Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab Al-Husaini pada 2 Juli 2017/07 Syawal 1438 H mengeluarkan pernyataan resmi yang ditujukan kepada segenap umat Islam dan seluruh bangsa Indonesia dan juga mengatasnamakan sebagai Ketua Pembina Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI, berisikan apresiasi kepada semua elemen bangsa yang selama ini selalu bersama para Habib dan Ulama mengawal Aksi Bela Islam untuk perjuangan melawan kezaliman dan kemunkaran untuk kemaslahatan perjuangan membela agama dan bangsa serta negara.

Selain itu, dalam pernyataan resmi tersebut pihaknya mengeluarkan ultimatum perjuangan rekonsiliasi atau revolusi dengan syarat stop kriminalisasi ulama dan aktivis. Apabila rekonsilisasi gagal maka pilihannya hanya jihad konstitusional untuk revolusi damai. AKSI BELA ISLAM adalah milik UMAT ISLAM bukan milik seseorang atau kelompok maupun golongan tertentu.

Pernyataan sikap seorang Imam Besar suatu Ormas Keagamaan yang dikirim dari Arab Saudi karena hingga saat ini belum mau kembali ke Indonesia, mengatasnamakan segenap umat Islam dan bahkan seluruh bangsa Indonesia, masih terus menggiring isu kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis.

Pasca serangkaian Aksi Bela Islam memang telah memunculkan istilah "Kriminalisasi Ulama" yang akhir-akhir ini layaknya jargon yang sangat kuat menarik perhatian publik. Amplifikasi pengelolaan isu tersebut diarahkan pada rasa kepedulian lapisan elemen masyarakat terhadap tokoh-tokoh agama. Pembalikan fakta seolah-olah negara berlaku tidak adil terhadap para ulama. Padahal ada istilah "Equality before the law" yang berarti semua sama di mata hukum. Apakah oknum ulama kalau bersalah tidak boleh dihukum?.

Berdasarkan tinjauan menurut KBBI, kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.

Dalam konteks kasus kriminalisasi ulama bisa diartikan bahwa kriminalisasi ulama adalah seorang ulama tidak salah namun kemudian dipersalahkan. Namun Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'ruf Amin melihat penetapan Habib Rizieq sebagai tersangka dalam kasus obrolan pornografi melalui pesan singat bukan berarti terjadi kriminalisasi ulama. Penetapan tersebut tidak ada hubungannya dengan kriminalisasi dan merupakan persoalan hukum seperti biasa. Jadi ikuti saja proses hukum yang berlangsung. Toh nanti di pengadilan akan dibuktikan seseorang bersalah atau tidak bersalah.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Said Aqil Siradj pun menegaskan, tidak ada ulama yang dikriminalisasi dan seharusnya sudah tidak perlu lagi aksi-aksi bela ulama, karena memang tidak ada ulama yang dikriminalisasikan. Masyarakat seharusnya lebih berhati-hati menggunakan kata ulama. Kasus Rizieq Shihab merupakan kasus pribadi yang bersangkutan dan bukan kasus ulama secara keseluruhan. Sehingga penggunaan istilah kriminalisasi ulama tidak berdasar. Seharusnya saat ini kita semua menjaga iklim kebangsaan yang lebih kondusif.

Secara ilmu psikologis dikatakan bahwa krisis kepercayaan atas sistem kehidupan sosial politik (termasuk ekonomi, pendidikan, hukum dll) menyebabkan sebagian orang mudah merasa frustrasi, marah, jengkel, dan bahkan kecewa dengan keadaan. Kondisi yang demikian ini menghantarkan kehidupan kejiwaan yang labil.
Labilitas kehidupan jiwa inilah yang melemahkan pertahanan emosi seseorang sehingga kepadanya sangat mudah dipengaruhi, diprovokasi untuk melakukan pembencian terhadap sistem kehidupan sosial kenegaraan dan pemerintahan yang dianggap bertanggungjawab atas kehidupan sosial pada umumnya. Perilaku kebencian (hostility) ini dapat mewujud dalam perilaku individual, kelompok maupun perilaku yang lebih terorganisasi dalam bentuk bentuk kelompok yang mengaku atau mengatasnamakan agama, jihad, perjuangan fisabillilah, amar makruf/nahi mungkar, dan lain sebagainya.

