Bogor (Antaranews Megapolitan) - Elfa (20), gadis berambut lurus ini mengaku sulit untuk melepas kecanduannya atas rokok yang sudah dikenalnya sejak duduk di bangku SMP.

Walau sulit, gadis manis yang bekerja sebagai tenaga terapis di salah satu spa kesehatan di Kota Bogor ini sudah berupaya untuk menguranginya. Biasanya ia mampu menghabiskan tiga bungkus rokok dalam sehari, kini satu bungkus.

Ada yang kurang ketika mulutnya tidak menghisap rokok dalam sehari, seperti rasa pahit di tenggerokan, sehingga lebih enak untuk merokok, alasannya.

Elsa bukan berasal dari keluarga kaya, ibu dan bapaknya bekerja sebagai buruh tani. Ia pun hanya tamatan SMA. Kini dia bekerja untuk menghidupi dirinya dan membiayai sekolah adiknya.

"Bapak juga sudah menegur, minta saya berhenti merokok. Sudah dicoba, tapi sulit," katanya dengan nada malu.


Target

Linda Sundari dari Yayasan Lentera Anak menemukan fakta di lapangan bahwa industri rokok menjadikan anak dan remaja Indonesia sebagai target utamanya.

Ia mengatakan remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok karena mayoritas perokok memulai merokok ketika remaja. Fakta ini bersumber dari laporan penelitian Myron E. Johnson ke Wakil Presiden Riset dan Pengembangan Philip Morris.

Menurutnya, remaja adalah jaminan keberlangsungan bisnis industri rokok di Indonesia. Bahkan jika para remaja tidak merokok maka industri rokok akan bangkrut karena perokok remaja menjadi faktor penting dalam perkembangan setiap industri rokok dalam 50 tahun terakhir.

"Anak muda di mata industri rokok penjamin keberhasilan bisnis, investasi jangka panjang dan loyalis," katanya.

Berdasarkan data kerangka kerja pengendalian tembakau (FCTC) Indonesia, 75,7 persen perokok mulai merokok sebelum usia 19 tahun.

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena berdasarkan data Riset Kesehatan Daerah (Riskesdas) pada 2013, dalam kurun waktu 10 sampai 15 tahun, mereka berisiko mengidap penyakit kronis karena rokok. Saat itu mereka masuk usia produktif.

Yayasan Lentera Anak mengungkapkan data pertumbuhan perokok pemula di Indonesia dari tahun 1995 sampai 2013. Persentasi perokok pemula (15-19 tahun) pada tahun 1995 sebesar 54,6 persen, lalu meningkat pada tahun 2001 menjadi 58,9 persen.

Terjadi kenaikan signifikan pada 2004 yakni mencapai 63,7 persen. Dan mulai tahun 2007 terjadi penurunan persentase yakni 50,7 persen, turun dratis pada tahun 2010 yakni sebesar 43,3 persen. Tapi angka ini kembali naik menjadi 56,9 persen pada tahun 2013.

"Perokok remaja muda kurang dari usia kurang 19 tahun yakni 16,4 juta orang jumlahnya," kata Linda.


Berbagai Cara

Linda mengatakan berbagai cara dilakukan oleh industri rokok untuk menjerat anak dan remaja sebagai targetnya. Industri rokok berupaya menciptakan kesan bahwa rokok baik dan normal melalui iklan, promosi, dan sponsor.

Ini bisa dilihat di tayangan iklan-iklan televisi yang menampilkan ketampanan, kemacoan dari sosok seorang pria mapan, kebersamaan, setia kawan, keindahan alam, sehingga banyak iklan rokok yang tidak nyambung dengan produk rokoknya. Tidak menampilkan perokoknya.

Strategi industri rokok untuk memasarkan produknya, di mana ada anak muda, di situ ada iklan rokok. Ini terbukti dari hasil monitoring yang dilakukan Yayasan Lentera Anak pada tahun 2016.

Iklan-iklan rokok ini berada dekat di lingkunagn anak dan remaja, seperti dekat lingkungan sekolah, tempat fasilitas umum, menampilkan iklan yang memperlihatkan fugur anak muda, memperkenalkan merek rokok sedini mungkin, dan menampilkan harga rokok agar lebih terjangkau oleh kantong remaja.

