Aksi penolakan terhadap praktik politik uang terus digaungkan agar pemilu berjalan jujur, bermartabat, dan demokratis demi mendapatkan pemimpin ideal dan berkualitas.
Gerakan menolak praktik politik uang masif dilaksanakan hingga pelosok desa, baik oleh pemerintah, instansi, lembaga, organisasi, komunitas, bahkan melibatkan para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemangku adat.
Berdasarkan data penelitian yang dilakukan Yayasan Kapong Sebubong Indonesia kepada warga yang sudah terdaftar sebagai pemilih, sebulan sebelum pelaksanaan Pemilu Legislatif 2019 di Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ditemukan warga yang sudah terdaftar sebagai pemilih menerima praktik politik uang 17,1 persen, ragu-ragu 12,3 persen, menolak 68,1 persen dan 2,8 persen tidak merespons pertanyaan.
Pada penelitian berikutnya yang dilaksanakan menjelang Pilkada Serentak 2020 tercatat sikap pemilih terhadap praktik politik uang bisa diterima 34,3 persen, menolak turun menjadi 41,8 persen, ragu-ragu 19,5 persen dan tidak menjawab 4,3 persen.
Fenomena ini memberikan gambaran yang menyedihkan karena pelaksanaan Pemilu Legislatif 2019 dengan Pilkada 2020 hanya berjarak waktu satu tahun empat bulan. Dalam jangka waktu tersebut sudah terjadi pergeseran peningkatan sikap menerima atau toleran terhadap praktik politik uang yang dari awal menolak sebesar 68,1 persen pada 2019 menjadi 41,8 persen pada 2020.
Baca juga: KIP Aceh: Pemilih jangan terjebak politik uang pada Pemilu 2024
Di saat bersamaan, publik menganggap politik uang merupakan tindakan yang wajar, juga terus bertambah dari posisi 17,1 persen pada Pemilu Legislatif 2019 meningkat menjadi 34,3 persen di Pilkada 2020.
Jika diuraikan dalam kelompok umur, komposisi ini bisa dipetakan menjadi, kelompok pemilih pemula (usia 17- 20 tahun) memberikan respons 20 persen menganggap wajar, 70 persen menganggap tidak wajar, 6,7 persen tidak tahu, dan 3,3 persen tidak menjawab.
Kelompok pemilih muda (usia 21-30 tahun) 22,2 persen menganggap wajar, 70 persen tidak wajar, 5,6 persen tidak tahu, 2,2 persen tidak memberikan jawaban, sedangkan pada kelompok pemilih usia 31-40 tahun 29,8 persen menganggap praktik politik uang wajar, 65,5 persen menganggap tidak wajar, 1,2 persen tidak tahu dan 3,6 persen tidak merespons.
Dari data yang tersaji, fenomena ini semakin menegaskan bahwa praktik politik uang telah diterima di berbagai momentum politik yang ada. Fakta ini menjadi potret buram bagi perjalanan demokrasi lokal.
Putus mata rantai
Dosen Ilmu Politik FISIP UBB sekaligus peneliti di Yayasan Kapong Sebubong Indonesia Ranto, MA menyatakan salah satu elemen paling penting dalam demokrasi adalah pelaku, dan untuk menghambat laju praktik politik uang, maka perlu segera memutus mata rantainya (supply-side dan demand-side).
Tindakan ini merupakan pilihan logis karena aktor yang berperan sebagai supply-side (peserta pemilu) perlu dibatasi area manuvernya, begitu juga dengan aktor lainnya yang memosisikan diri sebagai demand-side (pemilih) harus dipersempit ruang geraknya.
"Kita perlu mengingatkan sekaligus menyadarkan peserta pemilu (partai politik, politisi) dari bahayanya praktik politik uang bagi kehidupan demokrasi di Indonesia," kata Ranto.
Institusi politik harus terus disadarkan agar bisa bersama-sama mengikis terjadinya praktik politik uang agar tidak menjadi permasalahan utama yang menyebabkan semakin mengakarnya praktik politik uang yang terjadi saat ini.
