Komisi II DPR RI menekankan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) agar bisa menghentikan praktik alih fungsi lahan pertanian.

Anggota Komisi II DPR RI Ateng Sutisna dalam keterangannya, Jumat, mengungkapkan hal itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Kementerian ATR/BPN di Gedung DPR RI, Jakarta, pada Rabu (30/10).

Rata-rata konversi lahan sawah menjadi non-sawah di Indonesia mencapai 100.000 hektare per tahun, dengan Pulau Jawa sebagai menyumbang terbesar.

Provinsi dengan konversi terbesar adalah Jawa Timur, yang mengalami konversi lahan sawah sebesar 288.290 hektare selama periode yang sama. Sebagian besar lahan yang terkonversi digunakan untuk pemukiman 52,22 persen, diikuti oleh industri 26,44 persen dan penggunaan lainnya seperti perkantoran dan fasilitas umum.

Ateng menyebutkan, dalam satu dekade terakhir, konversi lahan pertanian irigasi teknis di Pulau Jawa telah menjadi tantangan serius yang mengancam keberlanjutan ketahanan pangan nasional. 

"Data menunjukkan bahwa laju alih fungsi lahan pertanian irigasi teknis menjadi peruntukan lainnya terus meningkat, dengan rata-rata mencapai puluhan ribu hektar setiap tahunnya," ujar Ateng.

Menurut dia, kondisi ini memerlukan perhatian khusus dari semua pihak, mengingat peran strategis Pulau Jawa sebagai salah satu wilayah produksi pangan utama Indonesia.

"Untuk itu, Kami mengharapkan Pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN melakukan review terhadap RTRW setiap kabupaten/kota agar mendukung Kementerian Pertanian yang telah menginisiasi program Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang bertujuan untuk mengendalikan alih fungsi lahan pertanian dan mempertahankan lahan pertanian produktif yang tersisa," tuturnya.

Ia mengatakan, melalui sinergi, inovasi, dan komitmen bersama, Komisi II DPR RI optimistis bahwa tantangan ini dapat dihadapi demi menjaga ketahanan pangan Indonesia untuk generasi sekarang dan mendatang.

PTSL

Ateng menyebutkan, Komisi II DPR RI juga meminta kepada Kementerian ATR/BPN membebaskan masyarakat dari segala pembiayaan selama menempuh proses Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Biaya yang dibebankan kepada masyarakat ini diatur dalam Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa) No. 25 Tahun 2017. Keputusan ini menetapkan bahwa ada biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk kegiatan persiapan pendaftaran tanah.

Meskipun ada ketentuan resmi mengenai biaya ini, praktik pungutan liar (pungli) masih terjadi di lapangan. Ateng mengatakan, beberapa daerah melaporkan adanya biaya tambahan yang diminta oleh oknum tertentu yang dapat mencapai antara Rp500.000 hingga Rp1.800.000 dengan alasan untuk pengurusan cepat atau biaya tambahan lainnya yang tidak diatur secara resmi.

Biaya yang dibayarkan oleh masyarakat digunakan untuk berbagai kegiatan seperti penyiapan dokumen, pengadaan patok-patok batas dan materai, serta operasional petugas kelurahan/desa dalam proses pendaftaran tanah.

"Tantangan terkait praktik pungli dan variasi biaya di lapangan masih menjadi perhatian yang perlu ditangani untuk memastikan transparansi dan keadilan dalam proses pendaftaran tanah ini," ungkap Ateng.

Ia berharap, Kementerian ATR/BPN melakukan upaya-upaya agar tantangan terkait praktik pungli dan variasi biaya di lapangan dapat dieliminasi sebesar mungkin. 

"Bahkan jika diperlukan dapat meminta anggaran kepada Pemerintah yang lebih besar agar praktek pungli dan variasi biaya di lapangan tidak dibebankan kepada masyarakat kecil. Dengan dukungan dan sinergi semua pihak, Kami optimis bahwa redistribusi lahan ini mampu memberikan manfaat nyata dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat luas," tuturnya.(KR-MFS)

Pewarta: ANTARA

Editor : M Fikri Setiawan


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024