Jakarta (ANTARA) - Museum Wayang bersolek. Unsur modern dalam wujud pemanfaatan teknologi terbarukan menjadi wajah baru museum yang berada di kawasan Kota Tua Jakarta itu.
Namun, ini tak berarti menghilangkan elemen-elemen khas bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya tersebut. Hasilnya, hadirlah dua sisi wajah museum yang bisa dinikmati berbarengan.
Salah satu elemen bangunan yakni tangga berbahan kayu jati di bangunan lama museum. Letaknya di sebelah kanan pintu masuk museum, berada di bangunan lama yang bergaya Neo-Rennaissance.
Bangunan itu diperkirakan dibangun pada tahun 1939 dan dulunya digunakan sebagai lahan dua Gedung gereja. Gereja tersebut adalah Gereja Salib (Kruyskerk) dan Gereja Belanda Baru atau Kubah (Koppelkerk).
Desain tangga kayu peninggalan Belanda itu menjadi kekuatan utama bangunan tersebut. Baik bahan material, struktur, ralling (pegangan) maupun pijakan anak tangga menggunakan kayu Jati. Sementara desain ukiran dan penggunaan warna tangga menyiratkan kesan mewah pada masanya.
Semula, tangga tersebut tertutup koleksi wayang museum. Namun kini pengelola memutuskan untuk menonjolkannya sebagai bagian dari ornamen asli gedung yang dapat dinikmati pengunjung. Tangga tersebut menghubungkan bangunan lama dengan bangunan baru museum yang menjadi suguhan baru untuk pengunjung.
Tangga berbahan kayu itu senada dengan koleksi wayang yang juga berbahan kayu di bagian depan. Wayang kayu menjadi salah satu wujud kekayaan budaya nusantara yang memadukan keahlian ukir tangan dengan cerita-cerita epik seperti Mahabarata dan Ramayana.
Koleksi wayang kayu dan ratusan wayang lainnya dipamerkan dalam vitrin (lemari kaca) dengan desain minimalis tanpa ukiran. Pemilih desain seperti itu disengaja demi menonjolkan koleksi wayang yang jumlahnya ratusan itu.
Upaya menjadikan koleksi-koleksi sebagai bintang dalam pameran diperkuat dengan pemilihan warna dinding ruangan dengan nuansa putih dan cokelat muda.
Dinding ini merupakan dinding asli bangunan yang semula ditutupi dinding buatan. Namun, dinding buatan itu akhirnya dibongkar karena didapati kerusakan pada dinding asli.
Melangkah lebih jauh dari area wayang kayu, hamparan taman tersaji, dulunya diketahui sebagai lokasi makam Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon (J.P Coen). Informasi terkait sejarah bangunan hingga makam pun disajikan bagi penggemar ilmu sejarah.

Ratusan koleksi wayang yang dipamerkan baik itu wayang kulit, wayang golek hingga wayang kayu punya cerita dan nilai sejarahnya tersendiri. Tak ada penambahan untuk koleksi yang ditampilkan, namun akan ada rotasi yang idealnya dilakukan setiap tiga bulan.