Perusahaan yang bergerak di sektor industri tambang kerap kali dicap sebagai perusak lingkungan. Bahkan lebih dari itu, perusahaan tambang dianggap paling berperan menghilangkan habitat bagi sejumlah satwa liar yang selama ini mendiami hutan, sebelum bahan tambang yang terkandung di dalam tanah digali atau dieksploitasi.

Akibatnya, sering terjadi konflik antara perusahaan tambang dengan masyarakat sekitar. Tak jarang konflik pun bukan hanya sekadar isu pelestarian lingkungan, namun melebar kemana-mana, dari mulai isu penguasaan tanah ulayat (hak milik adat) sampai soal kontribusi bagi lingkungan masyarakat di sekitar areal tambang.

Kondisi ini diperparah dengan tidak seimbangnya informasi yang disampaikan kepada masyarakat.

Akibatnya konflik di antara keduanya makin meruncing, aksi-aksi unjuk rasa dengan berbagai motif dan tujuan pun digelar. Tak puas hanya di tingkat daerah, aksi serupa dilakukan di tingkat nasional, bahkan hingga internasional.

Namun, seiring perjalanan waktu dan makin ketatnya aturan dan regulasi pertambangan yang dikeluarkan pemerintah,
perusahaan-perusahaan tambang utamanya yang masuk katagori besar, sekarang ini lebih arif lagi dalam mengeksploitasi sumber daya alam.

Bekas-bekas areal tambang yang persediaan sumber daya alam mulai menipis dan tak mungkin lagi dieksploitasi, tidak lantas dibiarkan atau ditinggalkan begitu saja, tapi dihijaukan lagi, meski hasilnya tidak bisa mencapai 100 persen atau seperti sediakala.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Kepala Bagian Ekologi dan Manajemen Satwa Liar Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Prof Ani Mardiastuti, mengatakan bahwa perusahaan tambang sekarang sudah tak bisa lagi mengesampingkan permasalahan pelestarian lingkungan di wilayah yang dieksploitasinya.

Pakar yang rajin meneliti keanekaragaman hayati di bekas areal tambang, termasuk tambang yang berlokasi di kawasan Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, ini masih dapat menemukan berbagai spesies burung, serangga, mamalia dan reptil di lokasi-lokasi bekas tambang.

"Kawasan Citeureup dikenal dengan industri beratnya, sebagian besar orang mungkin menganggap udara di Kecamatan Citeureup itu tak layak dihirup, karena sudah bercampur dengan debu dan asap yang dihasilkan aktivitas produksi dari sejumlah perusahaan," katanya.

Ia tidak menyangka di areal bekas tambang, ternyata masih ada sejumlah spesies satwa liar. 

"Ini menandakan bahwa kualitas udara di sekitar areal pertambangan masih layak, sekaligus menjadi bukti tingkat pencemaran atau polusi udaranya masih di bawah ambang batas aman," kata pendiri Perhimpunan Burung Indonesia, sebuah organisasi nirlaba yang mengkhususkan gerakan pada penyelamatan burung dan habitatnya di Indonesia.

Dari hasil penelitian yang dilakukannya di sekitar areal tambang itu masih banyak pakan burung.

"Ini yang membuat kami gembira, karena burung-burung yang menjadi ciri khas daerah Citeureup masih ada, malah saya juga sempat melihat beberapa ekor elang hitam dan elang ular bido, yang termasuk spesies burung langka dan dilindungi," katanya.

Mengembalikan areal bekas tambang itu diakui bukanlah pekerjaan mudah. Selain butuh anggaran besar juga diperlukan adanya dukungan  kebijakan dari pemimpin tertinggi perusahaan.

"Kalau pimpinan tertinggi perusahaan bersikap masa bodoh atau 'cuek', sebagus apapun program untuk pelestarian lingkungan di areal bekas tambang tak akan berhasil," katanya.

Ia menambahkan pelestarian lingkungan di areal bekas tambang, bukan semata-mata untuk menggugurkan kewajiban, lantaran adanya perintah undang-undang saja.

