Bogor (Antara Megapolitan) - Guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Prof Ridwan mengatakan budi daya ikan sidat (Anguilla spp) memiliki potensi untuk dikembangkan di masyarakat sehingga mendorong peningkatan produksi untuk memenuhi permintaan pasar dunia yang sangat tinggi.

"Saat ini sidat hanya mampu dikembangkan oleh perusahaan skala besar, belum menyentuh skala mikro, karena teknologi yang diterapkan masih sulit diadopsi oleh masyarakat. Selain itu juga harga pakannya yang cukup mahal," katanya di Bogor, Jawa Barat, Senin.

Dikatakannya, ikan sidat banyak dikonsumsi di negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Taiwan, Tiongkok daratan, Korea dan Hong Kong. Bahkan negara Eropa, seperti Italia, Jerman, Belanda dan Prancis serta Amerika juga mengonsumsi ikan tersebut.

Jepang merupakan negara konsumen terbesar ikan sidat, yakni sekitar 130 ribu ton per tahun dari sekitar 250 ribu ton ikan sidat yang diperdagangkan di pasar dunia.

"Tingginya minat masyarakat Jepang mengonsumsi sidat bahkan ada hari khusus untuk merayakan HUT sidat, dimana dalam satu hari itu masyarakat Jepang mengonsumsi sidat," katanya.

Menurutnya, sidat memiliki kelebihan kadar lemak tidak jenuh, kaya akan EPA dan DHA, selain itu kadar vitamin A-nya dan kandungan energinya sangat tinggi. Dapat meningkatkan daya tahan tubuh.

"Makan sidat sebanyak-banyaknya tidak berbahaya, bahkan di Korea, sidat dikonsumsi khusus untuk militer, karena dapat meningkatkan daya tahan tubuh," katanya.

Dikatakannya, saat ini Indonesia baru mampu memproduksi 8.000 ton per tahun, yang seluruhnya untuk keperluan ekspor. Sementara permintaan pasar internasional sebesar 250 ribu ton. Negara maju sulit membudidayakan ikan sidat, negara-negara pengekspor mengalami penurunan tangkapan benih sehingga produksinya turun.

"Selama ini benih yang dibudidayakan adalah hasil tangkapan alam. Produksi ikan sidat di Jepang turun hingga 60 persen," katanya.

Penurunan ini mendorong negara-negara konsumen sidat mencari sumber benih baru yakni sidat tropis. Indonesia saat ini menjadi sasaran sumber benih sidat tropis strategis. Kondisi ini juga mengakibatkan harga benih ikan sidat melonjak. Sebelum terjadi penurunan produksi, semua harganya Rp200 ribu, kini menjadi Rp1,5 juta sampai Rp3,5 juta per kilo gram "glass eel"-nya (2013).

Tingginya harga dan permintaan benih mendorong para penangkap glass eel melipatgandakan upaya penangkapannya. Apabila hal ini dibiarkan maka akan mengancam kelestarian ikan sidat di Indonesia.

"Bagi Jepang, angka ini sangat murah. Sehingga banyak yang menyelundupkan benih ikan sidat ke luar negeri," katanya.

Sebagai upaya antisipasi, lanjut dia, Pemerintah Indonesia telah melarang ekspor benih ikan sidat melalui peraturan menteri yang dikeluarkan oleh Kementerian Keluatan dan Perikanan serta Menteri Perdagangan.

Pelarangan ini, lanjut dia, hendaknya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan budi daya skala mikro agar produksi sidat Indonesia dapat meningkat. Disamping itu, konsumsi ikan sidat di Tanah Air juga harus dipacu, agar ikan yang bergizi tinggi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia.

"Persoalannya saat ini teknologi yang digunakan untuk budi daya ikan sidat tergolong tinggi dan mahal, karena harus menggunakan pendingin udara, selain itu harga pakannya juga cukup mahal mencapai Rp60 ribu per kilogramnya, begitu juga harga jual per ekor ikan sidat lebih tinggi dibanding ikan lainnya," kata dia.

Ditambahkannya, ikan sidat adalah sumber daya yang dapat pulih namun rentah punah. Dapat pulih karena mampu berkembang biak dengan jumlah telur yang lebih banyak yakni satu ekor induk mampu menghasilkan 1,5 juta- 3 juta telur. Rentan punah karena kritisnya (fase larva) snagat panjang (4-6 bulan) dan perjalanan ruayanya jauh yakni 400-1.500 km.

"Ancaman terhadap kelangsungan hidup ikan sidat beragam," kata Prof Ridwan yang menyampaikan bahan tentang Ikan Sidat dalam Orasi Guru Besar IPB pekan lalu.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015