Kondisi ratusan Pustaha Laklak yang dimiliki Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara kian memprihatinkan. Tulisan aksara Batak di potongan bambu yang tersimpan di ruangan bagian teknis koleksi lantai dua bangunan belakang museum itu telah tampak buram.

Beberapa bagiannya bahkan berlubang karena dimakan rayap. Di ruangan yang sama di lantai dua gedung yang beberapa bagian plafonnya telah terkelupas dan ditandai bercak bekas air hujan, tersimpan satu tumpukan buku lama yang kertasnya telah menguning dan beberapa bagiannya koyak.

Buku-buku itu disimpan di lemari kayu berdinding kaca berukuran mini. Kondisi tersebut terpaksa ada akibat ruang penyimpanan koleksi museum penuh.

"Ruang penyimpanan koleksi kita sudah tidak memadai dibandingkan dengan jumlah koleksi yang ada, termasuk koleksi filologika," kata Koordinator Teknis Koleksi Museum Negeri Sumut Marsiria Sebayang kepada Antara yang bertandang ke kantornya, Selasa (26/5).

Kondisi koleksi Pustaha Laklak yang sudah sangat memprihatinkan dan terancam punah itu tidak hanya akibat dimakan usia, tetapi juga akibat dari kurangnya kemampuan memelihara naskah kuno warisan peradaban suku bangsa Batak itu, katanya.

"Perawatan kurang karena pendanaan yang sangat terbatas. Tidak ada alokasi dana khusus untuk merawat koleksi filologika. Akibatnya, ada naskah yang dalam setahun tidak tersentuh pemeliharaan," kata pegawai yang mengaku akan pensiun pada 2017 ini.

Di tengah ancaman terhadap keberadaan 164 naskah Pustaha Laklak dan 86 naskah Melayu beraksara Arab milik Museum Negeri Sumut itu, tampil Mehamat Br Karo Sekali yang dedikasinya dirasakan Marsiria Sebayang bak Oase yang menghidupi upaya pelestarian warisan budaya suku Batak tersebut.

Betapa tidak, Mehamat yang memulai karirnya sebagai pegawai negeri sipil di museum yang berlokasi di Jalan H.M. Joni No. 51 Medan itu sejak 1998 terlibat secara aktif dalam transliterasi dan translasi naskah-naskah Pustaha Laklak dari bahasa Batak ke bahasa Indonesia.

Dilihat dari latar belakang pendidikan sarjananya, apa yang dilakukan perempuan kelahiran Desa Seberaya, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, 12 Agustus 1965, itu sejak tahun pertama dia berkarir di Museum Negeri Sumut hingga saat ini tak sejalan.

Dikatakan tak sejalan karena, alih-alih menangani naskah-naskah kuno Melayu sesuai dengan bidang kesarjanaannya, perempuan berambut ikal yang telah dikaruniai dua orang anak ini justru menjadi salah satu dari segelintir staf museum yang terlibat aktif dalam transliterasi dan translasi Pustaha Laklak.

Selama 18 tahun masa kerjanya, Mehamat yang menamatkan strata satunya dalam Program Studi Sastra Melayu di Universitas Sumatera Utara (USU) pada 1989 itu justru menangani naskah-naskah kuno beraksara Karo, Toba, Simalungun, Pakpak Dairi, dan Angkola/Mandailing.

Bagaimana bisa? Kemampuan dirinya dalam melakukan transliterasi dan translasi naskah-naskah kuno Batak yang tertuang dalam bahan kulit kayu, tulang dan gading, bambu serta kertas itu tidak datang dengan sendirinya melainkan
diperoleh dari ketekunan dan kerja keras.

Kompetensi tersebut diperolehnya dari belajar secara otodidak yang diperkuat oleh kecintaannya pada warisan budaya leluhur etnis Batak. Pencapaian itu bermula dari tantangan Suruhen Purba, orang nomor satu di Museum Negeri Sumut saat dia masuk dan memulai karirnya sebagai PNS.

"Saya ditantang oleh Pak Suruhen Purba pas (ketika) baru masuk. Kamu ini kan dari Sastra Daerah, harus bisa. Ayo belajar!" kata Mehamat menirukan pesan bosnya kepada dia sebagai pegawai baru.


Menerima Tantangan

Menerima tantangan itu, Mehamat pun bergegas. Dia belajar dari nol. "Praktis belajar dari yang paling dasar. Sudah kayak anak-anak sekolah dasar belajar. Tapi rasa ingin tahu saya yang kuat dan keinginan untuk bisa ikut melestarikan naskah-naskah Pustaha Laklak menyemangati saya."

