"Setelah mendengar kasusnya akan dihentikan, Nur menangis, karena perjuangannya ada titik terang," tutur kakak Nurhayati, Junaedi (41) di Cirebon, Jawa Barat, Minggu.
Suasana di rumah Nurhayati pada Minggu (27/2) ramai dikunjungi tetangga untuk memberikan dukungan dan ucapan selamat, atas dihentikannya perkara yang menjerat Nurhayati.
Junaedi yang merupakan kakak kandung Nurhayati mengaku merasa lega setelah mendengar dan membaca berita terkait status tersangka adiknya yang segerakan dihentikan.
Bahkan saat memberi tahu bahwa kasus yang menimpanya akan dihentikan, Nurhayati langsung menangis terharu, karena apa yang diperjuangkan beberapa bulan terakhir ini berhasil.
Nurhayati saat ini masih menjalani isolasi mandiri di rumah, setelah sebelumnya dinyatakan positif COVID-19 dan keadaannya terus membaik, hanya saja belum bisa berinteraksi secara langsung.
"Nur masih isolasi, jadi belum bisa bertemu secara langsung, tapi dia sangat senang ketika mengetahui kasusnya akan diberhentikan," tuturnya.
Nurhayati merupakan bendahara desa atau Kepala Urusan (Kaur) Keuangan Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, yang menyandang status tersangka korupsi sejak akhir November 2021 lalu.
Kasus yang menjeratnya itu sontak menjadi sorotan publik, saat tersebar video pengakuan Nurhayati yang dijadikan tersangka setelah melaporkan kasus korupsi eks kepala desanya.
Setelah video tersebut viral, Polres Cirebon Kota yang menanganinya langsung menggelar jumpa pers terkait penetapan tersangka Nurhayati.
Nurhayati diduga melanggar Pasal 66 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Karena dia memberikan uang dana desa langsung ke Kepala Desa Supriyadi, bukan ke kaur dan kepala seksi pelaksana kegiatan, sehingga menimbulkan kerugian negara.
Atas dasar aturan tersebut, Nurhayati ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, meskipun dirinya sama sekali tidak memakan uang haram itu.
"Penetapan saudari Nurhayati sebagai tersangka juga sudah sesuai kaidah hukum. Berdasarkan petunjuk yang diberikan jaksa penuntut umum," kata Kapolres Cirebon Kota AKBP Fahri Siregar saat jumpa pers beberapa waktu lalu.
Baca juga: Selewengkan dana desa Rp685 juta, Polres Sukabumi tahan mantan Kades Kademangan
Bongkar korupsi desa
Kasus korupsi yang menjerat eks Kepala Desa Citemu Supriyadi, terbongkar setelah Nurhayati melaporkan tindakan atasannya ke Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Citemu Lukman Nurhakim, melalui sebuah surat yang ditulis tangan dan bermaterai.
Isi surat tersebut menceritakan keluh kesah Nurhayati, selama menjadi kaur desa setempat, di mana ada beberapa program desa tidak dijalankan, dan uang yang telah dicairkan untuk program itu justru masuk ke kantong pribadi sang kepala desa.
Tindakan kepala desa bukan hanya sekali, namun berlangsung beberapa kali, dengan total uang desa yang masuk kantong pribadi mencapai Rp818 juta.
Laporan Nurhayati melalui surat ke Ketua BPD Citemu, menjadi titik balik terbongkarnya kasus korupsi dana desa yang merugikan negara.
"Kalau tidak ada Nurhayati, maka kasus korupsi yang dilakukan Supriyadi tidak akan terbongkar," kata Ketua BPD Citemu, Kabupaten Cirebon Lukman Nurhakim.
Untuk itu ia sangat mengapresiasi keberanian Nurhayati yang mau membongkar, dan menyerahkan data kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Supriyadi.
Akan tetapi setelah kasus itu masuk ranah hukum, pihaknya dibuat kaget, pasalnya orang yang telah membongkar kasus korupsi dana desa malah ikut ditetapkan sebagai tersangka.
Baca juga: Korupsi, Kepala Desa Sukawangi periode 2015-2020 jadi tersangka
Kurang bukti
Kasus Nurhayati memang menjadi isu yang cukup menarik beberapa hari ini, baik di media masa maupun media sosial, karena kasus itu dirasa janggal.
Bahkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai penetapan tersangka terhadap Nurhayati yang menjadi pelapor dugaan korupsi dana desa merupakan suatu preseden buruk bagi penegak hukum.
Karena penetapan tersangka terhadap Nurhayati dikhawatirkan menghambat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Tanah Air terutama mengenai kasus dana desa.
"Ini (penetapan tersangka Nurhayati) tentu menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi," kata Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution.
