Sebuah kawasan lindung bagi perikanan rajungan (Portunus pelagicus) digagas di Pulau Talango, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
"Melalui program pembangunan kembali stok (stock rebuilding) dilakukan dengan menginisiasi pembentukan kawasan lindung rajungan di Pulau Talango, Sumenep dan restocking atau penebaran benih rajungan di kelompok usaha bersama (KUB) atau kelompok nelayan yang mengusulkan," kata
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) yang juga pakar perikanan dan kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) University Dr Ir Hawis Madduppa, M.Sc di Bogor, Jawa Barat, Minggu.
Hawis yang baru mengikuti kegiatan itu menjelaskan gagasan itu lahir dari poin-poin utama rencana aksi pengelolaan rajungan pada Pertemuan Pengelolaan Rajungan Provinsi Jawa Timur di Surabaya, pada Jumat (5/11).
Baca juga: Nelayan rajungan Indonesia telah dibantu dengan teknologi TREKFish
Acara yang dilakukan secara hibrida, yakni luring dan daring itu, diikuti oleh seluruh pemangku kepentingan perikanan rajungan terkait, mulai dari nelayan, pengelola (miniplant), Unit Pengolah Ikan (UPI) "Pasteurized Crab Meat", Dinas Kelautan Perikanan (DKP) dan UPT di lingkungan DKP Jatim dan Cabang Dinas KP kabupaten/kota, akademisi/universitas, LSM/mitra, MSC Indonesia, penasihat dan staf Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) serta Sustainable Envoy NFI Crab Council.
Pertemuan itu menghasilkan outcome Pengesahan Rencana Aksi dan Kaidah Pengendalian Perikanan Rajungan (Harvest Control Rule) di Provinsi Jatim lainnya, yakni pembinaan dan peningkatan kapasitas kelembagaan nelayan rajungan dalam bentuk
KUB.
Selain itu, juga program konservasi, yakni pengembalian rajungan bertelur ke habitat alaminya di laut dengan melibatkan KUB/kelompok nelayan dengan sistem reward.
Pada kegiatan yang dibuka oleh Kepala DKP Jatim Dyah Wahyu Ermawati, yang diwakili oleh Sekretaris DKP Jatim Evy Afianasari itu juga menyepakati monitoring dan evaluasi terhadap Rencana Aksi dan Kaidah Pengendalian akan dilakukan setiap tiga bulan sekali.
Baca juga: Indonesia kini miliki pusat data rajungan berbasis platform digital
Pertemuan triwulan itu untuk evaluasi Harvest Strategy dan Harvest Control Rule untuk menetapkan status perikanan rajungan.
Kemudian, pendataan hasil tangkapan rajungan dalam sistem dokumen kontrol, termasuk pemetaan wilayah penting rajungan di Jatim.
Hal itu, katanya, sekaligus sebagai bagian program pemenuhan keamanan pangan dan ketertelusuran yang dibutuhkan oleh pasar global.
Poin lainnya, menurut dia, adalah perbaikan ekosistem mangrove dan vegetasi pantai.
"Dan program kolaborasi lain yang akan disusulkan kemudian," kata Hawis.
Selain itu, katanya, pendataan hasil tangkapan dengan menargetkan lokasi pendaratan penting, di mana hasil ini akan memberikan nilai rasio potensi pemijahan (Spawning Potential Ratio/SPR)
yang dipersyaratkan minimal 20 persen dan ditargetkan menjadi 30 persen pada Tahun 2024, dan nilai SPR akan dievaluasi setiap tiga bulan.
Baca juga: Perikanan rajungan Indonesia berkelanjutan dapat bantuan OSF Rp900 juta
Selanjutnya, adanya bantuan dan sosialisasi penggunaan alat tangkap ramah lingkungan dengan ukuran mata jaring (mesh size) 3.5-4.5 inch untuk jaring dan 1.25-1.50 inch untuk bubu dengan celah pelolosan (escape vent) agar diperoleh ukuran minimal 10 cm lebar karapas atau ≥60 gr/ekor.
Nelayan juga akan dilatih untuk membuat alat tangkap sesuai kriteria tersebut.
Lalu, dilakukan sosialisasi dan implementasi "Gerakan Tangkap Kembalikan sebelum 5 Menit" (GTK5) dan apartemen rajungan.