"Apalagi darah saya darah Batak. Jadi nyambung," kata ibu Febe Elnosa Kasih (10) dan Steven Minguel (7) ini. Setelah setengah tahun belajar secara otodidak, keberanian untuk mencoba melakukan transliterasi dan translasi naskah-naskah Pustaha Laklak mulai muncul.

"Semakin sering saya baca, semakin saya jiwai isi naskah-naskah itu. Dilihat dari segi linguistik, aksara Batak memiliki perbedaan dalam alfabet dan penulisan. Dalam aksara Karo, misalnya, dikenal `ca` sedangkan askara Toba mengenal `sa`," katanya.

Jika dikelompokkan, terlihat askara Simalungun, Pakpak Dairi dan Karo "hampir sama" namun terdapat perbedaan yang kuat antara askara Toba dan Angkola/Mandailing, kata Mehamat.

Bekal ilmu yang sempat ditimbanya di universitas dulu juga menolong. "Di kampus, aksara dari kelima sub-etnis Batak maupun filologi dipelajari tapi hanya sebatas mengenal karena tidak ada penanganan khusus terhadap naskah kuno yang tertulis di kulit kayu atau bambu misalnya," katanya.

Berkat kegigihannya belajar secara otodidak selama setengah tahun itu, dia mulai mendapat kepercayaan dari pimpinannya untuk dilibatkan dalam tim penerjemahan naskah Pustaha Laklak.

"Naskah pertama yang dikerjakan bersama tim adalah Batak Toba seperti transkrip naskah Batak Nomor 1894 dan 3055," katanya.

Seiring dengan bertambahnya "jam terbang" dan bak kata pepatah "Ala Bisa Karena Biasa", kemahiran Mehamat dalam menerjemahkan naskah-naskah kuno berisi kearifan lokal dan kisah-kisah tentang strategi perang, obat-obatan, dan penentuan hari baik dan buruk dalam masyarakat Batak itu pun semakin terasah.

Dia pun semakin sering dilibatkan dalam kegiatan transliterasi dan translasi naskah-naskah Pustaha Laklak yang menjadi bagian dari upaya pengembangan permuseuman di Sumut.

Di antara hasil kerjanya bersama sejawatnya, seperti Herlan Panggabean, Sekula Perangin-Angin, dan Warisman Sinaga itu telah dibukukan. Dua di antaranya adalah alih aksara dan bahasa naskah kuno-Batak Toba "Pangulubalang Sihirput" (1998/1999) dan "Transkrip Naskah Batak Nomor 1894 (1999/2000).

Dengan anggota tim yang sama, Mehamat pun berhasil merampungkan penerjemahan naskah kuno Simalungun Nomor C.77-78/6 dan C.23/77/78/15-89 serta "Transkrip Naskah Batak" Nomor 3055 (1999/2000).

Kontribusi staf Bagian Teknis Koleksi Museum Negeri Sumut ini pada penerjemahan aksara Batak ke latin dan penerjemahan bahasa Batak ke bahasa Indonesia tidak pernah berhenti. Pada 2013 misalnya, dia diikutkan dalam penyelesaian transliterasi dan penerjemahan naskah Pustaha berjudul "Tambar Ni Hulit".


Pengobatan

Dari hasil transliterasi dan translasi terhadap naskah itu, diketahui kisah tentang pengobatan masyarakat Batak di masa lalu.

Dalam salah satu bagian isi naskah "Tambar Ni Hulit" itu tertulis "Dilaho mal lomang pe na sahomhom. Iya sopuh ni tawar ta inon manuk si mabirong na buat ma sondi-sondi hini dohot arang ni ambulu ni manukhon di hubagas tawar ta inon ale.

Tabas tawar ta ma inon na margoranhon na i muyit raja ma inon.Hung eman-eman,emun-emun borhat bohang bulan mate,bohang ari mate na sumo."

Bagian itu bermakna: "Kapur Barus dan Onga (wijen). Itulah ramuan obat di atas, jangan lupa pada petunjuk ini, hal mana dipakai sebagai obat racun kusta dan lain-lain. Ramuan tersebut ditumbuk halus dan dijemur, air dari obat ini adalah air hunte hajor dan hunte jungga dan dimanterai. Wijen dan ramuan yang ditumbuk halus dicampur baru dilemang, sebagai sepuh obat ini dipotong seekor ayam hitam, dan diambil perkakas bagian dalamnya serta arang dari bulu ayam tersebut, lalu dimaksukkan ke dalam obat ini. Manteranya: hung eman-eman, emun-emun bangkit
bahang bulan mati."