Selanjutnya, hal lainnya yang tersisa untuk dilakukan adalah menyadarkan para pemilih agar semakin bertanggung jawab dengan cara meningkatkan kualitas pemilih, baik dari sisi democratic mind (gagasan demokrasi), democratic attitude (perilaku demokratis) dan democratic skill (kemampuan berdemokrasi).
Baca juga: Bawaslu: Politik uang racun dalam berdemokrasi
Ketika ada pemilih yang tidak setuju dengan praktik politik uang, maka pemilih tersebut sedang berada di arena gagasan demokrasi, berikutnya, adanya pemilih yang patuh dan taat terhadap aturan-aturan yang berkaitan dengan pelarangan terhadap politik uang merupakan wujud dari kesadaran perilaku demokrasi, sedangkan bagi pemilih yang berusaha untuk mencegah praktik politik uang, pemilih tadi menjadi bagian dari kemampuan demokrasi.
Inilah yang akan menentukan masa depan demokrasi kita dalam godaan dan jeratan politik uang yang semakin tumbuh subur dewasa ini. Bagi kita yang hanya terkurung dalam gagasan demokrasi saja, tidak mau menyelaraskannya dengan perilaku dan kemampuan berdemokrasi, maka langkah kita melawan praktik politik uang pasti akan kalah.
Jika mengharapkan proses demokrasi tidak dicederai oleh jual-beli suara, maka jangan pernah memisahkan tiga hal penting tersebut, jangan sampai hanya karena ide-ide tentang pencegahan praktik politik uang tidak disetujui, maka terjadi sikap pembiaran.
Oleh karena itu, menyatukan tiga elemen tadi harus terus diedukasikan ke semua kelompok pemilih yang ada di Indonesia agar menjadi pemilih yang bertanggung jawab, yang berkomitmen untuk menolak dan melawan praktik politik uang.
Peran pemuda
Berdasarkan data Daftar Pemilih Tetap Pemilu 2024 dari KPU Kabupaten Bangka Barat, jumlah pemilih di daerah itu sebanyak 148.424 orang. Dari total pemilih itu terdapat pemilih milenial (kelahiran 1981-1996) sebanyak 54.513 (36 persen) dan pemilih dari kelompok generasi Z (lahir antara 1997-2012) yang memiliki hak pilih sebanyak 38.386 (25 persen).
Dengan jumlah persentase pemilih usia 17 hingga 43 tahun yang mencapai 61 persen, sudah jelas pemilih kelompok ini memiliki nilai tawar tinggi sebagai penentu pada Pemilu 2024.
Wakil Bupati Bangka Barat Bong Ming Ming mengatakan masyarakat, khususnya dari kelompok pemuda, memiliki peran besar untuk menghadirkan pemimpin yang baik dan memiliki integritas serta bebas korupsi.
Jika sejak awal pencalonan dalam mencari jabatan politik sudah melakukan hal yang salah dengan melakukan praktik politik uang, maka calon tersebut sudah masuk dalam kategori melakukan korupsi karena membeli suara masyarakat untuk meraup suara.
Untuk itu dibutuhkan edukasi mendalam dan menyeluruh agar pemilih, terutama para pemuda, agar mampu menjadi contoh dalam membentengi diri tidak masuk dalam lingkaran praktik politik uang.
Selain itu pemuda juga memiliki kewajiban meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia dengan cara melawan politik uang, isu SARA atau politik identitas dan berita bohong yang akan memecah belah kesatuan bangsa.
Praktik politik uang adalah musuh bersama, tugas kita sebagai pemuda harus mampu melawan, mencabut sampai ke akar-akarnya. Begitu juga dengan politik identitas dan penyebaran berita bohong.
Baca juga: Anggota DPR dukung Bawaslu tegas menindak politik uang
Sejalan dengan itu, Ketua DPD KNPI Bangka Barat Riandi mengatakan pemuda juga wajib berperan aktif dalam menciptakan pemilu damai karena hal ini bukan hanya tanggung jawab TNI/Polri serta pemerintah daerah.
