Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menetapkan target tak main-main di bidang kesehatan untuk mencapai visi Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas.
Salah satunya, penuntasan penyakit tuberkulosis (TB) pada tahun 2030. TB merupakan salah satu tantangan kesehatan terbesar di negara ini, . Data Global Tuberculosis Report 2024 menunjukkan, Indonesia berada di peringkat kedua dunia dengan estimasi 1,09 juta kasus TB dan 125 ribu kematian per tahun.
Laporan setahun sebelumnya juga memperlihatkan negara ini menduduki peringkat kedua penyumbang beban penyakit TB setelah India.
Tak heran, pemerintah memasukkan target penurunan kasus TB 50 persen dalam lima tahun ke depan sebagai bagian dari delapan program hasil terbaik cepat.
Tentu saja, ini bukan kerja pemerintah pusat sendirian, melainkan membutuhkan peran aktif pemerintah daerah, termasuk DKI Jakarta. Walaupun bersiap menuju status kota global, Jakarta masih berjuang menghadapi tuberkulosis dan berupaya mengeliminasi penyakit akibat infeksi Mycobacterium tuberculosis itu.
Data Dinas Kesehatan DKI Jakarta memperlihatkan, hingga 8 Desember 2025, temuan kasus tuberkulosis di ibu kota mencapai 54.305 kasus (77 persen dari target), dengan rincian TB Sensitif Obat (SO) sebanyak 53.343 kasus dan TB Resisten Obat (RO/kebal obat) 962 kasus. Angka tersebut menunjukkan penurunan temuan kasus dibandingkan periode yang sama tahun 2024, yang mencapai 66.072 kasus.
Sebagian besar kasus ditemukan secara pasif atau melalui fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskemas. Dalam hal ini, masyarakat datang ke layanan kesehatan dengan keluhan dan akhirnya terdiagnosis TB setelah menjalani skrining dan pemeriksaan lanjutan seperti pengecekan dahak dan foto rontgen.
Lalu, dari jumlah kasus yang ditemukan sepanjang tahun 2025, sebanyak 49.017 pasien TB (90 persen) sudah menjalani pengobatan, dengan rincian 48.523 orang merupakan pasien TB SO dan sisanya pasien TB RO.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ani Ruspitawati mengakui tak mudah membuat pasien TB mau berobat hingga pulih. Ini lantaran pengobatan TB membutuhkan waktu relatif lama, yakni enam bulan atau lebih tanpa putus obat agar tak menjadi kebal terhadap obat.
Tak hanya pengobatan, menemukan kasus TB juga menjadi tantangan. Hingga kini, masih ada warga Jakarta yang belum terjangkau layanan skrining TB maupun belum melakukan pemeriksaan meskipun memiliki gejala.
Penyebabnya, terkadang, masyarakat cenderung menganggap gejala yang dialami seperti batuk lama (lebih dari dua pekan), terjadi penurunan berat badan, ataupun gejala TB lainnya sebagai gejala sakit biasa. Padahal, itu merupakan tanda yang mengarah ke TB.
Selain itu, stigmatisasi di masyarakat terhadap penyakit ini masih tinggi sehingga dapat menimbulkan keraguan masyarakat untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat.
Hal ini diamini Wakil Gubernur Jakarta Rano Karno. Menurut dia, sebagian masyarakat masih menganggap bahwa membicarakan TB sebagai hal tabu. Mereka juga berpendapat tuberkulosis penyakit berbahaya dan masih ditemukan pasien dengan TB diberhentikan dari pekerjaannya.
Berkaca dari hal tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui penguatan gerakan "Temukan, Obati, Sampai Sembuh (TOSS) TBC" menggencarkan upaya edukasi di ruang publik termasuk area Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBK/CFD) Sudirman-Thamrin, sekolah, dan tempat kerja.
Upaya lainnya yakni menggandeng para kader di wilayah yang kebanyakan kaum ibu untuk ikut menemukan kasus secara aktif sekaligus membantu petugas kesehatan mendampingi pasien menjalani pengobatan.
Peran mereka dinilai penting sebab dapat menjangkau kelompok berisiko yang cenderung jarang atau tidak datang ke layanan kesehatan, sehingga dapat membantu memperluas cakupan deteksi dini dan meningkatkan peluang penemuan kasus TB di masyarakat.
Deteksi dini TB juga diperkuat Pemprov DKI Jakarta melalui kolaborasi lintas sektor termasuk komunitas, warga setempat, perangkat daerah, dan pihak swasta untuk memperluas jangkauan penemuan kasus secara optimal dan mendukung eliminasi TB pada tahun 2030.