"Di samping itu, program pendaftaran kapal (PAS Kecil) dan program pendampingan pra-Sertifikasi Kelayakan Pengolahan (SKP)," demikian Hawis Maddupa.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021
"Melalui program pembangunan kembali stok (stock rebuilding) dilakukan dengan menginisiasi pembentukan kawasan lindung rajungan di Pulau Talango, Sumenep dan restocking atau penebaran benih rajungan di kelompok usaha bersama (KUB) atau kelompok nelayan yang mengusulkan," kata
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) yang juga pakar perikanan dan kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) University Dr Ir Hawis Madduppa, M.Sc di Bogor, Jawa Barat, Minggu.
Hawis yang baru mengikuti kegiatan itu menjelaskan gagasan itu lahir dari poin-poin utama rencana aksi pengelolaan rajungan pada Pertemuan Pengelolaan Rajungan Provinsi Jawa Timur di Surabaya, pada Jumat (5/11).
Baca juga: Nelayan rajungan Indonesia telah dibantu dengan teknologi TREKFish
Acara yang dilakukan secara hibrida, yakni luring dan daring itu, diikuti oleh seluruh pemangku kepentingan perikanan rajungan terkait, mulai dari nelayan, pengelola (miniplant), Unit Pengolah Ikan (UPI) "Pasteurized Crab Meat", Dinas Kelautan Perikanan (DKP) dan UPT di lingkungan DKP Jatim dan Cabang Dinas KP kabupaten/kota, akademisi/universitas, LSM/mitra, MSC Indonesia, penasihat dan staf Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) serta Sustainable Envoy NFI Crab Council.
Pertemuan itu menghasilkan outcome Pengesahan Rencana Aksi dan Kaidah Pengendalian Perikanan Rajungan (Harvest Control Rule) di Provinsi Jatim lainnya, yakni pembinaan dan peningkatan kapasitas kelembagaan nelayan rajungan dalam bentuk
KUB.
Selain itu, juga program konservasi, yakni pengembalian rajungan bertelur ke habitat alaminya di laut dengan melibatkan KUB/kelompok nelayan dengan sistem reward.
Pada kegiatan yang dibuka oleh Kepala DKP Jatim Dyah Wahyu Ermawati, yang diwakili oleh Sekretaris DKP Jatim Evy Afianasari itu juga menyepakati monitoring dan evaluasi terhadap Rencana Aksi dan Kaidah Pengendalian akan dilakukan setiap tiga bulan sekali.
Baca juga: Indonesia kini miliki pusat data rajungan berbasis platform digital
Pertemuan triwulan itu untuk evaluasi Harvest Strategy dan Harvest Control Rule untuk menetapkan status perikanan rajungan.
Kemudian, pendataan hasil tangkapan rajungan dalam sistem dokumen kontrol, termasuk pemetaan wilayah penting rajungan di Jatim.
Hal itu, katanya, sekaligus sebagai bagian program pemenuhan keamanan pangan dan ketertelusuran yang dibutuhkan oleh pasar global.
Poin lainnya, menurut dia, adalah perbaikan ekosistem mangrove dan vegetasi pantai.
"Dan program kolaborasi lain yang akan disusulkan kemudian," kata Hawis.
Selain itu, katanya, pendataan hasil tangkapan dengan menargetkan lokasi pendaratan penting, di mana hasil ini akan memberikan nilai rasio potensi pemijahan (Spawning Potential Ratio/SPR)
yang dipersyaratkan minimal 20 persen dan ditargetkan menjadi 30 persen pada Tahun 2024, dan nilai SPR akan dievaluasi setiap tiga bulan.
Baca juga: Perikanan rajungan Indonesia berkelanjutan dapat bantuan OSF Rp900 juta
Selanjutnya, adanya bantuan dan sosialisasi penggunaan alat tangkap ramah lingkungan dengan ukuran mata jaring (mesh size) 3.5-4.5 inch untuk jaring dan 1.25-1.50 inch untuk bubu dengan celah pelolosan (escape vent) agar diperoleh ukuran minimal 10 cm lebar karapas atau ≥60 gr/ekor.
Nelayan juga akan dilatih untuk membuat alat tangkap sesuai kriteria tersebut.
Lalu, dilakukan sosialisasi dan implementasi "Gerakan Tangkap Kembalikan sebelum 5 Menit" (GTK5) dan apartemen rajungan.
"Di samping itu, program pendaftaran kapal (PAS Kecil) dan program pendampingan pra-Sertifikasi Kelayakan Pengolahan (SKP)," demikian Hawis Maddupa.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021