Dokter Spesialis Anak Konsultan Respirologi, Prof. dr. Cissy Kartasasmita, Sp.A (K), M.Sc, PhD mengingatkan orang tua pentingnya mengenali gejala penyakit pneunomia yang menjadi the silent killer bagi anak usia di bawah lima tahun.
"Seringkali terlewatkan, sehingga penting bagi orang tua untuk mengenali berbagai gejala awal dan faktor risiko pneumonia. Dampaknya bisa menyebabkan kematian, karena itulah pneumonia disebut sebagai the silent killer,” kata dr. Cissy Kartasasmita dalam keterangannya, Sabtu.
Ia menjelaskan Pneumonia terjadi karena adanya peradangan di paru-paru akibat infeksi bakteri, virus, atau jamur yang mengakibatkan sesak napas, anak sulit bernapas, serta menyebabkan demam, batuk dengan lendir bening atau berwarna kuning, hijau ataupun bercampur darah.
Menurut Prof.Cissy, gejala awal pneumonia sulit dibedakan dengan penyakit saluran pernapasan lain.
Penyebab pneumonia, salah satunya adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV). Virus ini adalah penyebab utama pneumonia akibat virus.
Merujuk data dari empat penelitian lokal secara terpisah juga menunjukkan kalau ini adalah virus yang muncul setiap tahun.
Dimana kasus puncaknya terjadi pada minggu 48 (Awal Desember) hingga minggu 16 (Akhir Maret). Namun, para ahli masih yakin ini akan mengikuti flu yang berlangsung sepanjang tahun.
Faktor risiko utama untuk infeksi RSV parah adalah pada bayi prematur, bayi dengan kelainan bawaan seperti kelainan jantung bawaan, bayi dengan BPD (brocho pulmonary displasia) dan bayi dengan kelainan CP (Celebral Palsy).
Diperkirakan 2,02 persen insiden bayi yang lahir prematur berisiko tinggi terinfeksi RSV. Mortalitas pada bayi prematur berisiko tinggi hingga mencapai 3 perse bandingkan dengan laju kematian COVID-19 pada anak-anak “hanya” 0,4 persen.
"Ini artinya risiko terkena RSV lebih tinggi pada bayi prematur. Sedangkan Indonesia memiliki angka kelahiran prematur yang tinggi, sekitar 10 persen,” jelas Prof Cissy.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi angka kelahiran prematur di Indonesia tahun 2018 sebanyak 29,5 persen per 1.000 kelahiran hidup.
Indonesia berada pada posisi ke-5 tertinggi di dunia untuk persalinan prematur, yakni sekitar 657.700 kasus.
Karenanya, Prof Cissy menilai penting bagi masyarakat untuk mengetahui apa itu RSV dan juga pentingnya mencegah kelahiran prematur untuk mengurangi risiko kematian pada bayi.
Satu hal lain yang harus diwaspadai adalah bahwa pneumonia akibat virus biasanya tidak menimbulkan gejala yang berat, namun secara penyembuhan membutuhkan waktu yang lebih lama.
Penularan pneumonia bisa terjadi melalui dropet atau percikan air liur.
Pencegahannya dapat dilakukan dengan mencuci tangan, menjaga sirkulasi udara di rumah, mengurangi paparan polusi udara, dan memberikan monoclonal antibodi untuk bayi, terutama bayi prematur.
Adapun kekebalan untuk penyakit pneumonia karena infeksi bakteria bisa didapat melalui vaksin DPT, Hepatiti B dan A, dan HiB; sedangkan untuk pneumonia akibat infeksi virus adalah vaksin Polio, MR/MMR, dengue, influenza dan cacar air, yang dapat melindungi anak dari penyakit ini.
Center for Disease Control and Prevention (CDC) sudah merekomendasikan perlindungan bayi dengan antibodi monoklonal RSV.
"Untuk itu penting bagi Pemerintah dan kita semua meningkatkan upaya untuk menjaga kesehatan bayi prematur agar tetap sehat, edukasi pencegahan pneumonia serta meningkatkan daya tahan tubuh bayi dengan imunisasi sesuai jadwal.” ungkap Prof Cissy.
Merujuk data World Health Organization (WHO) tahun 2019, pneumonia menyebabkan 14 persen dari seluruh kematian anak di bawah usia lima tahun dengan mencapai 740.180 jiwa kematian.
Demikian halnya dengan data UNICEF yang menyebut bahwa di Indonesia, pneumonia menjadi penyebab kematian terbesar pada anak di bawah lima tahun, dengan perkiraan 19.000 anak meninggal pada tahun 2018.
