Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D mengukuhkan Prof. Dr. dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp.Oto.(K), MPH sebagai guru besar Bidang Ilmu Otologi, Fakultas Kedokteran (FK), UI pada Sabtu (24/2), di Aula IMERI FKUI. 

Pada pengukuhannya, Prof. Ratna menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Implantasi Koklea: Peluang Anak Tuli Kongenital menjadi Insan Indonesia yang Unggul”.

Ia mengulas permasalahan tuli kongenital pada anak dengan dampak terhadap kualitas hidupnya. Sebuah meta-analisis yang dilakukan berdasarkan asesmen Pediatric Quality of Life InventoryTM (PedsQL) menunjukkan bahwa anak dengan kondisi tuli memiliki angka kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan anak normal, terutama di bidang sosial dan prestasi sekolah. 

Baca juga: Rektor UI kukuhkan Amiliana Mardiani Soesanto sebagai guru besar

Hal ini karena mereka memiliki keterbatasan dalam mengakses kesempatan yang biasanya diperoleh anak-anak tanpa masalah tuli kongenital.

Tuli kongenital adalah gangguan pendengaran yang dialami seseorang sejak lahir. 

Gangguan ini terjadi sebelum bayi/anak belajar bicara. Kondisi tuli dapat disebabkan oleh faktor genetik (50 ersen) maupun nongenetik dan lingkungan. Angka kejadian tuli sensorineural kongenital berkisar 0,5 sampai 4 per 1.000 kelahiran. 

Apabila tidak ditangani secara optimal pada fase golden period, tuli kongenital akan berdampak pada kemampuan anak dalam berkomunikasi, perkembangan sosial emosional dan kualitas hidupnya di masa depan. 

Baca juga: Guru Besar FKUI sebut 385 pasien TB meninggal per hari

Oleh karena itu, diperlukan tatalaksana yang tepat untuk menangani masalah ini.

Menurut Prof. Ratna, deteksi dini pada bayi baru lahir penting dilakukan mengingat tingginya angka tuli kongenital di Indonesia. 

Prosedur Early Hearing Detection and Intervention (EHDI) dilakukan untuk mendeteksi dan mengintervensi dini pada bayi usia 3–6 bulan yang memiliki risiko tinggi tuli kongenital. 

Apabila bayi memiliki satu faktor risiko, kemungkinan mengalami tuli menjadi 10,2 kali lebih besar, namun apabila memiliki tiga faktor risiko, kemungkinan tersebut meningkat hingga 63 kali lebih besar. 

Baca juga: Guru Besar UI kembangkan vaksin M72 untuk pengobatan TB lebih efektif pada tahun ini

Sejak tahun 2002, program implantasi koklea mulai diterapkan di Indonesia sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kesehatan telinga dan pendengaran masyarakat Indonesia. Program ini hadir sebagai solusi bagi anak tuli kongenital sensorineural yang tidak dapat ditangani dengan alat bantu dengar. 

Hingga saat ini, sebanyak 1.899 anak telah menerima manfaat implantasi koklea, 583 di antaranya berusia kurang dari 3 tahun, yang merupakan golden period dalam pemasangan implan koklea.  

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024