Para pemuda wajib ikut terpanggil dan berperan aktif di dalamnya. Ini bentuk komitmen kita untuk ikut terjun langsung menciptakan Pemilu 2024 damai, tidak mengedepankan politik identitas, menyebar berita bohong, dan melawan praktik politik uang.
Saat ini masyarakat Bangka Barat sudah cerdas dan pintar dalam berdemokrasi dan menentukan hak pilih yang sesuai dengan hati nurani, tanpa terpengaruh dengan berbagai praktik politik negatif tersebut.
Para pemuda harus mampu bertahan dan terus menerus secara konsisten menciptakan pemilu yang damai, cerdas, dan bermartabat agar mampu menghasilkan pemimpin ideal untuk masa depan yang gemilang.
Pemuda perlu membekali diri dengan pengetahuan dan pemahaman politik menyeluruh agar mampu memberikan edukasi kepada masyarakat dan menuntun pemilih secara bebas menentukan pilihan sesuai kapasitas dan kapabilitas calon.
Gerakan pemuda untuk menolak praktik politik uang, penyebaran hoaks, dan politik identitas perlu terus digalang, mulai dari tingkat dusun, desa, kecamatan, hingga kabupaten agar menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang bersih.
Selain itu, pemuda juga memiliki tugas untuk mengawal dan mengawasi jalannya Pemilu 2024 agar bersih dari praktik politik uang, politik identitas, dan penyebaran hoaks.
Kita terus mendorong agar para peserta pemilu melakukan pernyataan sikap perlawanan terhadap politik identitas, penyebaran hoaks, dan memiliki semangat yang sama dalam melawan praktik politik uang.
Sudah saatnya seluruh kontestan Pemilu 2024 bersaing secara jujur tanpa unsur permainan uang, dengan mengedepankan gagasan dan ide, menawarkan konsep orisinal yang kreatif, inovatif, dan inspiratif agar dilirik pemilih.
Perlu ikhtiar bersama agar gerakan menolak politik uang, politik identitas, dan penyebaran hoaks menjadi gerakan sistematis dan terukur, sehingga para pemilih menjadi berdaulat yang mampu menjadi pondasi ketahanan demokrasi kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
Gerakan menolak praktik politik uang masif dilaksanakan hingga pelosok desa, baik oleh pemerintah, instansi, lembaga, organisasi, komunitas, bahkan melibatkan para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemangku adat.
Berdasarkan data penelitian yang dilakukan Yayasan Kapong Sebubong Indonesia kepada warga yang sudah terdaftar sebagai pemilih, sebulan sebelum pelaksanaan Pemilu Legislatif 2019 di Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ditemukan warga yang sudah terdaftar sebagai pemilih menerima praktik politik uang 17,1 persen, ragu-ragu 12,3 persen, menolak 68,1 persen dan 2,8 persen tidak merespons pertanyaan.
Pada penelitian berikutnya yang dilaksanakan menjelang Pilkada Serentak 2020 tercatat sikap pemilih terhadap praktik politik uang bisa diterima 34,3 persen, menolak turun menjadi 41,8 persen, ragu-ragu 19,5 persen dan tidak menjawab 4,3 persen.
Fenomena ini memberikan gambaran yang menyedihkan karena pelaksanaan Pemilu Legislatif 2019 dengan Pilkada 2020 hanya berjarak waktu satu tahun empat bulan. Dalam jangka waktu tersebut sudah terjadi pergeseran peningkatan sikap menerima atau toleran terhadap praktik politik uang yang dari awal menolak sebesar 68,1 persen pada 2019 menjadi 41,8 persen pada 2020.
Baca juga: KIP Aceh: Pemilih jangan terjebak politik uang pada Pemilu 2024
Di saat bersamaan, publik menganggap politik uang merupakan tindakan yang wajar, juga terus bertambah dari posisi 17,1 persen pada Pemilu Legislatif 2019 meningkat menjadi 34,3 persen di Pilkada 2020.
Jika diuraikan dalam kelompok umur, komposisi ini bisa dipetakan menjadi, kelompok pemilih pemula (usia 17- 20 tahun) memberikan respons 20 persen menganggap wajar, 70 persen menganggap tidak wajar, 6,7 persen tidak tahu, dan 3,3 persen tidak menjawab.
