Bogor, (Antaranews Bogor) - Guru Besar Fakultas Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor Prof Sugiyono MAppSe mengembangkan produk pangan berbasis bahan baku lokal dengan menjadikan buras sebagai pangan steril untuk kondisi darurat.

"Buras steril ini dibuat tanpa bahan pengawet dan bisa tahan sampai lima tahun," kata Prof Sugiyono dalam kegiatan "coffee morning" menjelang orasi ilmiah guru besar IPB di Kampus Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis.

Buras adalah makanan tradisional Indonesia. Di Jawa Barat makanan ini menjadi andalan untuk mengganjal lapar, terbuat dari beras yang dimasak dengan santan lalu dibungkus dengan daun pisang, dilengkapi dengan sayuran serta daging di dalamnya.

Dijelaskannya buras steril yang dikembangkannya dimaksudkan sebagai pangan darurat (emergency food) dalam penanggulangan bencana alam seperti Tsunami di Aceh, atau gunung merapi serta gempa.

"Selama ini bantuan penanganan darurat bencana yang dikirimkan adalah beras dan mie instan. Untuk kasus Tsunami Aceh dalam kondisi kesulita air bersih, bahan bakar dan peralatan masak, bantuan beras dan mi instan sering tidak dapat mengatasi kekurangan pangan secara cepat, jadi tidak efektif," katanya.

Dikatakannya salah satu cara mengatasi masalah kelaparan pasca bencana dapat dilakukan dengan pemberian pangan darurat siap santap. Produk pangan darurat siap santap sudah banyak dikembangkan biasanya berupa biskuit padat kalori. Tetapi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia biskuit yang sangat praktis sebagai pangan darurat tidak cocok sebagai pengganti nasi.

"Contoh kasus kelaparan jemaah haji Indonesia di Mina beberapa tahun lalu, karena keterlambatan catering mengatarkan makan berupa nasi dan lauk membuat jamaah mengeluhkan lapar. Padahal pada saat itu banyak roti dan biskuit yang tersedia, hanya saja karena masyarakat menganggap tidak makan nasi belum makan," katanya.

Ada juga produk pangan darurat lainnya berupa ransum yakni makanan kaleng yang menjadi bekal anggota TNI dalam situasi bertugas. Produk ini tentunya membutuhkan alat untuk membukanya, sehingga disaat darurat dinilai kurang efektif.

Sementara itu Buras steril yang dikembangkan oleh Prof Sugiyono ini dibuat dengan sangat mudah dari pangan lokal sehari-hari, yang awet karena dibungkus dalam daun pisang lalu dikemas dalam aluminium foil yang kedap udara agar tidak memungkinkan berkembangnya bakteri, sehingga tahan lama.

"Kemasan buras cukup praktis, kemasan dibuat tahan air, tidak mudah pecah, sehingga mudah untuk didistribusikan terutama di daerah yang sulit terjangkau, tinggal dihanyutkan atau diterjunkan dari atas kapal udara," katanya.

Menurut Prof Sugiyono selain untuk pangan darurat, buras steril juga bisa diproduksi sebagai produk pangan komersial oleh UMKM. Produk ini bisa dibuat bervariasi dengan bisa ditambah lauk ayam, ikan atau sayuran lainnya.

Ia mengatakan proses pembuatan buras steril terdiri dari tiga tahap yakni pembuatan buras setengah matang, pengemasan vakum dan pemanana bertekanan sebagai sterilisasi.

"Untuk penutup kemasan dilakukan dalam keadaan divakum (vacuum selling), bagi UMKM dapat dilakukan dengan alat pemasak presto. Kondisi vakum ini dimaksudkan untuk mencegah produk menggembung pada saat dipanaskan," katanya.

Pemananan bertekanan menjadi tahapan paling penting karena menentukan tingkat sterilitas dari produk. Proses tersebut dilakukan dengan menggunakan autoclav pada suhu 121 derjat celcius. Ini dilakukan untuk membunuh semua mikroba pada produk dan menjadikannya steril.

Satu kemasan buras steril terdiri dari dua buah buras per kemasan dengan berat 200 gram. Produk buras menggunakan abhan dasar nasi (80 persen), ayam (20 persen) dan bumbu-bumbu. Memiliki kadar air 62,85 persen, kadar karbohidrat 22,99 persen dengan sumbangan energi 51,5 persen, kadar protein 6,73 persen, dengan sumbangan energi 15,1 persen, kadar lemak 6,65 persen dengan sumbangan energi 33,5 persen, dan kadar abu 0,77 persen.

Secara keseluruhan buras steril memiliki kandungan energi sebesar 178,73 kilo kalori per 100 gram per buah, dan dikemas dalam aluminium foil sebanyak dua buah buras per kemasan (200 gram).

"Orang dewasa perlu memakan dua kemasan buras (400 gram) per sajian, dengan sekali konsumsi diperoleh asupan energi sebesar 714,92 kilo kalori. Konsumsi tiga kali sehari menghasilkan asupan kalori sebesar 2144,76 kilo kalori," katanya.

Prof Sugiyono menambahkan Indonesia belum mempunyai cadangan makanan untuk kondisi darurat, maka dari itu ketika terjadi bencana yang dikirim adalah beras dan mie instans. Maka dari itu buras steril dapat menjadi alternatif sebagai pangan darurat bencana.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015