Keputusan terbaru pemerintah Indonesia telah menetapkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada rokok sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024.

Kenaikan tarif tersebut berlaku untuk berbagai golongan rokok, seperti sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP), dengan persentase kenaikan yang berbeda-beda, sesuai dengan golongan masing-masing.

Tidak hanya pada CHT, Presiden Jokowi juga meminta kenaikan tarif cukai berlaku untuk rokok elektrik dan produk hasil pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL). Rokok elektrik akan mengalami kenaikan rata-rata 15 persen setiap tahun, selama lima tahun ke depan.

Keputusan ini disertai pertimbangan aspek-aspek penting, seperti tenaga kerja pertanian dan dampak terhadap industri rokok. Selain itu, pemerintah juga memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun dan mencoba mengendalikan konsumsi serta produksi rokok, dengan harapan dapat menurunkan keterjangkauan rokok di masyarakat.

Keputusan ini bagian dari upaya pemerintah Indonesia dalam menanggulangi masalah yang berkaitan dengan konsumsi tembakau.

Kebijakan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada rokok yang tidak dibarengi dengan penyederhanaan struktur tarif cukai memunculkan persoalan baru, yakni peralihan konsumsi ke rokok murah.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perubahan perilaku konsumsi, tetapi juga menggambarkan tantangan serius dalam upaya menjaga kesehatan dan keberlanjutan generasi mendatang.

Dalam konteks ini, penting untuk memahami dinamika peralihan konsumsi rokok murah dan dampaknya terhadap Generasi Emas Indonesia.

Peralihan konsumsi rokok ke harga murah dipengaruhi secara langsung dari kompleksitas struktur tarif cukai dan ketidakmerataan kenaikan tarif antargolongan rokok.

Terdapat disparitas dalam peningkatan cukai antargolongan, yang menyebabkan harga jual eceran menjadi semakin terpaut.

Kenaikan cukai pada rokok Golongan I secara signifikan yang tidak sebanding dengan kenaikan cukai pada rokok Golongan II. Kondisi ini mendorong konsumen perokok "akut" cenderung beralih ke rokok Golongan II, sehingga berdampak pada penurunan penjualan pada rokok Golongan I. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi pengendalian, kenaikan tarif CHT untuk mengurangi konsumsi rokok tidak tercapai, dan jarak tarif antargolongan yang lebar menjadi pemicu utama peralihan konsumen dari Golongan I ke Golongan II.

Realisasi penerimaan cukai hasil tembakau, hingga Agustus 2023 mencapai Rp126,8 triliun, 54,53 persen dari target total CHT APBN 2023.

Meskipun terjadi penurunan, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto memproyeksikan realisasi penerimaan pada akhir 2023 mencapai Rp218,1 triliun. Faktor utama penurunan penerimaan adalah peralihan konsumsi rokok murah (Golongan II), peralihan konsumsi ke rokok elektronik (REL), dan maraknya peredaran rokok ilegal.

Penurunan penerimaan cukai rokok pada tahun 2023 perlu menjadi perhatian serius, terutama karena dampak peralihan konsumsi rokok murah yang mengurangi penerimaan secara signifikan dan telah menjadi ancaman yang persisten.

Dalam mengatasi maraknya rokok murah di pasaran, perbaikan struktur tarif cukai menjadi esensial. Optimisasi struktur tarif cukai, terutama pada Golongan I, yang tarif cukainya terlalu tinggi, menjadi kunci.

Upaya ini tidak hanya akan meningkatkan penerimaan, tetapi juga mencegah munculnya rokok ilegal akibat kenaikan tarif yang berlebihan, sehingga perlu dilakukan langkah strategis dalam menyikapi, dengan melakukan penyederhanaan bertahap pada struktur tarif CHT untuk menghindari ketidakmerataan kenaikan tarif antargolongan.

Selain itu, perlu adanya revisi regulasi terkait pemantauan harga transaksi pasar untuk mengurangi peluang industri menurunkan harga rokok. Jarak tarif yang ideal antargolongan rokok melibatkan kenaikan tarif CHT minimal 25 persen per tahun di atas inflasi. Struktur tarif tanpa golongan dapat meminimalkan variasi harga di pasaran, memaksimalkan penerimaan cukai.