Kelompok pemilih muda (usia 21-30 tahun) 22,2 persen menganggap wajar, 70 persen tidak wajar, 5,6 persen tidak tahu, 2,2 persen tidak memberikan jawaban, sedangkan pada kelompok pemilih usia 31-40 tahun 29,8 persen menganggap praktik politik uang wajar, 65,5 persen menganggap tidak wajar, 1,2 persen tidak tahu dan 3,6 persen tidak merespons.
Dari data yang tersaji, fenomena ini semakin menegaskan bahwa praktik politik uang telah diterima di berbagai momentum politik yang ada. Fakta ini menjadi potret buram bagi perjalanan demokrasi lokal.
Putus mata rantai
Dosen Ilmu Politik FISIP UBB sekaligus peneliti di Yayasan Kapong Sebubong Indonesia Ranto, MA menyatakan salah satu elemen paling penting dalam demokrasi adalah pelaku, dan untuk menghambat laju praktik politik uang, maka perlu segera memutus mata rantainya (supply-side dan demand-side).
Tindakan ini merupakan pilihan logis karena aktor yang berperan sebagai supply-side (peserta pemilu) perlu dibatasi area manuvernya, begitu juga dengan aktor lainnya yang memosisikan diri sebagai demand-side (pemilih) harus dipersempit ruang geraknya.
"Kita perlu mengingatkan sekaligus menyadarkan peserta pemilu (partai politik, politisi) dari bahayanya praktik politik uang bagi kehidupan demokrasi di Indonesia," kata Ranto.
Institusi politik harus terus disadarkan agar bisa bersama-sama mengikis terjadinya praktik politik uang agar tidak menjadi permasalahan utama yang menyebabkan semakin mengakarnya praktik politik uang yang terjadi saat ini.
Selanjutnya, hal lainnya yang tersisa untuk dilakukan adalah menyadarkan para pemilih agar semakin bertanggung jawab dengan cara meningkatkan kualitas pemilih, baik dari sisi democratic mind (gagasan demokrasi), democratic attitude (perilaku demokratis) dan democratic skill (kemampuan berdemokrasi).
Baca juga: Bawaslu: Politik uang racun dalam berdemokrasi
Ketika ada pemilih yang tidak setuju dengan praktik politik uang, maka pemilih tersebut sedang berada di arena gagasan demokrasi, berikutnya, adanya pemilih yang patuh dan taat terhadap aturan-aturan yang berkaitan dengan pelarangan terhadap politik uang merupakan wujud dari kesadaran perilaku demokrasi, sedangkan bagi pemilih yang berusaha untuk mencegah praktik politik uang, pemilih tadi menjadi bagian dari kemampuan demokrasi.
Inilah yang akan menentukan masa depan demokrasi kita dalam godaan dan jeratan politik uang yang semakin tumbuh subur dewasa ini. Bagi kita yang hanya terkurung dalam gagasan demokrasi saja, tidak mau menyelaraskannya dengan perilaku dan kemampuan berdemokrasi, maka langkah kita melawan praktik politik uang pasti akan kalah.
Jika mengharapkan proses demokrasi tidak dicederai oleh jual-beli suara, maka jangan pernah memisahkan tiga hal penting tersebut, jangan sampai hanya karena ide-ide tentang pencegahan praktik politik uang tidak disetujui, maka terjadi sikap pembiaran.
Oleh karena itu, menyatukan tiga elemen tadi harus terus diedukasikan ke semua kelompok pemilih yang ada di Indonesia agar menjadi pemilih yang bertanggung jawab, yang berkomitmen untuk menolak dan melawan praktik politik uang.
Peran pemuda
Berdasarkan data Daftar Pemilih Tetap Pemilu 2024 dari KPU Kabupaten Bangka Barat, jumlah pemilih di daerah itu sebanyak 148.424 orang. Dari total pemilih itu terdapat pemilih milenial (kelahiran 1981-1996) sebanyak 54.513 (36 persen) dan pemilih dari kelompok generasi Z (lahir antara 1997-2012) yang memiliki hak pilih sebanyak 38.386 (25 persen).