Kolaborasi ini diwujudkan melalui pembentukan Kampung Siaga TBC (KST) di seluruh wilayah Jakarta sebagai wadah edukasi, saling dukung, dan pendampingan bagi pasien yang sedang menjalani pengobatan.
Kampung Siaga TBC merupakan salah satu wilayah percontohan untuk pencegahan, penemuan kasus, pendampingan pengobatan, dan edukasi publik terkait TB.
Pembentukan KST juga menegaskan bahwa penanggulangan TB bukan sekadar program kesehatan, tetapi gerakan sosial yang tumbuh dari lingkungan masyarakat itu sendiri.
Hingga Desember 2025, telah terbentuk 563 Kampung Siaga TBC berbasis RW yang tersebar di 267 kelurahan wilayah DKI Jakarta. Jumlah ini menunjukkan ekspansi yang signifikan sejak peluncuran awal program pada 2024, dengan total 274 KST terbentuk pada tahun itu.
Salah satu Kampung Siaga TBC berlokasi di RW 05, Kelurahan Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur. Kader setempat menemukan setidaknya 22 kasus positif TB tahun ini.
Inovasi dan layanan
Inovasi dari masyarakat juga dibuka seluas-luasnya. Masyarakat di Kelurahan Cipete Selatan, Jakarta Selatan, misalnya, menciptakan "Pojok Dahak" sebagai langkah mandiri warga untuk memeriksakan dahak ketika mengalami gejala TB.
Inovasi lainnya, yakni Jakarta Smart Check and Notify (JakScan), yang merupakan hasil kolaborasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta Kementerian Kesehatan, sebagai upaya meningkatkan kesadaran publik terhadap bahaya TB dan pentingnya deteksi dini.
JakScan yang bisa diakses melalui laman https://dinkes.jakarta.go.id/apps/skriningtb/, memungkinkan masyarakat melakukan skrining mandiri untuk mengetahui risiko TB serta memberikan panduan notifikasi untuk pemeriksaan lanjutan di fasilitas kesehatan.
Inovasi ini resmi diperkenalkan kepada masyarakat pada awal November dan telah dimanfaatkan oleh 23.881 orang untuk melakukan skrining mandiri risiko TB.
Capaian tersebut dinilai menunjukkan minat masyarakat yang cukup tinggi terhadap layanan deteksi dini berbasis digital untuk memperluas jangkauan deteksi dini dan mendukung upaya percepatan penemuan kasus TB di DKI Jakarta.
Di sisi lain, penguatan layanan kesehatan juga menjadi bagian penanggulangan TB yang tak bisa disepelekan. Pemprov DKI Jakarta sudah memiliki jejaring dengan 118 rumah sakit di seluruh Jakarta untuk mendeteksi dini tuberkulosis.
Lalu, hampir semua rumah sakit di DKI Jakarta melayani pengobatan TB, dengan 18 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Jakarta yang sudah bisa menangani kasus tuberkulosis resisten obat.
Ke-18 RSUD ini yakni RSUD Cilincing, RSUD Tarakan, RSUD Kemayoran, RSUD Cempaka Putih, RSUD Tugu Koja, RSUD Cengkareng, RSUD Koja, RSUD Kalideres, RSUD Taman Sari, RSUD Kembangan, RSUD Pasar Minggu, RSUD Mampang Prapatan, RSUD Jagakarsa, RSUD Pesanggrahan, RSUD Pasar Rebo, RSUD Budhi Asih, RSUD Matraman, dan RSUD Kramat Jati.
Selain itu, 15 puskesmas di Jakarta juga sudah melayani pengobatan TB RO, yakni Puskesmas Johar Baru, Puskesmas Kemayoran, Puskesmas Menteng, Puskesmas Sawah Besar, Puskesmas Tanah Abang, Puskesmas Kelapa Gading, Puskesmas Grogol Petamburan, Puskesmas Jagakarsa, Puskesmas Kebayoran Baru, Puskesmas Kebayoran Lama, Puskesmas Pesanggrahan, Puskesmas Jatinegara, Puskesmas Senen, Puskesmas Pancoran, dan Puskesmas Tebet.
Jakarta bukan satu-satunya provinsi di Indonesia yang masih berjuang menuntaskan tuberkulosis. Namun, dengan capaian angka temuan kasus baik secara pasif maupun akif, dan jumlah pasien yang berobat menunjukkan ada harapan target eliminasi TB pada tahun 2030 bisa tercapai sesuai target.
Editor : Naryo
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025