"Sekarang ini, setiap perusahaan tambang, terlebih lagi perusahaan multinasional, jika tidak memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan, maka produknya akan ditolak pasar internasional," katanya.

Sumber daya alam yang ada di bumi ini memang diperuntukkan memenuhi kebutuhan manusia, tapi ia mengingatkan perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan kawasan yang ditambangnya, minimalnya hijau kembali dengan ditanami pohon-pohon yang menjadi rumah bagi satwa liar.

"Saya bukan seorang anti-tambang. Silakan saja memanfaatkan sumber daya alam, tetapi lingkungan di bekas areal tambang harus dikembalkan seperti semula," katanya.

Dalam kaitan memomrosikan keanekaragaman hayati pertambangan sebanyak lebih dari 400 proposal dari seluruh Indonesia mengikuti ajang kompetisi penelitian di area penambangan (kuari), yakni Quary Life Award (QLA) 2016, yang dimulai sejak Februari dan berakhir pada awal November ini, yang digagas PT Indocement Tunggal Prakarsa (HeidelbergCement Group).

Kompetisi ilmiah di bidang pendidikan QLA itu, kata Dirut Indocement Christian Kartawijaya, adalah upaya perusahaan itu untuk senantiasa mempromosikan keanegaragaman hayati dalam rehabilitasi di kawasan pertambangan.

"Tujuannya adalah perlindungan alam, kehutanan dan pertanian, serta pemukiman," katanya.

Proposal penelitian tersebut terbagi dalam dua kategori, yakni umum dan pelajar.

Termasuk kategori umum adalah proposal yang diajukan oleh praktisi dan peneliti, akademisi, serta mahasiswa.

Sedangkan kategori pelajar diperuntukkan bagi pelajar SMA atau sederajat.

Tujuan lainnya adalah mendukung kelestarian ekosistem di sekitarnya.

"Kami bahkan berupaya agar tercipta habitat baru bagi tumbuhan dan satwa di lahan industri," katanya.

Perusahaan yang bergerak di sektor industri tambang kerap kali dicap sebagai perusak lingkungan. Bahkan lebih dari itu, perusahaan tambang dianggap paling berperan menghilangkan habitat bagi sejumlah satwa liar yang selama ini mendiami hutan, sebelum bahan tambang yang terkandung di dalam tanah digali atau dieksploitasi.

Akibatnya, sering terjadi konflik antara perusahaan tambang dengan masyarakat sekitar. Tak jarang konflik pun bukan hanya sekadar isu pelestarian lingkungan, namun melebar kemana-mana, dari mulai isu penguasaan tanah ulayat (hak milik adat) sampai soal kontribusi bagi lingkungan masyarakat di sekitar areal tambang.

Kondisi ini diperparah dengan tidak seimbangnya informasi yang disampaikan kepada masyarakat.

Akibatnya konflik di antara keduanya makin meruncing, aksi-aksi unjuk rasa dengan berbagai motif dan tujuan pun digelar. Tak puas hanya di tingkat daerah, aksi serupa dilakukan di tingkat nasional, bahkan hingga internasional.

Namun, seiring perjalanan waktu dan makin ketatnya aturan dan regulasi pertambangan yang dikeluarkan pemerintah, perusahaan-perusahaan tambang utamanya yang masuk katagori besar, sekarang ini lebih arif lagi dalam mengeksploitasi sumber daya alam.

Bekas-bekas areal tambang yang persediaan sumber daya alam mulai menipis dan tak mungkin lagi dieksploitasi, tidak lantas dibiarkan atau ditinggalkan begitu saja, tapi dihijaukan lagi, meski hasilnya tidak bisa mencapai 100 persen atau seperti sediakala.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Kepala Bagian Ekologi dan Manajemen Satwa Liar Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Prof Ani Mardiastuti, mengatakan bahwa perusahaan tambang sekarang sudah tak bisa lagi mengesampingkan permasalahan pelestarian lingkungan di wilayah yang dieksploitasinya.