Maraknya rokok murah di pasaran perlu menjadi perhatian serius semua pihak. Hal ini karena berkaitan dengan aksesibilitas rokok oleh anak-anak. Tahun 2045 menjadi titik puncak sejarah bagi Indonesia yang akan menginjak usia seratus tahun.

Dalam memandang masa depan yang gemilang ini, muncul wacana tentang Generasi Emas 2045. Meskipun masih terasa jauh, persiapan harus dimulai sejak sekarang, terutama dengan tumbuhnya bibit-bibit unggul di antara generasi muda yang lahir pada masa ini.

Generasi Emas 2045 haruslah menjadi bagian integral dari persiapan menghadapi bonus demografi. Mereka tidak hanya diharapkan pintar secara intelektual, tetapi juga memiliki kecerdasan komprehensif. Hal ini mencakup produktivitas, inovasi, interaksi sosial yang damai, karakter yang kuat, kesehatan, dan berperadaban unggul.

Pentingnya Generasi Emas 2045 terletak pada bonus demografi yang akan dinikmati Indonesia pada tahun 2045, di mana 70 persen penduduknya akan berada dalam usia produktif. Namun, potensi dampak buruk, seperti kemiskinan dan kualitas kesehatan rendah, menjadi ancaman jika bonus demografi ini tidak dimanfaatkan dengan bijak.

Masa depan anak Indonesia ternyata menghadapi tantangan yang serius dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan. Berdasarkan peringkat yang dirilis WHO-UNICEF menunjukkan bahwa indeks perkembangan anak Indonesia berada di peringkat 117 dari 180 negara yang diteliti. Hal ini mencerminkan keterlambatan signifikan dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Vietnam, dan Singapura.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa kondisi kesehatan anak muda di Indonesia mengalami penurunan dalam enam tahun terakhir. Hal ini terlihat dari peningkatan persentase keluhan kesehatan dan angka kesakitan pada kelompok usia 15-44 tahun, baik pada laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2016, persentase anak muda yang mengalami keluhan kesehatan mencapai 17,4 persen.

Tren peningkatan terus terjadi, dan pada 2021, persentase keluhan kesehatan anak muda naik menjadi 21,24 persen. Angka kesakitan juga mengalami peningkatan, dari 8,54 persen pada 2016 menjadi 10,23 persen pada 2021.

BPS juga menemukan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran anak muda, semakin tinggi pula persentase keluhan kesehatan dan angka kesakitan. Pada kelompok pengeluaran teratas, terdapat 24,28 persen anak muda yang mengalami keluhan kesehatan, sementara kelompok pengeluaran menengah mencapai 21,54 persen, dan kelompok pengeluaran terbawah sebesar 19,06 persen.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023 menjelaskan bahwa rata-rata pengeluaran per kapita di Indonesia mencapai Rp1,45 juta per bulan. Data ini menunjukkan kenaikan sebesar 4,2 persen dibandingkan dengan September 2022 yang sebesar Rp1,39 juta per bulan.

Dalam pengelompokan antara makanan dan bukan makanan, kelompok makanan memiliki rata-rata pengeluaran per kapita sebesar Rp711.282, sedangkan kelompok bukan makanan mencapai Rp740.588 per bulan.

Dalam kelompok makanan, kategori makanan dan minuman jadi menjadi kategori dengan pengeluaran per kapita terbesar, mencapai Rp227.581 per bulan. Hal ini menandakan kecenderungan masyarakat Indonesia yang lebih memilih konsumsi makanan dan minuman instan yang lebih praktis.

Berikutnya konsumsi rokok dan tembakau menjadi peringkat kedua tertinggi dengan pengeluaran per kapita sebesar Rp91.003 per bulan. Pengeluaran ini lebih tinggi dibanding dengan pengeluaran untuk belanja gizi seimbang keluarga.

*) Devi Utami Rika Safitri adalah tim editor Jurnal Neoekohumanika Peneliti junior Center of Human and Economic Development, ITB Ahmad Dahlan Jakarta

Pewarta: Devi Utami Rika Safitri *)

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024