Sebagai konsekwensi dari agenda yang presisi, Polri menegaskan semua aktivitas utamanya dalam konteks penegakan hukum dilakukan dengan berbasis profesionalisme serta pendekatan ilmiah (scientific approach), seperti kedokteran forensik dan forensik digital.

"Proses penegakan hukum dan keadilan merupakan usaha ilmiah, bukan sekedar common sense, non scientific belaka," kata Kadiv Humas Polri, Irjen Polri. Prof. Dr. Dedi Prasetyo, M.Hum., M.Si., dalam sambutannya saat membuka FGD bertema "Optimalisasi Forensik Digital Pada Penguatan Penegakan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan", di Jakarta, Kamis (4/8) siang.

Oleh karena itu, lanjut Dedi dalam sambutan tertulis yang dibacakan Karo Multimedia Humas Polri Brigjen Pol. Gatot Refli Handoko itu menegaskan, dalam penegakan keadilan yang menyangkut tubuh,  kesehatan dan nyawa manusia, bantuan dokter dengan pengetahuan ilmu kedokteran forensik dan medikolegal yang dimilikinya amat diperlukan.

Baca juga: Kondisi tidak baik, krisis pangan perlu diwaspadai

Sedangkan forensik digital mengungkap dan menafsirkan data secara elektronik, yang membutuhkan standar yang ketat untuk menghadapi pemeriksaan silang di pengadilan.

Sementara Ketua Dewan Pembina AFDI Kombes Pol. Mohammad Nuh Al Azhar, M.Sc., CHFI., CEI., ECIH., dalam paparannya menegaskan science bisa menjadikan barang bukti bicara dan menghubungkannya dengan sisi legal.

"Jadi science yang mempertanggung jawabkan temuan penyidik saat di pengadilan, terutama saat dicecar hakim," urai Nuh.

Namun Nuh menegaskan, science tidak bisa bekerja sendiri, perlu sebuah tim untuk memecahkan puzzle yang jadi pertanyaan publik.


Waspadai Informasi Sesat

Sementara pakar komunikasi Dr. Devi Rahmawati, M.Hum., mengingatkan masyarakat akan perlunya mewaspadai banjirnya informasi sesat yang disebarkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab melalui media sosial (medsos).

"Masyarakat sekarang hidup dalam rezim kecepatan informasi bukan ketepatan. Akibatnya, informasi sesat yang melimpah di media sosial diterima begitu saja, tidak disaring dengan baik," ungkap Devi.

Akademisi Universitas Indonesia ini sedih karena wajah masyarakat Indonesia di medsos lebih banyak sebagai pemarah, suka memboikot, dan cenderung langsung menghakimi tanpa data yang kuat.

Baca juga: Polri ungkap peluang penggunaan internet oleh ratusan juta warga

Meskipun sudah banyak yang ditindak secara hukum, menurut Devi, sifat dan perilaku netizen Indonesia masih tidak berubah. Akibatnya, polarisasi di masyarakat tidak hanya terjadi di politik tetapi terjadi di hampir semua sendi kehidupan.

Devi berharap adanya upaya bersama mengatasi penyebaran informasi sesat melalui medsos sebagai wujud tanggung jawab bersama untuk masa depan yang lebih baik.

Ketua Dewan Pembina AFDI Kombes Pol. Mohammad Nuh Al Azhar sepakat dengan sinyalemen Dr. Devi Rahmawati. Untuk itu Nuh berharap masyarakat bijak dalam menggunakan medsos.

"Jangan mudah memvonis atau berspekulasi jika tidak tidak memiliki data dan bahan analisa yang kuat, karena itu bisa merugikan orang lain dan diri sendiri," pungkas Nuh seraya mengingatkan bahwa jejak digital meskipun sudah dihapus masih bisa dilacak dengan science.

Pewarta: Rilis

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022