Apalagi kata Nasution, Nurhayati menjalankan tugasnya sebagai bendahara desa atau Kaur Keuangan Desa sesuai tugas pokok dan fungsi, yakni mencairkan anggaran dana desa di bank, dan sudah mendapatkan rekomendasi camat serta Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD), seharusnya yang bersangkutan tidak boleh dipidana.
Karena menurutnya Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana. Justru, sebagai pelapor, sejatinya Nurhayati harus diapresiasi.
"Kasus ini membuat para pihak yang mengetahui tindak pidana korupsi tidak akan berani melapor, karena takut jadi tersangka seperti yang dialami Nurhayati," ujarnya.
Ia menilai penetapan status tersangka yang disematkan kepada pelapor kasus korupsi dana desa itu telah mencederai akal sehat, keadilan hukum dan keadilan publik.
Setelah mendapat atensi dari berbagai pihak, kemudian Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri kembali melakukan gelar perkara kasus Nurhayati yang berlangsung, Jumat (25/2) di Biro Pengawas Penyidik (Wassidik).
Di mana hasilnya menyatakan bahwa penyidik Polres Cirebon Kota tak memiliki cukup bukti menetapkan Nurhayati sebagai tersangka dugaan korupsi dana desa.
"Hasil gelarnya tidak cukup bukti sehingga tahap 2-nya (ke kejaksaan) tidak dilakukan, kata Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Pol Agus Andrianto.
Baca juga: Tilap dana bansos, oknum staf desa di Bogor terancam hukuman lima tahun (video)
Nurhayati sebagai panutan
Kasus Nurhayati harus menjadi perhatian semua penegak hukum, agar tidak mudah menyematkan tersangka, apalagi kepada orang yang telah berupaya membongkar kasus korupsi.
Meskipun dalam kasus tersebut, Nurhayati memang tidak menjadi pelapor secara langsung ke Polisi terkait kasus korupsi yang dilakukan oleh atasannya. Namun ketika tidak ada keberanian seperti yang dilakukan Nurhayati, maka tidak akan terungkap kasus tersebut.
Mungkin saat ini banyak kasus serupa yang terjadi, dan Nurhayati seharusnya menjadi contoh bagi semua orang yang cinta Tanah Airnya untuk mengungkapkan kebenaran.
Karena ketika kebenaran tidak diungkapkan, maka kejahatan akan semakin marak, dan imbasnya sangat besar bagi kedaulatan negara.
Sehingga tepat bila Polri segera mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Nurhayati, agar masyarakat yang akan membongkar kasus korupsi di instansi mana pun berani, karena percaya negara akan melindunginya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022
Suasana di rumah Nurhayati pada Minggu (27/2) ramai dikunjungi tetangga untuk memberikan dukungan dan ucapan selamat, atas dihentikannya perkara yang menjerat Nurhayati.
Junaedi yang merupakan kakak kandung Nurhayati mengaku merasa lega setelah mendengar dan membaca berita terkait status tersangka adiknya yang segerakan dihentikan.
Bahkan saat memberi tahu bahwa kasus yang menimpanya akan dihentikan, Nurhayati langsung menangis terharu, karena apa yang diperjuangkan beberapa bulan terakhir ini berhasil.
Nurhayati saat ini masih menjalani isolasi mandiri di rumah, setelah sebelumnya dinyatakan positif COVID-19 dan keadaannya terus membaik, hanya saja belum bisa berinteraksi secara langsung.
"Nur masih isolasi, jadi belum bisa bertemu secara langsung, tapi dia sangat senang ketika mengetahui kasusnya akan diberhentikan," tuturnya.
Nurhayati merupakan bendahara desa atau Kepala Urusan (Kaur) Keuangan Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, yang menyandang status tersangka korupsi sejak akhir November 2021 lalu.
Kasus yang menjeratnya itu sontak menjadi sorotan publik, saat tersebar video pengakuan Nurhayati yang dijadikan tersangka setelah melaporkan kasus korupsi eks kepala desanya.
Setelah video tersebut viral, Polres Cirebon Kota yang menanganinya langsung menggelar jumpa pers terkait penetapan tersangka Nurhayati.
Nurhayati diduga melanggar Pasal 66 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Karena dia memberikan uang dana desa langsung ke Kepala Desa Supriyadi, bukan ke kaur dan kepala seksi pelaksana kegiatan, sehingga menimbulkan kerugian negara.
Atas dasar aturan tersebut, Nurhayati ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, meskipun dirinya sama sekali tidak memakan uang haram itu.
"Penetapan saudari Nurhayati sebagai tersangka juga sudah sesuai kaidah hukum. Berdasarkan petunjuk yang diberikan jaksa penuntut umum," kata Kapolres Cirebon Kota AKBP Fahri Siregar saat jumpa pers beberapa waktu lalu.