Pemerintah diposisikan sebagai pihak yang tidak bisa melindungi atau tidak bisa memberikan rasa aman kepada rakyatnya atau dianggap tidak dapat melakukan penegakan hukum secara adil dengan mengangkat isu "kriminalisasi ulama". Kondisi labil dalam tata kehidupan pemerintahan dan kenegaraan inilah yang sengaja diciptakan oleh penggerak-penggerak aksi semacam ini. Meski aksi-aksi ini belum frontal, tetapi hal ini merupakan potensi laten untuk terjadinya letupan teror yang lebih dahsyat berupa gerakan destruktif (penghancuran massal), agresif dan berkembanganya pola-pola perilaku yang berbasis pada kekerasan (violence). Kebencian adalah awal terjadinya petaka teror dalam kehidupan umat.
 
Amplifikasi gerakan kriminalisasi ulama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok mengatasnamakan aksi bela ulama, berupaya mengeser kepercayaan publik terhadap Pemerintah dan aparat keamanan dalam penegakan supremasi hukum. Upaya gerakan aksi mobilisasi massa mengkampanyekan "Kriminalisasi Ulama" yang dibangun oleh Rizieq Shibab mengatasnamakan agama, terus berusaha menggiring pada isu mendiskreditkan Pemerintah dan profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani kasus yang melibatkan Rizieq Shihab.

Padahal masyarakat dalam skala yang lebih luas sudah sangat cerdas menyikapi isu-isu yang berkembang dalam memaknai permasalahan tersebut. Serangkaian aksi mengkampanyekan "Kriminalisasi Ulama" yang sudah mengarah mengkultuskan Rizieq Shihab, semakin tidak mendapat respons dari masyarakat, karena masyarakat sudah tersadarkan bahwa gerakan tersebut dilatarbelakangi kepentingan manuver kepentingan pribadi untuk menyelamatkan wibawanya.

Masyarakat yakin dan percaya di luar sana masih banyak tokoh maupun ulama yang lebih baik, dapat memberikan teladan yang lebih baik, figur dengan integritas tinggi dan layak dijadikan tempat menambah ilmu dalam kehidupan.

Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, kalau Indonesia harus belajar banyak tentang toleransi beragama dari AS yang melibatkan banyak keyakinan. Padahal Indonesia mempunyai modal sosial keagamaan. Modal tersebut diwujudkan dalam ideologi negara yaitu Pancasila. Seharusnya ini menjadi kekayaan masyarakat Indonesia di seluruh komunitas agama bahwa agama dari Tuhan untuk manusia dan kemanusiaan.

Wajah dari humanisme ini akan menjadi titik temu bagi kita semua walaupun berbeda agama. Aksi teror maupun penggiringan opini kepentingan mengatasnamakan agama hanya menimbulkan kebencian terhadap sesama yang sejatinya harus hidup berdampingan satu sama lain.

Untuk itu, ada baiknya semua umat beragama sadar bahwa agama bukanlah untuk dikomersilkan. Ayat-ayat suci bukan untuk diperjualbelikan atau bahkan dijadikan alat untuk mengadu domba sesama umat beragama. Selain itu, dalam agama Islam pun diajarkan tidak boleh "Suudzon" atau tidak boleh berprasangka buruk. Namun dalam isi pernyataan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab Al-Husaini menegaskan jika terhadap "Lawan" kita harus bersikap "Negatif Thinking" yaitu berfikir negatif untuk tetap membangun kewaspadaan, maka terhadap "Kawan" kita wajib bersikap "Positif Thinking" yaitu berfikir positif untuk menjaga persatuan dan persaudaraan. Padahal apapun alasannya, berprasangka buruk hasilnya tidak akan menjadi baik.
 
Sebagai pimpinan dari Ormas yang mengatasnamakan agama Islam sudah sepatutnya seorang Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab Al-Husaini memberikan contoh yang baik kepada para pengikut dan loyalitasnya dengan bersikap sebagai seorang pemimpin, berjiwa besar, dan bertanggungjawab. Kembali ke Indonesia dan menyelesaikan semua permasalahan dengan tata aturan yang berlaku di Indonesia karena Indonesia sebagai Negara Hukum. Apabila tidak merasa bersalah tidak perlu merasa takut untuk menghadapinya karena Allah SWT mengetahui orang-orang yang benar dan selalu bersama-sama orang yang sabar.

                                             ------oo00oo------

*) Pemerhati Sosial dan Politik.

Pewarta: Bayu Kusuma *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017