Dengan jumlah persentase pemilih usia 17 hingga 43 tahun yang mencapai 61 persen, sudah jelas pemilih kelompok ini memiliki nilai tawar tinggi sebagai penentu pada Pemilu 2024.
Wakil Bupati Bangka Barat Bong Ming Ming mengatakan masyarakat, khususnya dari kelompok pemuda, memiliki peran besar untuk menghadirkan pemimpin yang baik dan memiliki integritas serta bebas korupsi.
Jika sejak awal pencalonan dalam mencari jabatan politik sudah melakukan hal yang salah dengan melakukan praktik politik uang, maka calon tersebut sudah masuk dalam kategori melakukan korupsi karena membeli suara masyarakat untuk meraup suara.
Untuk itu dibutuhkan edukasi mendalam dan menyeluruh agar pemilih, terutama para pemuda, agar mampu menjadi contoh dalam membentengi diri tidak masuk dalam lingkaran praktik politik uang.
Selain itu pemuda juga memiliki kewajiban meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia dengan cara melawan politik uang, isu SARA atau politik identitas dan berita bohong yang akan memecah belah kesatuan bangsa.
Praktik politik uang adalah musuh bersama, tugas kita sebagai pemuda harus mampu melawan, mencabut sampai ke akar-akarnya. Begitu juga dengan politik identitas dan penyebaran berita bohong.
Baca juga: Anggota DPR dukung Bawaslu tegas menindak politik uang
Sejalan dengan itu, Ketua DPD KNPI Bangka Barat Riandi mengatakan pemuda juga wajib berperan aktif dalam menciptakan pemilu damai karena hal ini bukan hanya tanggung jawab TNI/Polri serta pemerintah daerah.
Para pemuda wajib ikut terpanggil dan berperan aktif di dalamnya. Ini bentuk komitmen kita untuk ikut terjun langsung menciptakan Pemilu 2024 damai, tidak mengedepankan politik identitas, menyebar berita bohong, dan melawan praktik politik uang.
Saat ini masyarakat Bangka Barat sudah cerdas dan pintar dalam berdemokrasi dan menentukan hak pilih yang sesuai dengan hati nurani, tanpa terpengaruh dengan berbagai praktik politik negatif tersebut.
Para pemuda harus mampu bertahan dan terus menerus secara konsisten menciptakan pemilu yang damai, cerdas, dan bermartabat agar mampu menghasilkan pemimpin ideal untuk masa depan yang gemilang.
Pemuda perlu membekali diri dengan pengetahuan dan pemahaman politik menyeluruh agar mampu memberikan edukasi kepada masyarakat dan menuntun pemilih secara bebas menentukan pilihan sesuai kapasitas dan kapabilitas calon.
Gerakan pemuda untuk menolak praktik politik uang, penyebaran hoaks, dan politik identitas perlu terus digalang, mulai dari tingkat dusun, desa, kecamatan, hingga kabupaten agar menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang bersih.
Selain itu, pemuda juga memiliki tugas untuk mengawal dan mengawasi jalannya Pemilu 2024 agar bersih dari praktik politik uang, politik identitas, dan penyebaran hoaks.
Kita terus mendorong agar para peserta pemilu melakukan pernyataan sikap perlawanan terhadap politik identitas, penyebaran hoaks, dan memiliki semangat yang sama dalam melawan praktik politik uang.
Sudah saatnya seluruh kontestan Pemilu 2024 bersaing secara jujur tanpa unsur permainan uang, dengan mengedepankan gagasan dan ide, menawarkan konsep orisinal yang kreatif, inovatif, dan inspiratif agar dilirik pemilih.
Perlu ikhtiar bersama agar gerakan menolak politik uang, politik identitas, dan penyebaran hoaks menjadi gerakan sistematis dan terukur, sehingga para pemilih menjadi berdaulat yang mampu menjadi pondasi ketahanan demokrasi kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023