Doktor Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Roosalina Wulandari melakukan studi tentang kuatnya budaya kolektif di Indonesia yang menjadikan hijrah yang awalnya merupakan transformasi spiritual personal dijalani secara berkelompok dalam intoleransi beragama.
"Dalamtransformasi ini, seseorang dapat bersikap intoleransi jika merasa paling superior dalam beragama," kata Roosalina Wulandari dalam keterangannya yang diterima di Depok, Senin.
Gerakan hijrah yang marak beberapa tahun terakhir, kata dia, merupakan transformasi spiritual dan representasi semangat beragama dalam bentuk perubahan fisik, spiritual, dan sosial.
Baca juga: Psikolog UI: Anak perlu miliki 'growth mindset' yang diasah sejak dini
Dalam hal ini, dukungan kelompok dirasakan penting dalam proses berbagi nilai dan validitas identitas baru sebagai pelaku hijrah.
Akan tetapi, gairah spiritual sering kali dinodai oleh sebagian orang yang merasa paling benar, yang pada akhirnya memunculkan sikap intoleran.
Menurut dia, intoleransi ini tidak hanya ditujukan kepada mereka yang berbeda agama, tetapi juga kepada sesama pemeluk Islam yang berbeda kelompok atau aliran. Hal ini tentunya menimbulkan kerawanan bagi keberagaman umat beragama di Indonesia.
Dalam studi berjudul Religious Identity Transformation: Explaining Religious Intolerance as Uncertainty Reduction Motivation Through Collective Orientation, Roosalina menemukan dua tipe pelaku hijrah, yaitu individualis dan kolektivis.
Baca juga: Psikolog UI: Daya tahan pelaku UMKM di masa pandemi tergolong tinggi
Keduanya didorong oleh kehilangan makna hidup akibat krisis yang dialami. Namun, lanjut dia, mengadopsi pendekatan yang berbeda dalam mencapai kembali makna hidup.
Pelaku hijrah tipe individualis mencapai makna hidup melalui pemenuhan kebutuhan epistemik, sedangkan pelaku hijrah tipe kolektivis mencapainya melalui hubungan sosial dan identitas kelompok.
Roosalina juga melibatkan partisipasi masyarakat umum untuk menguji peran orientasi kolektif sebagai mediator dalam perkembangan intoleransi beragama dan entitativitas kelompok sebagai faktor penghubung.
Baca juga: Psikolog UI: Bijak menggunakan media sosial cegah perundungan siber
Hasil temuan menunjukkan bahwa ketidakpastian berdampak pada orientasi kolektif yang memengaruhi pembentukan intoleransi beragama, baik dalam skala antar-agama maupun intra-agama.
Selain itu, entitativitas kelompok dapat memperkuat pengaruh orientasi kolektif terhadap intoleransi antar-agama.
"Kami berharap hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi signifikan pada pemahaman transformasi spiritual dan dinamika sosial di kalangan umat Islam di Indonesia," katanya.
Studi ini juga bisa menjadi landasan penelitian lanjutan tentang strategi meningkatkan toleransi dan pemahaman antar-agama, terlebih intoleransi kerap muncul dalam peristiwa politik di Tanah Air, seperti pemilihan kepala daerah, pemilihan umum, atau pemilu presiden yang akan dilaksanakan pada tahun 2024.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
"Dalamtransformasi ini, seseorang dapat bersikap intoleransi jika merasa paling superior dalam beragama," kata Roosalina Wulandari dalam keterangannya yang diterima di Depok, Senin.
Gerakan hijrah yang marak beberapa tahun terakhir, kata dia, merupakan transformasi spiritual dan representasi semangat beragama dalam bentuk perubahan fisik, spiritual, dan sosial.
Baca juga: Psikolog UI: Anak perlu miliki 'growth mindset' yang diasah sejak dini
Dalam hal ini, dukungan kelompok dirasakan penting dalam proses berbagi nilai dan validitas identitas baru sebagai pelaku hijrah.
Akan tetapi, gairah spiritual sering kali dinodai oleh sebagian orang yang merasa paling benar, yang pada akhirnya memunculkan sikap intoleran.
Menurut dia, intoleransi ini tidak hanya ditujukan kepada mereka yang berbeda agama, tetapi juga kepada sesama pemeluk Islam yang berbeda kelompok atau aliran. Hal ini tentunya menimbulkan kerawanan bagi keberagaman umat beragama di Indonesia.
Dalam studi berjudul Religious Identity Transformation: Explaining Religious Intolerance as Uncertainty Reduction Motivation Through Collective Orientation, Roosalina menemukan dua tipe pelaku hijrah, yaitu individualis dan kolektivis.
Baca juga: Psikolog UI: Daya tahan pelaku UMKM di masa pandemi tergolong tinggi
Keduanya didorong oleh kehilangan makna hidup akibat krisis yang dialami. Namun, lanjut dia, mengadopsi pendekatan yang berbeda dalam mencapai kembali makna hidup.
Pelaku hijrah tipe individualis mencapai makna hidup melalui pemenuhan kebutuhan epistemik, sedangkan pelaku hijrah tipe kolektivis mencapainya melalui hubungan sosial dan identitas kelompok.
Roosalina juga melibatkan partisipasi masyarakat umum untuk menguji peran orientasi kolektif sebagai mediator dalam perkembangan intoleransi beragama dan entitativitas kelompok sebagai faktor penghubung.
Baca juga: Psikolog UI: Bijak menggunakan media sosial cegah perundungan siber
Hasil temuan menunjukkan bahwa ketidakpastian berdampak pada orientasi kolektif yang memengaruhi pembentukan intoleransi beragama, baik dalam skala antar-agama maupun intra-agama.
Selain itu, entitativitas kelompok dapat memperkuat pengaruh orientasi kolektif terhadap intoleransi antar-agama.
"Kami berharap hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi signifikan pada pemahaman transformasi spiritual dan dinamika sosial di kalangan umat Islam di Indonesia," katanya.
Studi ini juga bisa menjadi landasan penelitian lanjutan tentang strategi meningkatkan toleransi dan pemahaman antar-agama, terlebih intoleransi kerap muncul dalam peristiwa politik di Tanah Air, seperti pemilihan kepala daerah, pemilihan umum, atau pemilu presiden yang akan dilaksanakan pada tahun 2024.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023