Dalam beberapa waktu terakhir, istilah "swasembada pangan" kembali ramai dibincangkan. Mulai dari Kepala Negara hingga Kepala Desa, tampak hangat membahasnya.
Apakah jika tidak dijadikan program prioritas Presiden Prabowo beserta Kabinet Merah Putihnya, masyarakat akan membahas swasembada pangan seintensif sekarang?
Padahal sebenarnya swasembada pangan bukanlah hal baru dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Swasembada pangan ibarat lagu lawas yang diputar ulang.
Ada yang suka dan ada yang tidak. Hal ini lumrah terjadi, karena beda generasi pasti beda selera. Generasi yang lahir di era 60-70-an tentu sangat berbeda dengan generasi milenial dan Z.
Sejak 20 tahun lalu, istilah swasembada pangan sudah jarang dibincangkan. Saat itu, orang-orang lebih senang bicara soal ketahanan pangan.
Swasembada pangan dinilai sudah selesai, dan di awal era reformasi, kita dihangatkan dengan kebijakan dan program pencapaian ketahanan pangan dan kemandirian pangan.
Dalam 10 tahun terakhir, isu pembangunan pangan di negeri ini mulai bergeser ke soal kedaulatan pangan. Sayangnya, baik ketahanan pangan maupun kedaulatan pangan hingga kini masih belum dapat dibuktikan, mengingat syarat utamanya belum terpenuhi. Apa sebenarnya syarat utama tersebut?
Jujur kita akui, ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan akan dapat diwujudkan jika kita sudah mampu menggapai swasembada pangan.
Tanpa swasembada pangan, tidak akan ada ketahanan pangan atau kedaulatan pangan. Itu sebabnya, sudah cukup tepat jika Presiden Prabowo kembali mengangkat isu swasembada pangan.
Sejak Indonesia merdeka lebih dari 79 tahun lalu, belum pernah sekalipun bangsa ini meraih swasembada pangan.
Yang baru bisa kita capai adalah swasembada beras, itu pun sifatnya sementara. Artinya, kadang swasembada, kadang tidak, tergantung situasi dan kondisi. Padahal yang mesti kita kejar adalah swasembada beras berkelanjutan.
Swasembada pangan berbeda dengan swasembada beras. Swasembada pangan secara matematis adalah penjumlahan dari swasembada berbagai jenis bahan pangan yang strategis bagi kehidupan.
Sebut saja beras, jagung, kedelai, daging sapi, gula pasir, bawang putih, dan lain sebagainya. Jenis-jenis bahan pangan tersebut masih kita impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Memaknai swasembada pangan seperti itu, sangat tidak realistis bila dalam tiga tahun ke depan kita ingin mencapainya.
Jangankan swasembada pangan, meraih kembali swasembada beras pun kini dihadapkan pada beragam tantangan yang cukup berat, terlebih jika ingin mewujudkan swasembada berkelanjutan.
Belum lagi swasembada kedelai, swasembada daging sapi, dan swasembada bawang putih, yang tanamannya hanya tumbuh baik di negara-negara sub-tropis.
Atas gambaran seperti ini, tentu akan lebih realistis jika tujuan utama diarahkan pada swasembada beras. Jadi, kalimatnya menjadi; “Pencapaian Swasembada Pangan, Utamanya Beras."
Kesimpulannya, swasembada pangan merupakan kemampuan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan pangan pokoknya secara mandiri tanpa bergantung pada impor.
Fokus utamanya adalah pada peningkatan produksi dalam negeri, terutama untuk komoditas strategis seperti beras, jagung, dan kedelai.
Dalam konsep ini, keberhasilan diukur dari sejauh mana negara mampu menyediakan pangan bagi penduduknya secara cukup dan berkelanjutan, sehingga ketahanan pangan nasional dapat terjaga tanpa intervensi dari pasar internasional.
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.
Editor : Budi Setiawanto
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025