Bogor (Antara Megapolitan) - Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ietje Wientarsih mengatakan peran apoteker untuk obat hewan tidak kalah penting dari apoteker untuk obat manusia, yaitu untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan obat pada ternak yang dapat berakibat buruk pada manusia.
Ia mencontohkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat, sehingga menyebabkan resistensi dan residu obat pada hasil ternak.
Guru Besar kelahiran Bandung 1953 ini menjelaskan bahwa farmasi veteriner merupakan irisan antara disiplin ilmu farmasi dan ilmu kedokteran hewan.
Ilmu farmasi mencakup pengetahuan tentang identifikasi, pemilahan, aksi farmakologis, penggabungan obat, analisis, pembakuan dan peracikan bahan obat (drugs), serta sediaan obat (medicine).
Farmasi secara garis besar dibagi menjadi dua bidang ilmu, yaitu farmasi industri dan farmasi klinik. Begitu pula dengan farmasi veteriner.
Dikatakannya, apoteker memiliki peranan penting di Rumah Sakit Hewan (RSH), baik sebagai individu maupun sebagai anggota tim Panitia Farmasi dan Terapi.
Proses manajemen obat di RSH dimungkinkan memiliki proses yang berbeda, contohnya dalam proses seleksi obat.
Apoteker dapat memberikan informasi kepada pemilik hewan dalam kegiatan Upaya Pengobatan Diri Sendiri (UPDS), contohnya pemilihan analgesik-antipiretik pada kucing. Kucing tidak memiliki enzim glukoronil transferase yang berperan dalam metabolisme parasetamol.
Hal ini menyebabkan kucing tidak dapat melaksanakan metabolisme parasetamol dengan baik dan mengakibatkan keracunan bahkan kematian. Penggunaan ivermectin pada anjing ras Collie harus dihindari, mengingat anjing tersebut sangat sensitif sehingga dapat menyebabkan anafilaktik shock.
''Masalahnya di sini belum banyak obat hewan, kebanyakan yang masih digunakan adalah obat-obat manusia, tapi dosisnya tentu saja berbeda tidak sama dengan manusia. Jadi lebih sulitnya di sini, bahwa semua obat itu tidak bisa diberikan kepada semua hewan. Sedangkan pada manusia bisa diberikan, yang harus kita pikirkan hanya perbedaan umur, tua, muda, dan anak. Tidak ada perbedaan pada jenis kelamin. Sementara untuk hewan, banyak yang membedakan, seperti ras ada kucing atau anjing, itu berbeda obatnya,'' ujarnya.
Ia mengatakan tugas farmasi di sini adalah memberikan pengetahuan pada mahasiswa mengenai obat-obatan.
''Kenapa diajarkan, karena kalau dokter hewan ini nanti lulus dan ditempatkan di daerah terpencil yang jauh dari apotek, mereka bisa meracik sendiri. Untuk dokter hewan boleh meracik sendiri obat hewan, tapi untuk dokter manusia tidak boleh,'' ujarnya. (IR/NM).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Ia mencontohkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat, sehingga menyebabkan resistensi dan residu obat pada hasil ternak.
Guru Besar kelahiran Bandung 1953 ini menjelaskan bahwa farmasi veteriner merupakan irisan antara disiplin ilmu farmasi dan ilmu kedokteran hewan.
Ilmu farmasi mencakup pengetahuan tentang identifikasi, pemilahan, aksi farmakologis, penggabungan obat, analisis, pembakuan dan peracikan bahan obat (drugs), serta sediaan obat (medicine).
Farmasi secara garis besar dibagi menjadi dua bidang ilmu, yaitu farmasi industri dan farmasi klinik. Begitu pula dengan farmasi veteriner.
Dikatakannya, apoteker memiliki peranan penting di Rumah Sakit Hewan (RSH), baik sebagai individu maupun sebagai anggota tim Panitia Farmasi dan Terapi.
Proses manajemen obat di RSH dimungkinkan memiliki proses yang berbeda, contohnya dalam proses seleksi obat.
Apoteker dapat memberikan informasi kepada pemilik hewan dalam kegiatan Upaya Pengobatan Diri Sendiri (UPDS), contohnya pemilihan analgesik-antipiretik pada kucing. Kucing tidak memiliki enzim glukoronil transferase yang berperan dalam metabolisme parasetamol.
Hal ini menyebabkan kucing tidak dapat melaksanakan metabolisme parasetamol dengan baik dan mengakibatkan keracunan bahkan kematian. Penggunaan ivermectin pada anjing ras Collie harus dihindari, mengingat anjing tersebut sangat sensitif sehingga dapat menyebabkan anafilaktik shock.
''Masalahnya di sini belum banyak obat hewan, kebanyakan yang masih digunakan adalah obat-obat manusia, tapi dosisnya tentu saja berbeda tidak sama dengan manusia. Jadi lebih sulitnya di sini, bahwa semua obat itu tidak bisa diberikan kepada semua hewan. Sedangkan pada manusia bisa diberikan, yang harus kita pikirkan hanya perbedaan umur, tua, muda, dan anak. Tidak ada perbedaan pada jenis kelamin. Sementara untuk hewan, banyak yang membedakan, seperti ras ada kucing atau anjing, itu berbeda obatnya,'' ujarnya.
Ia mengatakan tugas farmasi di sini adalah memberikan pengetahuan pada mahasiswa mengenai obat-obatan.
''Kenapa diajarkan, karena kalau dokter hewan ini nanti lulus dan ditempatkan di daerah terpencil yang jauh dari apotek, mereka bisa meracik sendiri. Untuk dokter hewan boleh meracik sendiri obat hewan, tapi untuk dokter manusia tidak boleh,'' ujarnya. (IR/NM).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017