Secara estimasi global juga menyebut bahwa setiap jam, ada 71 anak di Indonesia terkena pneumonia.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
"Seringkali terlewatkan, sehingga penting bagi orang tua untuk mengenali berbagai gejala awal dan faktor risiko pneumonia. Dampaknya bisa menyebabkan kematian, karena itulah pneumonia disebut sebagai the silent killer,” kata dr. Cissy Kartasasmita dalam keterangannya, Sabtu.
Ia menjelaskan Pneumonia terjadi karena adanya peradangan di paru-paru akibat infeksi bakteri, virus, atau jamur yang mengakibatkan sesak napas, anak sulit bernapas, serta menyebabkan demam, batuk dengan lendir bening atau berwarna kuning, hijau ataupun bercampur darah.
Menurut Prof.Cissy, gejala awal pneumonia sulit dibedakan dengan penyakit saluran pernapasan lain.
Penyebab pneumonia, salah satunya adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV). Virus ini adalah penyebab utama pneumonia akibat virus.
Merujuk data dari empat penelitian lokal secara terpisah juga menunjukkan kalau ini adalah virus yang muncul setiap tahun.
Dimana kasus puncaknya terjadi pada minggu 48 (Awal Desember) hingga minggu 16 (Akhir Maret). Namun, para ahli masih yakin ini akan mengikuti flu yang berlangsung sepanjang tahun.
Faktor risiko utama untuk infeksi RSV parah adalah pada bayi prematur, bayi dengan kelainan bawaan seperti kelainan jantung bawaan, bayi dengan BPD (brocho pulmonary displasia) dan bayi dengan kelainan CP (Celebral Palsy).
Diperkirakan 2,02 persen insiden bayi yang lahir prematur berisiko tinggi terinfeksi RSV. Mortalitas pada bayi prematur berisiko tinggi hingga mencapai 3 perse bandingkan dengan laju kematian COVID-19 pada anak-anak “hanya” 0,4 persen.
"Ini artinya risiko terkena RSV lebih tinggi pada bayi prematur. Sedangkan Indonesia memiliki angka kelahiran prematur yang tinggi, sekitar 10 persen,” jelas Prof Cissy.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi angka kelahiran prematur di Indonesia tahun 2018 sebanyak 29,5 persen per 1.000 kelahiran hidup.
Indonesia berada pada posisi ke-5 tertinggi di dunia untuk persalinan prematur, yakni sekitar 657.700 kasus.
Karenanya, Prof Cissy menilai penting bagi masyarakat untuk mengetahui apa itu RSV dan juga pentingnya mencegah kelahiran prematur untuk mengurangi risiko kematian pada bayi.
Satu hal lain yang harus diwaspadai adalah bahwa pneumonia akibat virus biasanya tidak menimbulkan gejala yang berat, namun secara penyembuhan membutuhkan waktu yang lebih lama.
Penularan pneumonia bisa terjadi melalui dropet atau percikan air liur.
Pencegahannya dapat dilakukan dengan mencuci tangan, menjaga sirkulasi udara di rumah, mengurangi paparan polusi udara, dan memberikan monoclonal antibodi untuk bayi, terutama bayi prematur.
Adapun kekebalan untuk penyakit pneumonia karena infeksi bakteria bisa didapat melalui vaksin DPT, Hepatiti B dan A, dan HiB; sedangkan untuk pneumonia akibat infeksi virus adalah vaksin Polio, MR/MMR, dengue, influenza dan cacar air, yang dapat melindungi anak dari penyakit ini.
Center for Disease Control and Prevention (CDC) sudah merekomendasikan perlindungan bayi dengan antibodi monoklonal RSV.
"Untuk itu penting bagi Pemerintah dan kita semua meningkatkan upaya untuk menjaga kesehatan bayi prematur agar tetap sehat, edukasi pencegahan pneumonia serta meningkatkan daya tahan tubuh bayi dengan imunisasi sesuai jadwal.” ungkap Prof Cissy.
Merujuk data World Health Organization (WHO) tahun 2019, pneumonia menyebabkan 14 persen dari seluruh kematian anak di bawah usia lima tahun dengan mencapai 740.180 jiwa kematian.
Demikian halnya dengan data UNICEF yang menyebut bahwa di Indonesia, pneumonia menjadi penyebab kematian terbesar pada anak di bawah lima tahun, dengan perkiraan 19.000 anak meninggal pada tahun 2018.
Secara estimasi global juga menyebut bahwa setiap jam, ada 71 anak di Indonesia terkena pneumonia.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024