"Sebanyak 85 persen sekolah dikelilingi iklan rokok, 30 merek rokok beriklan di sekitar sekolah," kata Linda memaparkan hasil surveinya.

Untuk menggaet anak dan remaja menjadi targetnya, industri rokok memilik strategi jitu, seperti `colourfull branding" dengan spanduk, poster dan cat warung, menjuat rokok perbatangan dengan harga terjangkau, serta menjajakannya dekat dengan jajanan anak seperti permen dan minuman.

Industri rokok masuk di segala segmen yang disukai anak dan remaja, seperti musik. Musik diyakini sebagai bahasa, sumber, ide, dan tren anak muda. Ini terbukti dari hasil penelitian Gaya Hidup Anak Muda, Philip Morris di Hongkong tahun 1989.

Musik memiliki pesona universal dan berpengaruh kuat untuk membidik target pasar remaja. Melalui musik, industri rokok menggelar berbagai pertunjukan musik yang menampilkan artis-artis top ibu kota.

Tidak hanya musik, industri rokok juga masuk dalam bidang olahraga. Dokumen Philip Morris Internasional di Asia mengungkapkan olahraga adalah cara terbaik menarik perhatian, memberikan contoh, dan memengaruhi target pasar.

Strategi berikutnya adalah melalui film. RJ Reynold Tobacco tahun 1972 mengatakan film lebih baik dari bentuk promosi lainnya karena penonton sama sekali tidak menyadari adanyan sponsor dari rokok.

Menurut Linda, supaya terlihat normal, rokok bermetamorfosa menjadi bagian kehidupan anak muda, yakni menjadi gaya hidup, musik, budaya, seminar, lingkungan hidup, kegiatan agama, bantuan sosial, olahraga, film, kompetisi, beasiswa, penampilan keren, gaul, macho, dan setia kawan.

Linda menambahkan rokok saat ini mudah diakses, harganya murah, dan produksinya melimpah. Berdasarkan peta jalan produksi industri hasil tembakau (IHT) tahun 2015-2020 Kementerian Perindustrian, bahwa tahun 2020 jumlah produksi sebanyak 524 miliar batang.


Promosi

Dari hasil monitoring yang dilakukan Yayasan Lentara Anak bersama Forum Anak di 10 kota dan kabupaten di Indonesia untuk mengetahui harga rokok yang dipromosikan industri rokok melalui iklan luar ruang.

Fakta di lapangan menunjukkan 80,2 persen industri rokok mempromosikan harga rokok dengan mencantumkan harga rokok melalui iklan luar ruang, baik harga per bungkus maupun per batang.

"Rokok murah, rayu para pemula, dengan informasi harga ini, remaja dapat mengukur isi kantongnya," katanya.

Sebagian besar industri rokok (79,2 persen) mempromosikan harga rokok antara Rp600 sampai Rp1.000 per batang. Bahkan, ada rokok yang kurang dari Rp600 per bantang (tiga persen).

Jika ditelisik rokok murah versus uang jajan siswa. Rokok murah membuat keterjangkauan anak terhadap rokok makin mudah, sehingga terus mendorong meningkatkan konsumsi rokok di kalangan anak-anak.

Hasil survei Yayasan Lentera Anak, rata-rata uang jajan anak Rp10 ribu per hari untuk siswa SD, Rp13 ribu untuk siswa SMP, dan Rp27 ribu untuk siswa SMA.

Linda mengatakan anak-anak terperangkap adiksi nikotin dan menjadi penyumbang kekayaan untuk pemilik perusahaan rokok. Dan yang akan dirugikan serta menangggung dampaknya adalah negara.

Untuk mencegah hal itu, lanjutnya, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam melindungi anak-anak Indonesia dari target industri rokok yakni rokok harus mahal.

"Naikkan harga rokok setinggi-tingginya melalui kebijakan cukai agar tidak dapat terjangkau oleh anak-anak," katanya.

Langkah berikutnya, melarang penjualan rokok per batang dan melarang kemasan rokok kurang dari 20 batang. Melarang iklan, promosi, dan sponsor rokok untuk melindungi anak-anak menjadi target pasar industri rokok.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018