Jakarta, (Antaranews Bogor) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Perdagangan melakukan sosialisasi penerbitan Deklarasi Ekspor (DE) dan simulasi DE secara serentak kepada asosiasi dan industri kecil menengah mebel yang belum memiliki Sistem Verifikasi Legalitas Kayu.
"Sosialisasi dan simulasi itu dilakukan seiring berlakunya kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di industri kehutanan mulai 1 Januari 2015," kata Manajer Media dan Komunikasi Multistakeholder Forestry Programme (MFP-3) Dwi Rahardiani di Jakarta, Selasa.
MFP-3 merupakan suatu program kerja sama bilateral antara Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) RI dengan Pemerintah Inggris, yang mendukung penerapan SVLK.
Ia menjelaskan kegiatan sosialisasi dan simulasi bagi asosiasi dan industri kecil menengah (IKM) mebel yang belum memiliki SVLK dan memiliki Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) telah dilaksanakan pada 6-9 Januari 2015 di sentra-sentra industri mebel di beberapa daerah.
Di antaranya Surabaya (Jatim), Jepara, Semarang, Solo (Jateng), Denpasar (Bali) dan Cirebon (Jabar).
Kegiatan sosialiasi dan simulasi DE itu, katanya, merujuk Permendag No. 97/M-AG/PER/12/2014 tanggal 24 Desember 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, dan PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 tanggal 22 Desember 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.
Kedua peraturan tersebut, kata dia, diharapkan akan menyederhanakan persyaratan SVLK bagi IKM pemilik ETPIK mebel/furnitur sehingga meringankan beban mereka dan menunjang peningkatan ekspor produk industri mebel dan kerajinan.
Ada beberapa hal yang diatur dalam Permendag No. 97/M-DAG/PER/12/2014.
Pertama, definisi IKM pemilik ETPIK adalah industri pemilik Tanda Daftar Industri (TDI) dan Izin Usaha Industri (IUI) yang telah mendapat pengakuan sebagai ETPIK tetapi belum memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S- LK) dengan batasan nilai investasi sampai dengan Rp10 miliar.
Kedua, IKM pemilik ETPIK yang belum memiliki S-LK dapat melakukan ekspor produk industri kehutanan dengan menggunakan DE sebagai pengganti dokumen V-Legal yang hanya dapat digunakan untuk satu kali penyampaian pemberitahuan pabean ekspor.
Ketiga, IKM pemilik ETPIK mengirimkan DE melalui Sistem Informasi Legalitas Kayu Online (SILK Online) ke portal Indonesia National Single Window (INSW) secara elektronik melalui http://inatrade.kemendag.go.id.
Keempat, ketentuan mengenai DE yang digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean hanya berlaku sampai dengan 31 Desember 2015.
Dwi Rahardiani menambahkan SVLK adalah sistem dan ketentuan yang bersifat mandatory (wajib), yang menjamin legalitas kayu serta ketelusuran kayu dari asal mula tempat kayu ditebang sampai ke hilir (pintu ekspor).
Sistem ini merupakan komitmen bersama dari Pemerintah Indonesia serta para pihak untuk menanggulangi pembalakan dan perdagangan kayu serta produk kayu yang ilegal, juga untuk memperbaiki tata kelola kehutanan di Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015
"Sosialisasi dan simulasi itu dilakukan seiring berlakunya kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di industri kehutanan mulai 1 Januari 2015," kata Manajer Media dan Komunikasi Multistakeholder Forestry Programme (MFP-3) Dwi Rahardiani di Jakarta, Selasa.
MFP-3 merupakan suatu program kerja sama bilateral antara Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) RI dengan Pemerintah Inggris, yang mendukung penerapan SVLK.
Ia menjelaskan kegiatan sosialisasi dan simulasi bagi asosiasi dan industri kecil menengah (IKM) mebel yang belum memiliki SVLK dan memiliki Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) telah dilaksanakan pada 6-9 Januari 2015 di sentra-sentra industri mebel di beberapa daerah.
Di antaranya Surabaya (Jatim), Jepara, Semarang, Solo (Jateng), Denpasar (Bali) dan Cirebon (Jabar).
Kegiatan sosialiasi dan simulasi DE itu, katanya, merujuk Permendag No. 97/M-AG/PER/12/2014 tanggal 24 Desember 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, dan PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 tanggal 22 Desember 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.
Kedua peraturan tersebut, kata dia, diharapkan akan menyederhanakan persyaratan SVLK bagi IKM pemilik ETPIK mebel/furnitur sehingga meringankan beban mereka dan menunjang peningkatan ekspor produk industri mebel dan kerajinan.
Ada beberapa hal yang diatur dalam Permendag No. 97/M-DAG/PER/12/2014.
Pertama, definisi IKM pemilik ETPIK adalah industri pemilik Tanda Daftar Industri (TDI) dan Izin Usaha Industri (IUI) yang telah mendapat pengakuan sebagai ETPIK tetapi belum memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S- LK) dengan batasan nilai investasi sampai dengan Rp10 miliar.
Kedua, IKM pemilik ETPIK yang belum memiliki S-LK dapat melakukan ekspor produk industri kehutanan dengan menggunakan DE sebagai pengganti dokumen V-Legal yang hanya dapat digunakan untuk satu kali penyampaian pemberitahuan pabean ekspor.
Ketiga, IKM pemilik ETPIK mengirimkan DE melalui Sistem Informasi Legalitas Kayu Online (SILK Online) ke portal Indonesia National Single Window (INSW) secara elektronik melalui http://inatrade.kemendag.go.id.
Keempat, ketentuan mengenai DE yang digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean hanya berlaku sampai dengan 31 Desember 2015.
Dwi Rahardiani menambahkan SVLK adalah sistem dan ketentuan yang bersifat mandatory (wajib), yang menjamin legalitas kayu serta ketelusuran kayu dari asal mula tempat kayu ditebang sampai ke hilir (pintu ekspor).
Sistem ini merupakan komitmen bersama dari Pemerintah Indonesia serta para pihak untuk menanggulangi pembalakan dan perdagangan kayu serta produk kayu yang ilegal, juga untuk memperbaiki tata kelola kehutanan di Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015