Di sela tugas rutinnya selaku staf bagian teknis koleksi, ibu dua anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar ini masih menyempatkan diri untuk merampungkan penerjemahan Injil Markus dan Lukas beraksara Batak yang ditulis
orang Belanda bernama H.N.Van Der Tuuk.

"Saya sudah melakukan transliterasi terhadap naskah Injil Markus dan Lukas terbitan Amsterdam tahun 1867 itu dari aksara Batak ke Latin. Tahun terbit naskah itu terpaut sekitar 22 tahun sejak Agama Kristen masuk ke Tanah Batak pada 1845. Artinya, Van Der Tuuk belajar dulu aksara dan bahasa Batak," katanya.

Kegigihannya dalam melestarikan Pustaha Laklak dan naskah-naskah lama beraksara Batak lainnya seperti "Evangelie Van Markus" dan "Handelingen Der Apostelen" itu tidak membuatnya lupa untuk berbagi ilmu dengan generasi muda dari berbagai sub-etnis Batak.

Upaya berbagi ilmu, keterampilan, dan pengalamannya melakukan transliterasi dan translasi naskah-naskah kuno dengan generasi muda Batak itu diwujudkannya dalam kesediaannya membimbing para mahasiswa Program Studi Sastra Batak USU yang melakukan praktik lapangan di tempatnya bekerja.

"Saya berusaha menularkan ilmu saya padahal ilmu filologi itu mahal. Sayangnya antusiasme para mahasiswa masih kurang. Menurut catatan kami, baru ada satu mahasiswa USU yang meneliti Pustaha Laklak dan menerjemahkannya langsung dalam penelitian skripsinya," katanya.

Lulusan USU yang meneliti Pustaha Laklak pada 2008 itu adalah Desi Natalia Pinem. "Sebelum 2008 dan setelah 2008 hingga saat ini, belum ada lagi mahasiswi atau mahasiswa Sastra Daerah USU atau perguruan tinggi lain yang menekuni Pustaha Laklak," katanya.

Di tengah kenyataan yang mengkhawatirkan ini, akademisi asing, seperti Uli Kozok, justru menaruh perhatian yang lebih terhadap pengajian dan penelitian tentang Pustaha Laklak ini.

"Dari Pak Uli Kozok pula, saya mendengar tentang banyaknya naskah kuno Batak yang tersimpan di Leiden, Belanda. Kapan saya bisa berkesempatan melihat langsung naskah-naskah itu di sana?" katanya.

Untuk melestarikan keberadaan naskah-naskah kuno, termasuk yang kini dimiliki dan menjadi bagian dari 7.200 koleksi Museum Negeri Sumut, penerjemahannya ke bahasa Indonesia adalah salah satu jalan yang efektif untuk melestarikan kekayaan budaya bangsa ini.

"Untuk itu diperlukan tambahan staf khusus di Museum Negeri Sumut yang bisa menangani kebutuhan ini," katanya.

Harapan yang sama juga disampaikan Marsiria Sebayang, sejawat Mehamat di Bagian Teknis Koleksi museum yang berdiri sejak 19 April 1982 itu.

Terlebih lagi, Museum Negeri Sumut kini hanya memiliki dua orang staf yang mampu menerjemahkan naskah-naskah kuno Pustaha Laklak itu, yakni Mehamat Br.Karo Sekali dan Sekula Perangin-Angin, katanya.

"Untuk mengatasi kekurangan staf yang memiliki kemampuan penerjemahan, solusinya tiada lain adalah menambah pegawai yang memiliki kualifikasi itu. Namun ini tidak mudah karena pihak museum tidak memiliki kewenangan untuk merekrut pegawai baru," katanya.

Dia tak hendak membayangkan dampak terburuk yang akan terjadi delapan tahun mendatang terhadap keberlangsungan upaya transliterasi dan translasi naskah-naskah kuno Batak di museum ini tatkala Mehamat sudah purna bhakti sebagai PNS.

Di mata Marsiria Sebayang, Mehamat Br Karo bak Oase yang menghidupkan upaya pelestarian naskah-naskah kuno Batak sehingga generasi dari lima sub-etnis Batak di Sumut di masa kini dan mendatang tetap dapat membaca warisan budaya tulis nenek moyangnya. 

Pewarta: Rahmad Nasution

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015