Baca juga: Selewengkan dana desa Rp685 juta, Polres Sukabumi tahan mantan Kades Kademangan
Bongkar korupsi desa
Kasus korupsi yang menjerat eks Kepala Desa Citemu Supriyadi, terbongkar setelah Nurhayati melaporkan tindakan atasannya ke Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Citemu Lukman Nurhakim, melalui sebuah surat yang ditulis tangan dan bermaterai.
Isi surat tersebut menceritakan keluh kesah Nurhayati, selama menjadi kaur desa setempat, di mana ada beberapa program desa tidak dijalankan, dan uang yang telah dicairkan untuk program itu justru masuk ke kantong pribadi sang kepala desa.
Tindakan kepala desa bukan hanya sekali, namun berlangsung beberapa kali, dengan total uang desa yang masuk kantong pribadi mencapai Rp818 juta.
Laporan Nurhayati melalui surat ke Ketua BPD Citemu, menjadi titik balik terbongkarnya kasus korupsi dana desa yang merugikan negara.
"Kalau tidak ada Nurhayati, maka kasus korupsi yang dilakukan Supriyadi tidak akan terbongkar," kata Ketua BPD Citemu, Kabupaten Cirebon Lukman Nurhakim.
Untuk itu ia sangat mengapresiasi keberanian Nurhayati yang mau membongkar, dan menyerahkan data kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Supriyadi.
Akan tetapi setelah kasus itu masuk ranah hukum, pihaknya dibuat kaget, pasalnya orang yang telah membongkar kasus korupsi dana desa malah ikut ditetapkan sebagai tersangka.
Baca juga: Korupsi, Kepala Desa Sukawangi periode 2015-2020 jadi tersangka
Kurang bukti
Kasus Nurhayati memang menjadi isu yang cukup menarik beberapa hari ini, baik di media masa maupun media sosial, karena kasus itu dirasa janggal.
Bahkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai penetapan tersangka terhadap Nurhayati yang menjadi pelapor dugaan korupsi dana desa merupakan suatu preseden buruk bagi penegak hukum.
Karena penetapan tersangka terhadap Nurhayati dikhawatirkan menghambat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Tanah Air terutama mengenai kasus dana desa.
"Ini (penetapan tersangka Nurhayati) tentu menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi," kata Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution.
Apalagi kata Nasution, Nurhayati menjalankan tugasnya sebagai bendahara desa atau Kaur Keuangan Desa sesuai tugas pokok dan fungsi, yakni mencairkan anggaran dana desa di bank, dan sudah mendapatkan rekomendasi camat serta Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD), seharusnya yang bersangkutan tidak boleh dipidana.
Karena menurutnya Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana. Justru, sebagai pelapor, sejatinya Nurhayati harus diapresiasi.
"Kasus ini membuat para pihak yang mengetahui tindak pidana korupsi tidak akan berani melapor, karena takut jadi tersangka seperti yang dialami Nurhayati," ujarnya.
Ia menilai penetapan status tersangka yang disematkan kepada pelapor kasus korupsi dana desa itu telah mencederai akal sehat, keadilan hukum dan keadilan publik.
Setelah mendapat atensi dari berbagai pihak, kemudian Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri kembali melakukan gelar perkara kasus Nurhayati yang berlangsung, Jumat (25/2) di Biro Pengawas Penyidik (Wassidik).
Di mana hasilnya menyatakan bahwa penyidik Polres Cirebon Kota tak memiliki cukup bukti menetapkan Nurhayati sebagai tersangka dugaan korupsi dana desa.
"Hasil gelarnya tidak cukup bukti sehingga tahap 2-nya (ke kejaksaan) tidak dilakukan, kata Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Pol Agus Andrianto.
Baca juga: Tilap dana bansos, oknum staf desa di Bogor terancam hukuman lima tahun (video)
Nurhayati sebagai panutan
Kasus Nurhayati harus menjadi perhatian semua penegak hukum, agar tidak mudah menyematkan tersangka, apalagi kepada orang yang telah berupaya membongkar kasus korupsi.
Meskipun dalam kasus tersebut, Nurhayati memang tidak menjadi pelapor secara langsung ke Polisi terkait kasus korupsi yang dilakukan oleh atasannya. Namun ketika tidak ada keberanian seperti yang dilakukan Nurhayati, maka tidak akan terungkap kasus tersebut.
Mungkin saat ini banyak kasus serupa yang terjadi, dan Nurhayati seharusnya menjadi contoh bagi semua orang yang cinta Tanah Airnya untuk mengungkapkan kebenaran.
Karena ketika kebenaran tidak diungkapkan, maka kejahatan akan semakin marak, dan imbasnya sangat besar bagi kedaulatan negara.
Sehingga tepat bila Polri segera mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Nurhayati, agar masyarakat yang akan membongkar kasus korupsi di instansi mana pun berani, karena percaya negara akan melindunginya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022