Pada akhir Januari 2017 publik dihebohkan dengan beredarnya chat mesum yang mengandung unsur pornografi yang diduga kuat melibatkan Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan Firza Husein (FH). Guna mengantisipasi dampak sosial yang dapat meresahkan masyarakat, Polda Metro Jaya melalui timcyber patrol kemudian segera melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti terkait hingga akhirnya dilanjutkan pada tahap penyidikan.

Kini, Polda Metro Jaya telah menetapkan FH dan HRS sebagai tersangka berdasarkan keterangan para saksi serta bukti-bukti kuat yang telah diperoleh dimana dinyatakan memenuhi unsur pidana. Keduanya dijerat Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 dan atau Pasal 6 juncto Pasal 32 dan atau Pasal 8 juncto Pasal 34 Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.

Penetapan status tersangka atas FH maupun HRS sendiri tidak sekonyong-konyong terjadi. Tahapan sebagaimana ketentuan hukum telah dilalui secara profesional oleh penegak hukum. Penyidik menetapkan status FH sebagai tersangka setelah melalui pemeriksaan selama 12 jam pada tanggal 16 Mei 2017, serta gelar perkara yang diperkuat dengan keterangan saksi ahli terhadap bukti chat mesum yang beredar di masyarakat.

Meski telah ditetapkan status sebagai tersangka, penyidik juga tidak melakukan penahanan karena pertimbangan kemanusiaan mengingat kondisi kesehatan FH yang memburuk pada saat itu. Sementara itu, status HRS sendiri masih sebagai saksi yang diperlukan keterangannya oleh penyidik. Sayangnya, HRS sebagai saksi tidak menunjukan sikap kooperatif ketika dipanggil penyidik hingga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Mei 2017. HRS memilih untuk mangkir selama dua kali panggilan dengan berbagai dalih dan kini berdiam diri di Arab Saudi.
    
Penolakan HRS terhadap pemanggilan yang dilakukan oleh penyidik jelas bentuk ketidakpatuhan terhadap sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagai warga negara yang baik, HRS harus tunduk dan patuh pada segala peraturan yang berlaku. Pada saat HRS dipanggil sebagai saksi, momentum itu seharusnya dapat dimanfaatkan untuk memberikan keterangan untuk mengklarifikasi tundingan yang berkembang tentang keterlibatannya dalam kasus chat mesum. Begitupula dengan penetapan HRS sebagai tersangka dimana mekanisme hukum memberikan jaminan konstitusional untuk mengajukan praperadilan sebagaimana dinyatakan dalam putusan MK No: 21/PUU-XII/2014 bahwa penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan merupakan objek dari prapreadilan.  
Namun sungguh disayangkan, HRS justru melawan dengan menolak panggilan penyidik dan melancarkan propaganda menyesatkan tentang "kriminalisasi ulama" dan adanya "pesanan penguasa" atas kasus yang menimpanya. Propaganda itu tidak hanya mendiskreditkan pemerintah saja, tetapi juga bentuk civil disobedience terhadap hukum di Indonesia dan menunjukan kualitas pemahaman kewarganegaraan dari HRS.

Kasus Pidana
    
Tudingan yang dilancarkan kelompok pendukung HRS tentang kriminalisasi ulama jelas tidak memiliki dasar dan argumentasi yang kuat. Para pendukung HRS telah secara salah kaprah menggunakan istilah kriminalisasi sebagai sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena hanya karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan. Hal ini berbeda dengan konsep kriminalisasi dalam studi hukum sebagaimana Peter Hoefnagels nyatakan bahwa kriminalisasi adalah suatu perbuatan atau suatu hal menjadi suatu tindakan yang sebelumnya bukan merupakan suatu perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan yang dapat dipidana.

Apa yang diduga dilakukan oleh HRS dalam kasus chat mesum dengan memuat materi pornografi jelas telah ada UU yang mengaturnya sebagai suatu tindakan yang dikategorisasikan sebagai perbuatan pidana yang melanggar hukum. Karena itu, jika dalam ranah hukum maka kriminalisasi terhadap HRS merupakan penegakan hukum melalui criminal law application yang tidak bisa dikaitkan dengan status sosialnya, tetapi tindakannya sebagai pribadi yang masuk dalam ranah hukum pidana yang diatur dalam undang-undang, dalam hal ini UU Pornografi.
    
