Pasca era Orde Baru terjadi perubahan signifikan hubungan pemerintah pusat dan daerah menyangkut otonomi daerah. Tekanan politik ditingkat lokal agar secepatnya penyesuaian otonomi daerah diperluas, terlihat pada UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini sendiri telah direvisi sebanyak empat kali dengan nama yang sama, yaitu UU No 32/2004, UU No 23/2014, dan terakhir UU No 9/2015 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum mengalami revisi, di tahun 1999 Indonesia hanya memiliki 26 Provinsi dan 293 Kabupaten/Kota. Tetapi dalam durasi 15 tahun menjadi 34 Provinsi dan 508 Kab/Kota. Dinamika terkini, pemerintah berencana menambah 2 Provinsi lagi untuk Papua ditengah-tengah kebijakan moratorium Daerah Otonomi Baru (DOB). Kondisi ini memunculkan sikap pro dan kontra Provinsi lainnya mendesak pemerintah agar melakukan pencabutan kebijakan DOB.

Sejak kebijakan penghentian sementara DOB diterbitkan pada 22 Januari 2008 di era pemerintahan SBY, kemudian diperpanjang hingga saat ini, berdasarkan data Kemendagri sudah ada usulan 314 DOB, tersebar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sumbawa, Provinsi Kepulauan Buton, memecah Barito Utara dan Barito Selatan, Provinsi Nias, Provinsi Tapanuli, Provinsi Bogor, Sukabumi, Provinsi Cirebon, dan Lampung. Desakan cukup keras untuk mengakhiri moratorium DOB dilontarkan oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang mencermati dari sisi potensi ketidakadilan pembagian secara fiskal, parameternya berdasarkan jumlah penduduk Jawa Barat sekitar 50 juta jiwa dibandingkan Jawa Timur 37 juta penduduk tetapi memiliki 30 Kabupaten/Kota. Sementara Jawa Barat hanya 27 Kabupaten/Kota. Kegelisahan serupa juga disampaikan sejumlah Kepala Daerah disekitar Jakarta, yaitu Bogor, Tanggerang dan Bekasi yang memiliki potensi jumlah penduduk terpadat. Meskipun semua pihak menyadari bahwa kebijakan moratorium tidak ada aturannya dalam  UU Pemerintahan Daerah dan hal itu adalah Hak Asasi daerah untuk melakukan pemekaran.

Disisi lain, bertitik tolak dari perjalanan panjang implementasi UU Pemerintahan daerah, sangat banyak menceritakan dari hulunya persoalan beban fiskal Negara dalam pembiayaan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana AlokasiKhusus (DAK), tidak tercapai kesiapan kapasitas SDM untuk pelanyanan maksimal terhadap masyarakat, jalan ditempat proses transisi dari pengasuhan administrasi induk kecalon daerah pemekaran tidak berjalan sesuai prosedur dan terakhir hilirnya, memunculkan konflik baru terkait batas wilayah administrasi. Bahkan cukup banyak yang tidak dapat mandiri ketika dimekarkan untuk menopang APBDnya sehingga mengantungkan diri logistiknya dari DAU dan DAK pemerintah pusat.

Lantas, harapan apa hendak dicapai dari energi semangat yang dilakukan oleh para politisi dan sejumlah Kepala Daerah ketika berhadapan dengan fakta bahwa implementasi DOB dalam banyak kasus mengalami stagnasi bahkan gagal total. Isu memperpendek rentang kendali pelayanan, keadilan fiskal dan pemerataan sosial menjadi  amunisi para politisi dan kepala daerah ketika memperjuangkan DOB agar mendapat dukungan luas dari basis konstituennya. Meskipun selama ini ditemukan sejumlah masalah bahwa proses pembentukan daerah baru belum mampu menggaransi pertanyaan terkait pelayanan optimal kepentingan publik.

Bentuk-bentuk kerja politisi dan kepala daerah dalam area politik adalah mencari ruang perluasan basis konstituen, hal ini sangatlah normatif. Namun demikian, adanya rambu koridor untuk membatasinya ketika mencermati sejumlah persoalan infrastuktur politik menyangkut DOB yang selama ini muncul kepermukaan yang bermula sudah gagal dipikirkan sampai lahirnya mengalami kegagalan. Bersepakat secara arif dan bijaksana aktor relasi kepentingan dan kuasa kebijakan agar melihat secara jernih dari spektrum kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) mempersiapkan calon daerah pemekaran, kapasitas fiskal kemampuan negara serta kemampuan potensi pertumbuhan ekonomi kedepan calon wilayah administrasi baru. (68/*).

*) Penulis: Peneliti Studi Ekonomi Politik Pembangunan Wilayah.

Pewarta: Oleh: Agung Setia Budi, S.I.P, M.Sos *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019