugikan banyak anggotanya akibat tidak adanya batasan bunga dalam regulasi yang berlaku saat ini.
"Kita ingin RUU Perkoperasian ini segera dimutakhirkan. Koperasi adalah tonggak demokrasi ekonomi yang menjamin keberlanjutan dan perkembangan ekonomi kita," kata Bob Hasan.
Menurutnya, Pemerintah saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, mengedepankan kesejahteraan rakyat dan realisme ekonomi.
"Oleh karena itu, koperasi harus menjadi bagian dari strategi utama," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa koperasi memiliki peran krusial dalam berbagai sektor, termasuk sebagai pemegang hak Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan penerima sah pupuk bersubsidi untuk petani. Namun, tanpa payung hukum yang jelas, koperasi sulit berkembang optimal.
"Kita butuh regulasi yang tidak hanya melindungi, tetapi juga mendorong perkembangan koperasi. Bahkan, perlu ada upaya menciptakan pendidikan koperasi yang lebih kuat agar melahirkan sarjana koperasi yang kompeten," tambahnya.
Baleg DPR berharap pembahasan RUU Perkoperasian bisa dipercepat, bahkan jika memungkinkan, rampung dalam waktu satu bulan. Dengan demikian, koperasi dapat benar-benar menjadi pilar ekonomi berbasis asas kekeluargaan yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Baca juga: RUU Perkoperasian telah sampai pada tahap harmonisasi
Baca juga: RUU Perkoperasian Dipastikan Akomodir Banyak Masukan