Sebagai negara hukum yang menganut azas pemisahan kekuasaan atau Trias Politica, jelas sudah bahwa kekuasaan pemerintahan tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri urusan penegakan hukum, baik sejak penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan.  Kasus yang menjerat HRS merupakan pidana murni yang berada dalam ranah criminal justice system dimana pemerintah tidak bisa mengintervensi dengan dalih apapun. Sinyalemen  yang mengatakan bahwa kasus HRS sengaja dimunculkan karena terkait dengan sepak terjang politik HRS yang kerap berseberangan dengan pemerintah, merupakan pernyataan yang perlu dibuktikan secara empiris apa relevansinya antara kasus tersebut dengan kepentingan pemerintah?.  
    
Tanpa argumentasi yang bisa dibuktikan para penudingnya, maka pernyataan kriminalisasi ulama itu tidak lebih sekedar propaganda politik untuk mengalihkan isu dari fakta-fakta dan kesaksian yang ditemukan oleh penegak hukum terhadap kasus chat mesum antara HRS dan FH. Tampaknya, para pendukung HRS hendak mengembangkan opini yang membenturkan antara pemerintah dan ulama yang selama ini telah menjalin hubungan yang intens dan saling mendukung dalam mengawal pemerintahan membangun NKRI. Seolah-olah, HRS adalah simbolisasi dari eksistensi para ulama, dan HRS merupakan figur yang "can do no wrong" sehingga tidak mungkin melakukan kekhilafan, bahkan pelanggaran hukum yang berlaku. Baik HRS maupun pendukungnya telah memanipulasi publik dengan skenario "playing victim" guna menutupi fakta-fakta yang telah terekspose ke publik dan kini berlanjut ke ranah hukum.
    
Perlu dicatat, para aparat penegak hukum tentunya tidak akan sembarangan menetapkan status HRS tanpa didukung oleh bukti-bukti yang kuat karena kredibilitas dan profesionalismenya akan diuji dalam peradilan nanti. Jika benar tudingan kriminalisasi sebagaimana dimaksud oleh pendukung HRS, maka itupun akan berhadapan dengan kekuasaan kehakiman yang independen untuk menilai seluruh kredibilitas daripada bukti dan kesaksian yang diperoleh penyidik dan penuntut umum dalam mengkonstruksi kasus HRS.  Bahkan, HRS sendiri bisa menguji keabsahan penetapan statusnya sebagai tersangka dalam gugatan praperadilan berdasarkan prosedur dan bukti yang diajukan oleh penyidik. Karena itu, tudingan kriminalisasi ulama selain tidak berdasar juga menandakan bahwa HRS tidak menghormati sistem peradilan yang berlaku di Indonesia.

Hadapi Secara "Gentlemen"
    
Pepatah klasik mengatakan "fiat justitia ruat caelum", tegakan hukum meski langit runtuh. Pepatah ini menunjukan bahwa penegakan hukum bukanlah tindakan yang tanpa risiko dan tantangan. Mereka yang terjerat kasus hukum akan selalu melakukan segala upaya perlawanan dengan menggunakan segala sumber daya, termasuk potensi diluar mekanisme hukum seperti mobilisasi massa dan propaganda politik untuk membela diri. Namun, sebagai negara berdasarkan hukum, tidak boleh tunduk terhadap berbagai tekanan yang dapat mengganggu jalannya penegakan hukum secara adil dan transparan.  Karena itu, penegak hukum tidak perlu ragu-ragu untuk memastikan bahwa kasus HRS ini akan berlanjut hingga pengadilan dan biarkan semua diuji dan diputuskan di pengadilan.
    