Pakar yang rajin meneliti keanekaragaman hayati di bekas areal tambang, termasuk tambang yang berlokasi di kawasan Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, ini masih dapat menemukan berbagai spesies burung, serangga, mamalia dan reptil di lokasi-lokasi bekas tambang.

"Kawasan Citeureup dikenal dengan industri beratnya, sebagian besar orang mungkin menganggap udara di Kecamatan Citeureup itu tak layak dihirup, karena sudah bercampur dengan debu dan asap yang dihasilkan aktivitas produksi dari sejumlah perusahaan," katanya.

Ia tidak menyangka di areal bekas tambang, ternyata masih ada sejumlah spesies satwa liar. "Ini menandakan bahwa kualitas udara di sekitar areal pertambangan masih layak, sekaligus menjadi bukti tingkat pencemaran atau polusi udaranya masih di bawah ambang batas aman," kata pendiri Perhimpunan Burung Indonesia, sebuah organisasi nirlaba yang mengkhususkan gerakan pada penyelamatan burung dan habitatnya di Indonesia.

Dari hasil penelitian yang dilakukannya di sekitar areal tambang itu masih banyak pakan burung.

"Ini yang membuat kami gembira, karena burung-burung yang menjadi ciri khas daerah Citeureup masih ada, malah saya juga sempat melihat beberapa ekor elang hitam dan elang ular bido, yang termasuk spesies burung langka dan dilindungi," katanya.

Mengembalikan areal bekas tambang itu diakui bukanlah pekerjaan mudah. Selain butuh anggaran besar juga diperlukan adanya dukungan  kebijakan dari pemimpin tertinggi perusahaan.

"Kalau pimpinan tertinggi perusahaan bersikap masa bodoh atau 'cuek', sebagus apapun program untuk pelestarian lingkungan di areal bekas tambang tak akan berhasil," katanya.

Ia menambahkan pelestarian lingkungan di areal bekas tambang, bukan semata-mata untuk menggugurkan kewajiban, lantaran adanya perintah undang-undang saja.

"Sekarang ini, setiap perusahaan tambang, terlebih lagi perusahaan multinasional, jika tidak memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan, maka produknya akan ditolak pasar internasional," katanya.

Sumber daya alam yang ada di bumi ini memang diperuntukkan memenuhi kebutuhan manusia, tapi ia mengingatkan perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan kawasan yang ditambangnya, minimalnya hijau kembali dengan ditanami pohon-pohon yang menjadi rumah bagi satwa liar.

"Saya bukan seorang anti-tambang. Silakan saja memanfaatkan sumber daya alam, tetapi lingkungan di bekas areal tambang harus dikembalkan seperti semula," katanya.

Dalam kaitan memomrosikan keanekaragaman hayati pertambangan sebanyak lebih dari 400 proposal dari seluruh Indonesia mengikuti ajang kompetisi penelitian di area penambangan (kuari), yakni Quary Life Award (QLA) 2016, yang dimulai sejak Februari dan berakhir pada awal November ini, yang digagas PT Indocement Tunggal Prakarsa (HeidelbergCement Group).

Kompetisi ilmiah di bidang pendidikan QLA itu, kata Dirut Indocement Christian Kartawijaya, adalah upaya perusahaan itu untuk senantiasa mempromosikan keanegaragaman hayati dalam rehabilitasi di kawasan pertambangan.

"Tujuannya adalah perlindungan alam, kehutanan dan pertanian, serta pemukiman," katanya.

Proposal penelitian tersebut terbagi dalam dua kategori, yakni umum dan pelajar.

Termasuk kategori umum adalah proposal yang diajukan oleh praktisi dan peneliti, akademisi, serta mahasiswa.

Sedangkan kategori pelajar diperuntukkan bagi pelajar SMA atau sederajat.

Tujuan lainnya adalah mendukung kelestarian ekosistem di sekitarnya.

"Kami bahkan berupaya agar tercipta habitat baru bagi tumbuhan dan satwa di lahan industri," katanya.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Andi Firdaus


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016