Langkah Kepolisian dengan menerbitkan blue notice untuk melacak keberadaan HRS secara pasti merupakan tindakan yang tepat. Langkah itu harus ditindaklanjuti dengan upaya menjalin komunikasi dan kerja sama dengan Kepolisian dan Kementerian Luar Negeri di negara yang menjadi tempat HRS menetap, sehingga dapat dilakukan langkah deportasi kembali ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan kasus hukumnya. Selain itu, Kepolisian dapat mengembangkan penyelidikan dengan mengusut pihak-pihak yang membantu HRS menghindari proses hukum di Indonesia.
    
Keberadaan HRS di Arab Saudi sangat terbuka kemungkinan mendapat sokongan dari pihak tertentu. Apapun motif dukungan itu, faktanya adalah HRS telah menghindari proses hukum di Indonesia dan menunjukan itikad yang tidak baik ketika menghembuskan isu "kriminalisasi ulama".  Pihak Kepolisian harus bisa memutus semua jalur dukungan terhadap HRS dan membawa kembali ke Indonesia. Efektifitas langkah tersebut tentu tidak hanya menyangkut kinerja dari penegak hukum semata, tetapi perlu dukungan berbagai pihak. Hal ini menjadi penting ketika HRS ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik, sejumlah tokoh politik yang bertemu HRS di Arab Saudi justru telah menimbulkan spekulasi tentang dukungan mereka terhadap HRS yang kini berstatus sebagai tersangka.  
    

Secara hukum memang tidak ada persoalan terkait dengan bertemunya tokoh seperti Amien Rais dengan HRS, maupun sejumlah tokoh PKS seperti Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al Jufri, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, dan Sekretaris Fraksi PKS Sukamta di Arab Saudi ketika melaksanakan Umroh. Meski para tokoh tersebut memberikan klarifikasi bahwa pertemuan itu hanya sekedar silaturahmi, namun hal ini tentu akan menjadi sangat tidak etis ketika penegak hukum di Indonesia telah menetapkan HRS sebagai tersangka, justru para tokoh politik yang terhormat itu memperlihatkan suasana yang sangat mungkin dapat menimbulkan persepsi di masyrakat luas sebagai bentuk dukungan politik bagi pembangkangan yang dilakukan oleh HRS terhadap penegakan hukum di Indonesia.  Para tokoh itu seharusnya dapat mendorong agar HRS menghadapi proses hukumnya di Indonesia dan menggunakan segala sarana legal yang ada untuk melakukan pembelaan diri.
    
Sebagai warga negara, HRS memiliki kewajiban untuk tunduk dan patuh pada hukum. Hak-hak konstitusionalnya telah dijamin untuk dapat digunakan sebagai sarana membela diri jika pihaknya merasa mengalami proses kriminalisasi dalam artian terjerat hukum karena interpretasi yang dipaksakan oleh penegak hukum. HRS tidak perlu untuk bersembunyi di negara lain dan menjadi memanipulasi atribut sosial ulama sebagai bumper untuk mengelak dari perkara hukumnya. Sikap gentlemen seharusnya dapat ditunjukan sebagai seorang pemimpin ormas sekaligus yang menyatakan diri sebagai ulama yang memimpin umat.
    
Begitupula dengan pendukung HRS, proses hukum itu harus dihadapi dengan menggunakan langkah hukum. Upaya untuk menyeret kasus hukum ini dengan menghembuskan isu-isu ke masyarakat justru akan semakin menjatuhkan kredibilitas HRS yang kini kian terpuruk di mata masyarakat.

Perlu diingat bahwa masyarakat mulai kritis dan objektif melihat kasus chat mesum dan pornografi yang disangkakan pada HRS. Masyarakat tidak akan terpengaruh pengalihan isu yang dilakukan oleh HRS dan pendukungnya. Bagi masyarakat luas,  jika HRS kembali terjerat kasus pidana tentu bukan hal yang mengejutkan mengingat sepak terjang HRS yang sejak semula dipenuhi dengan kontroversi dan pernah menjalani hukuman pidana penjara akibat aksi kekerasan dalam kasus penyerangan massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) saat melakukan unjuk rasa di Silang Monas pada tahun 2008 silam.  Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi HRS selain menghadapi proses hukum dan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas kasus yang disangkakan padanya.
    
*) Wartawan senior di Pekanbaru, Riau.

Pewarta: Amril Jambak *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017